Burn Out Kerja, Self-healing, dan Kemajuan Teknologi
Hidup kok rasanya gini amat sih?
Halo, kembali lagi bersama saya Ann Putri, editor di Jurno sekaligus host dari Gimana Sih?
Heh, banyak banget ya titelnya. Responsibilitynya juga sama banyaknya sih, hehe.
Mungkin ada yang penasaran, capek gak sih juggling kerjaan kaya gini? Sebagai gambaran, sehari-harinya saya mikirin mau nulis apa buat Jurno, terus ngedit tulisan, terus mikirin naskah Gimana Sih selanjutnya, ngedit naskah, terus shooting, terus edit video, terus... BLEERGHHH
Ya, proses-proses ini bikin capek. Banget. Kalau udah capek, tapi terus dipaksa kerja, kerja, kerja, tanpa istirahat ya jadinya burn out, bukan maju.
Dan kalau udah burn out, nggak cuma kerja aja yang jadi gak maksimal. Aspek-aspek lain kaya kesehatan dan hubungan sosial juga bakal kena imbasnya.
Sedihnya lagi, makin ke sini makin banyak pekerja yang kena burn out. survei American Psychological Association tahun 2021 menunjukkan 3 dari 5 pekerja kerah putih Amerika Serikat mengalami burn out.
Para responden melaporkan efek kesehatan seperti kehilangan fokus, motivasi, dan energi untuk bekerja. Gak hanya itu, mereka juga mengeluhkan mereka capek secara fisik dan mental.
Sayangnya belum ada survei definitif soal burn out di pekerja Indonesia, tapi saya pikir kondisinya 11-12 dengan pekerja Amrik.
Terus kalau udah burn out gini, obatnya apa dong?
Ya kalo kata anak-anak jaman sekarang sih self-healing ya.
Gimana Sih Cara Self-Healing?
Sebelum ngomongin cara self-healing, gimana kalo kita ngomongin dulu soal asal-usul istilah ini. Apa sih bedanya si self-healing ini dengan self-care dan me-time yang udah booming duluan sebelum pandemi?
Nah berdasarkan penelusuran saya, self-healing pertama kali muncul pada Februari 2021 di Twitter.
Self-healing dijelaskan sebagai kegiatan yang dilakukan orang-orang untuk melepas penat. Tapi karena definisinya yang kelewat luas, jadinya apa aja bisa jadi self-healing.
Oh ya sebelum istilah ini ngetren, kita sebenernya udah kenal sama me time, self-reward, dan self-care. Tapi ya banyak orang yang nganggep semua istilah ini punya arti yang sama, padahal enggak.
Pengaburan makna sering terjadi karena penyebaran konten kesehatan jiwa yang semakin masif. Tapi konten-konten ini terlalu menyederhanakan permasalahan mental dan solusinya.
Selain itu ada kemungkinan mereka merasa istilah-istilah sebelumnya dianggap kurang pas menggambarkan situasi mereka.
Untuk lebih jelasnya, saya bertanya ke Benny Prawira Siauw, periset psikologi yang fokus ke mindfulness.
Psikologi Tidak Mengenal Self-Healing
Menurut Benny, ilmu psikologi hanya mengenal recovery atau coping mechanism. Bentuk coping ada dua, yaitu coping adaptif dan coping maladaptif.
Oh ya, self-care berbeda dengan self-healing dan recovery ya. Soalnya konsep self-care dikoinkan oleh aktivis kulit hitam audre lorde yang mendefinisikan self-care sebagai cara radikal bagi perempuan kulit hitam dan minoritas lainnya untuk merawat tubuh.
Ditambah self-care juga punya tujuh pilar penting
Benny juga mengatakan ada banyak kegiatan yang secara empiris bisa meningkatkan kesejahteraan emosional. Contohnya bersepeda, makan di luar, jalan kaki, dan berkebun.
Tapi ya, gak semua kegiatan yang menyenangkan bisa dikategorikan sebagai coping mechanism atau self-healing.
Terlebih narasi self-healing yang muncul di media sosial terlalu individualistik dan tidak mengajak kita untuk menilik akar masalahnya.
Self-healing ini seringkali mengajarkan orang untuk lari dari masalah dan bersikap defensif. Jadinya bukannya sehat malah bikin proses penyembuhan terhambat.
Benny juga mengingatkan bahwa penyembuhan bukan hanya tanggung jawab seseorang saja. Tapi juga membutuhkan dukungan orang-orang dan lingkungan sekitar.
Akhir kata, penjelasan tadi nggak bermaksud untuk menghentikan kalian melakukan self-healing.
Self-healing tetap penting supaya kita nggak burn out. Tapi ya perlu diingat kalau self-healing bukan pengganti dari terapi dengan profesional.
Jadi kalau kamu ngerasa udah ngerasa hopeless banget dengan kehidupan kamu, segera pergi ke psikolog atau psikiater ya!