Yang Untung dan yang Buntung dari Penambangan di Bulan

Urusan cadangan sumber daya yang kian menipis dan persoalan kerusakan lingkungan di Bumi membuat manusia merasa perlu untuk mencari solusinya di luar angkasa. Sejak manusia menjelajah antariksa pada pertengahan abad ke-20, sejumlah negara adidaya pun mulai meneliti sumber daya yang terkandung dalam benda-benda luar angkasa dan kemungkinan untuk hidup di dalamnya. Tidak perlu jauh-jauh membicarakan kemungkinan manusia untuk hidup di Mars karena ada proyek yang lebih dekat dan sedang dijalankan, yakni kolonisasi dan eksploitasi Bulan. 

Bulan, menurut sejumlah penelitian, memiliki unsur-unsur logam seperti alumina, kalsium oksida, besi oksida, magnesium, titanium oksida, dan natrium oksida. Hal yang cukup diincar dari sumber daya alam yang ada di Bulan adalah Rare Earth Elements (REE) yang umumnya digunakan untuk bahan baku berbagai teknologi seperti perangkat elektronik, kendaraan listrik, dan turbin tenaga angin. Meski tersebar di beberapa wilayah, tapi pada praktiknya, lebih dari 90 persen cadangan REE ini dikuasai oleh Tiongkok dan fakta ini dianggap sebagai masalah keamanan nasional, terutama bagi Amerika Serikat. Berbagai sumber daya alam tersebut memicu usaha beberapa negara untuk tidak hanya mengeksplorasi, tapi juga melakukan komersialisasi. 

Sejumlah perjanjian internasional sebenarnya sudah dirancang untuk mencegah eksploitasi benda-benda luar angkasa untuk kepentingan negara tertentu. Pada 1967, misalnya, disepakati perjanjian bernama Outer Space Treaty yang melarang kepemilikan atas ruang angkasa dan benda-benda antariksa. Kalaupun ruang angkasa dan benda antariksa akan dieksploitasi, aktivitas itu mesti ditujukan untuk tujuan damai dan kepentingan semua negara berdasarkan prinsip non-diskriminasi. Perjanjian tersebut diratifikasi oleh 112 negara, termasuk dua negara adidaya yang saat itu tengah bersaing dalam perlombaan antariksa (space race) yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. 

Wilayah dasar laut di luar batas yurisdiksi nasional ditetapkan sebagai area yang yang melarang eksploitasi demi kepentingan negara tertentu tanpa tunduk pada hukum internasional (mengacu pada UNCLOS 1982). Terinspirasi produk hukum ini, muncullah perjanjian bernama Moon Treaty pada 1979 yang menetapkan Bulan sebagai “warisan bersama umat manusia (“common heritage of mankind”). Hal tersebut merupakan bagian dari usaha untuk mencegah negara-negara berebut sumber daya Bulan. Sayangnya, perjanjian tidak diikuti oleh negara-negara tertentu yang dicurigai sedang menjalankan proyek eksplorasi luar angkasa besar-besaran seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan sejumlah negara yang tergabung dalam European Space Agency. 

Dalam dua dekade terakhir, mulai terlihat mengapa negara-negara tersebut enggan terlibat dalam Moon Treaty. Pada 2007, X Prize Foundation bersama dengan Google menyelenggarakan sayembara dengan hadiah 20 juta dollar AS untuk mereka yang bisa mencapai Bulan dengan robot pada maksimal Maret 2018. Hingga Agustus 2016, terdapat enam belas tim yang tercatat akan mengikuti kompetisi. Namun, hingga Januari 2018, pihak penyelenggara mengumumkan hadiah tidak akan jatuh pada siapapun karena tidak ada tim yang terlihat siap meluncur sebelum tenggat waktu. Pada 2007, Tiongkok juga memulai proyek bernama Chinese Lunar Exploration Program dalam rangka menyelidiki kemungkinan untuk melakukan penambangan di Bulan, terutama dalam rangka menggali isotop helium-3 untuk kepentingan pengadaan sumber energi di Bumi. Sejak 2007 hingga 2020, Tiongkok telah meluncurkan robot Chang’e 1 hingga Chang’e 5 yang berhasil membawa sejumlah sampel dari permukaan Bulan. India juga tidak mau kalah. Pada 2008, Chandrayaan-1 diluncurkan untuk melakukan pemetaan sumber daya yang ada pada permukaan Bulan. Dianggap berhasil, Chandrayaan-2 diluncurkan pada 2019.

Pada 2022 ini, Chinese Lunar Exploration Program bahkan berhasil membuat peta Bulan yang sejauh ini dianggap yang paling komprehensif. Dengan skala 1:2.500.000 (1 cm pada jarak di peta sama dengan 2.500.000 cm pada jarak sebenarnya), hasil pemetaan yang dilakukan oleh pakar geologi  Jianzhong Liu dan Ziyuan Ouyang ini menunjukkan secara lebih rinci lokasi dari 17 bebatuan di Bulan dan 12.341 kawah. Lengkapnya bentuk peta tersebut adalah sebagai berikut:

 

Peta bulan yang dikeluarkan Chinese Lunar Exploration Program 2022 

(sumber: NSSC/ CAS)

 

Di Amerika Serikat, usaha komersialisasi Bulan ini sudah berlangsung secara masif dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak disahkannya Commercial Space Launch Competitiveness Act. Aturan ini membolehkan perusahaan dan warga negara Amerika Serikat untuk terlibat dalam eksploitasi sumber daya di luar angkasa demi kepentingan komersial. Dengan menyingkirkan peran negara dari komersialisasi sumber daya di antariksa, maka Amerika Serikat tetap menghormati Outer Space Treaty 1957. Dampak undang-undang ini langsung terlihat pada tahun berikutnya. Pada Agustus 2016, pemerintah Amerika Serikat memberikan izin bagi perusahaan Moon Express untuk mendarat di Bulan—pertaman kalinya dalam sejarah. Pada 29 November 2018, NASA mengumumkan sembilan perusahaan komersil akan berkompetisi untuk memenangkan kontrak pengiriman muatan ke Bulan alias Commercial Lunar Payload Services. 

Pada April 2020, penambangan di Bulan ini secara legal akan terwujud setelah Presiden Amerika Serikat pada periode tersebut, Donald Trump, mendukung upaya penambangan di Bulan. Hal ini sejalan dengan Program Artemis yang tengah dijalankan oleh NASA bersama dengan European Space Agency, Japan Aerospace Exploration Agency, dan Canadian Space Agency yang bertujuan jangka panjang untuk mendirikan markas permanen di Bulan dan memfasilitasi misi manusia untuk kelak mencapai planet Mars. 

 

Butuh 220 Juta Tahun

Meski belum terwujud secara meyakinkan dan baru berupa riset-riset pendahuluan, beraneka pertimbangan jangka panjang atas eksploitasi dan komersialisasi Bulan tetap perlu diajukan. Pertama, secara legal formal, usaha dari beberapa negara lewat perusahaan-perusahaan komersil untuk ‘mengakali’ Outer Space Treaty dan Moon Treaty menunjukkan bahwa sumber daya alam di Bulan hanya akan dikeruk demi memperkaya kelompok tertentu alih-alih untuk kepentingan bersama.

Dampak lebih jauhnya, putusan-putusan terkait penjelajahan dan pembangunan infrastruktur di Bulan menjadi tidak demokratis karena sudah terlebih dahulu dikuasai oleh pihak-pihak yang sejak awal memiliki kekuatan lebih besar. Seandainya dalam waktu 30 tahun sebuah perusahaan Indonesia melakukan eksplorasi ke Bulan, maka perusahaan tersebut tentu harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh kelompok yang terlebih dahulu bermukim di Bulan. Hukum internasional mungkin bisa dipegang sebagai panduan, tetapi kondisinya akan sangat berbeda di luar angkasa. Ketimpangan kuasa ini akan memicu konflik serius tidak hanya dalam konteks antariksa, tapi juga bisa merembet hingga konflik antar negara di wilayah Bumi. 

Kedua, secara perhitungan, persediaan sumber daya alam di Bulan memang harus diakui, masih sangat berlimpah. Jika kita mengambil satu ton metrik dari Bulan setiap hari, maka memerlukan 220 juta tahun untuk hanya mengurangi 1% massa dari Bulan. Pengurangan tersebut tidak akan menimbulkan dampak signifikan pada pergeseran orbit atau tarikan gravitasi terhadap pasang surut air laut di Bumi. Dari sudut pandang lain, eksploitasi Bulan memang bisa dipandang sebagai usaha mengurangi krisis lingkungan di Bumi yang main parah.

Namun, jika manusia hari ini tetap eksploitatif meski dibombardir peringatan terkait kondisi Bumi, akan seperti apa perilaku kita saat mengetahui bahwa Bulan masih mempunyai cadangan sumber daya alam yang melimpah hingga ratusan juta tahun ke depan?

Dengan demikian, persoalan yang sesungguhnya menjadi tidak selesai: bukan perkara sumber daya alam yang masih banyak, tapi sikap manusia yang tidak pernah puas dan akan selalu mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya alam. Dalam situasi yang belum juga menemukan solusinya, kelak negara semenjana seperti Indonesia akan terbentur pada sebuah dilema: sumber daya alam di dalam negeri kian menipis, tapi untuk mengakses sumber daya alam di Bulan, kita mesti tunduk pada penguasaan perusahaan-perusahaan besar dari negara lain yang telah duluan bercokol. 

Maka itu, solusi yang bisa diambil, meski terdengar romantis, adalah menengok kembali relasi kita dengan alam yang pernah begitu harmonis sebelum digerus oleh modernitas. Proyek semacam ini memang mulai didengungkan di seluruh dunia lewat ajaran ecotheology—salah satunya dari pandangan Seyyed Hossein Nasr, yang tidak lagi melihat alam dalam kacamata rasio instrumental, melainkan dari penghayatan batiniah yang lebih dalam, suatu penghormatan agung yang menempatkan keseluruhannya dalam kerangka hidup bersama. Tanpa evaluasi total atas kesadaran ekuilibrium kita dengan alam, maka penambangan di Bulan hanya akan jadi derita jangka panjang yang merusak keseluruhan kehidupan. 

Kita tidak boleh berhenti pada pemikiran bahwa sumber daya alam di Bulan secara perhitungan material masih lama akan habis, tapi coba renungkan lebih dalam: berapa banyak sumber daya alam di Bumi yang harus digerus untuk kepentingan eksplorasi ke antariksa? Berapa banyak penduduk dunia yang mesti menderita akibat penghisapan lebih brutal dari negara-negara adidaya demi mewujudkan ambisi mereka? 

Saat negara adidaya berhasil menambang di Bulan, maka pertanyakan lebih jauh: berapa banyak maslahat hasil penambangan tersebut yang bisa digunakan untuk kebaikan kita? Atau jangan-jangan yang terjadi hanya ketimpangan yang jauh lebih lebar dari sebelumnya