Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan terbesar Indonesia yang dikenal dengan karyanya yang menggugah kritik sosial dan politik. Biografi Pramoedya Ananta Toer dipenuhi dengan perjuangan, mulai dari tekanan ekonomi, pembuangan, hingga sensor yang ketat terhadap tulisannya. Banyak orang bertanya, kenapa buku Pramoedya dilarang? Jawabannya terletak pada isi dan pesan dalam karya Pramoedya Ananta Toer yang dianggap berlawanan dengan penguasa saat itu.
Menjadi seorang penulis penuh waktu bukanlah keputusan yang mudah. Pramoedya harus menghadapi kenyataan pahit ketika kebijakan pemerintah mengurangi royalti penulis, membuat kehidupannya semakin sulit. Dalam periode ini, ia bahkan mengalami writer’s block setelah perceraiannya dengan Arvah Iljas. Jari-jarinya terasa "macet", dan ia kehilangan kemampuan menulis untuk sementara waktu.
Saat menghadapi krisis finansial, Pramoedya Ananta Toer menerima tawaran untuk menerjemahkan buku dari A.S. Dharta. Tawaran ini membawanya lebih dekat dengan kelompok kiri, termasuk Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Banyak yang beranggapan bahwa Pramoedya Ananta Toer books memiliki kecenderungan ideologi tertentu karena keterlibatannya dengan Lekra dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, dalam berbagai kesempatan, ia membantah bahwa dirinya dipaksa untuk menulis sesuai arahan kelompok tersebut.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa buku Pramoedya dilarang? Pemerintah Orde Baru melihat tulisan-tulisannya sebagai ancaman karena mengangkat sejarah yang bertentangan dengan narasi resmi. Banyak karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar di Indonesia, termasuk Tetralogi Buru yang ia tulis saat menjadi tahanan politik.
Meskipun demikian, di luar negeri, Pramoedya Ananta Toer books mendapat banyak penghargaan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan mendapatkan apresiasi dari komunitas sastra dunia.
Lantas, hal yang istimewa pada diri tokoh Pramoedya Ananta Toer adalah kegigihannya dalam menulis meskipun menghadapi banyak rintangan. Ia tidak hanya menulis untuk seni, tetapi juga untuk menyuarakan kebenaran dan sejarah yang seringkali sengaja dihapus.
Banyak Pramoedya Ananta Toer quotes yang masih relevan hingga saat ini, seperti:
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
Kutipan ini menggambarkan betapa besar dedikasi Pramoedya terhadap dunia kepenulisan dan pentingnya mendokumentasikan sejarah.
Meski mengalami sensor dan penindasan, karya Pramoedya Ananta Toer tetap hidup di hati pembacanya. Biografi Pramoedya Ananta Toer adalah bukti perjuangan seorang intelektual yang tidak gentar menghadapi tekanan.
Bagi generasi muda, mengenal Pramoedya Ananta Toer books bukan hanya soal membaca, tetapi juga memahami sejarah, kritik sosial, dan keberanian seorang sastrawan dalam menghadapi penguasa.
Siapa Pramoedya Ananta Toer?
Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan Indonesia yang dikenal dengan karya-karyanya yang kritis terhadap keadaan sosial-politik.
Bagaimana kehidupan awal Pramoedya sebagai penulis?
Pramoedya berjuang untuk hidup sebagai penulis penuh waktu, tetapi kebijakan pemerintah yang mengurangi royalti membuat kehidupannya sulit. Ia harus menulis demi penghasilan, bukan sekadar idealisme.
Apa yang menyebabkan Pramoedya mengalami writer’s block?
Setelah perceraiannya dengan Arvah Iljas dan tekanan ekonomi, Pramoedya mengalami krisis kreatif, hingga jari-jarinya ‘macet’ saat mengetik.
Bagaimana Pramoedya mulai terlibat dengan kelompok kiri?
Saat mengalami kesulitan ekonomi, ia menerima tawaran A.S. Dharta untuk menerjemahkan buku. Kemudian, karena undangan ke Tiongkok pada 1956, ia mulai dicap sebagai komunis dan ditolak oleh penerbit-penerbit besar.
Apa pengaruh PKI dan Lekra terhadap Pramoedya?
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) memberikan ruang bagi Pramoedya untuk menerbitkan tulisan-tulisannya, membantunya mendapatkan penghasilan, hingga akhirnya ia menjadi salah satu tokoh penting dalam organisasi tersebut.
Apakah Pramoedya dipaksa PKI dan Lekra untuk menulis dengan arah tertentu?
Pramoedya membantah bahwa ia mendapatkan mandat khusus dari Lekra, meskipun tulisannya di rubrik "Lentera" kerap dianggap mengintimidasi pengarang lain yang tidak sehaluan.
—--
Koesalah Soebagyo Toer masih ingat kedatangan abang sulungnya pada suatu sore gerimis ke rumah kontrakan yang dia huni di Rawamangun, pertengahan 1954. Menumpang sebuah becak, pendatang itu membawa buku-buku, pakaian, perkakas tukang, dan mesin ketik. Itulah harta milik yang dapat dibawa si pendatang usai diusir dari rumah mertua, selain rasa sakit sesudah dicampakkan, tentu saja.
Kedatangan Pramoedya Ananta Toer untuk seterusnya tinggal satu kontrakan dengan ketiga adiknya menandai tamatnya rumah tangga Pramoedya dan Arvah Iljas yang telah berbulan-bulan diliputi awan mendung pertengkaran dan cekcok. Pasalnya, mata pencaharian Pramoedya sebagai pengarang penuh-waktu, yang semula dia harapkan dapat menjadi jalan membangun masa depan, tidak seindah untaian kata-kata di atas kertas.
Awal 1954, Menteri Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan Mohammad Yamin mengubah Balai Pustaka dari penerbit buku menjadi percetakan negara. Penulis-penulis yang bukunya diterbitkan Balai Pustaka mengalami pemotongan royalti yang amblas dari 20 persen menjadi 12 persen. Pengaturan pajak penghasilan sangat memberatkan kehidupan seorang pengarang, sementara penerbit-penerbit kecil yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan peraturan baru terpaksa gulung tikar.
“Honorarium yang dapat kuperoleh dari tulisan tersebar tidak lagi mencapai nilai sepertiga dari yang dulu kuterima dalam penjara [Bukit Duri]. Banyak di antara para penerbit malah menganggapnya sebagai sumbangan cuma-cuma. Aku bekerja siang-malam. Aku tidak peduli. Aku tidak malu jadi seorang broodschrijver, seorang yang menulis hanya untuk sesuap nasi,” tukas Pramoedya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997, hal. 185) menggambarkan keadaannya waktu itu.
Produktivitas kepenulisan Pramoedya saat itu lebih didorong semangat bertahan hidup, dan bukan demi aktualisasi diri, apalagi memenuhi selera estetika. Akibatnya, mutu tulisan Pramoedya berubah-ubah dan dianggap cenderung merosot, meski sering dimuat di berbagai majalah saat itu seperti Pemuda, Duta Suasana, Aneka, Siasat, Zenith, Pemandangan, dan Mimbar Indonesia. “Kalau majalah atau surat kabar itu tidak mengirim honorarium, saya juga yang menagih honorarium ke bagian administrasinya,” tulis Koesalah Soebagyo Toer dalam memoar Bersama Mas Pram (2009, hal. 166).
Karena penghasilan yang tidak menentu dan beban rumah tangga yang menumpuk semakin tidak tertahankan, pengusiran ketiga yang Pramoedya terima menjadi tanda dia harus mengembalikan Arvah kepada orang tuanya. Kata-kata Arvah yang tajam saat perpisahan mereka memperparah gejala psikosomatik yang sering Pramoedya alami sesudah ayahnya wafat. Dia sering sakit-sakitan, pemasukan pun menjadi tidak menentu. Keadaan tambah runyam saat jari-jarinya macet dan tidak mau menari di atas tuts. Di puncak krisis, untuk pertama kali sejak mulai mengarang, Pramoedya terkena writer’s block.
Dalam keadaan tidak menentu karena macetnya daya kreasi, Pramoedya tidak mempunyai banyak kegiatan. Salah satu di antara yang tidak banyak itu adalah menjalin asmara dengan seorang gadis yang pertama kali dikenalnya dalam Pekan Buku Indonesia pertama yang diselenggarakan Penerbit Gunung Agung pada September 1954, beberapa bulan setelah rumah tangganya dengan Arvah bubar. Maimunah namanya.
“Pergaulanku dengan Maimunah Thamrin mencabut aku dari suasana hidup yang tidak menentu,” kenang Pramoedya dalam salah satu surat kepada putrinya (1997, hal. 210). Setali tiga uang dengan kenangan itu, Koesalah ingat gadis Betawi yang dipacari abangnya itu rutin berkunjung dengan menjinjing rantang berisi masakannya, khusus untuk Pramoedya dan adik-adiknya. “Dengan sendirinya, Mas Pram bahagia mendapat kunjungan pacar. Saking bahagianya, kadang-kadang masakan itu sampai tidak tertelan,” tulis Koesalah (2009, hal. 195).
Pembawaan Maimunah yang tenang, penerimaannya terhadap segala kekurangan seorang pengarang, dan sifat kemandiriannya yang mengingatkan Pramoedya pada sosok ibunya, memantapkan hati Pramoedya untuk mengajak Maimunah ke jenjang pelaminan pada 19 Februari 1955. Pada hari bahagia itu, seperti halnya pernikahan pertamanya, hadir di antara tamu undangan adalah rekan-rekan Pramoedya sesama pengarang, termasuk A.S. Dharta, yang saat itu telah menjabat Sekretaris Jenderal Lembaga Kebudajaan Rakjat.
Meski telah meminang pujaan hatinya, hari-hari bulan madu Pramoedya yang dia lewatkan di rumah orang tua Maimunah terasa sangat lambat dan menyengsarakan. “Padaku sama sekali tidak ada uang. Dan aku malu setengah mati menumpang seperti itu. Dalam waktu semacam itu, A.S. Dharta datang menyerahkan buku Mother [karya Maxim] Gorki,” catat Pramoedya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995, hal. 152).
“Kau tak ada keberatan, toh, menerjemahkan buku ini?” tanya Dharta, sambil menyerahkan uang muka enam ribu rupiah. Pekerjaan itu disambut Pramoedya dengan senang hati, meski dengan uang muka yang terhitung sedikit, apalagi untuk pengantin baru.
Dengan uang muka penerjemahan buku itu, ditambah honorarium dari dua pekerjaan terjemahan lain, Pramoedya sanggup memboyong Maimunah tinggal di rumah petak yang dia kontrak sendiri, untuk tidak mengulang pengalaman pahitnya ketika harus menumpang rumah mertua dalam pernikahan pertamanya.
Pramoedya memberi judul terjemahan karya Gorki itu Ibunda. Dharta berhasil menghubungi Jajasan Pembaruan, penerbit resmi Partai Komunis Indonesia, untuk menerbitkan dan memasarkannya. Meski kerja sama sukses dengan terbitnya buku, perkoncoan Pramoedya dan Dharta terus berlanjut, terlebih sesudah arus balik menerpa hidupnya pada akhir 1956.
Kehidupan Pramoedya perlahan membaik. Penerbit-penerbit yang semula di ambang kebangkrutan mulai memperoleh napas untuk memutar bisnis meski terbebani peraturan pajak. Perhatian pada karya-karya Pramoedya membuat majalah bergengsi Star Weekly mulai meminta karangannya, berupa esai maupun cerita pendek. Honorarium Star Weekly terhitung besar, bahkan Pramoedya mengenangnya cukup untuk makan sebulan.
Juli 1956, beberapa pekan sesudah putrinya lahir, sepucuk undangan dikirimkan Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok ke rumah Pramoedya. Isinya tawaran untuk Pramoedya menghadiri peringatan dua puluh tahun meninggalnya Lu Hsun, pujangga besar Tiongkok yang karyanya pernah Pramoedya baca tanpa sempat mengenali penulisnya.
Mengatasi perasaan keragu-raguan atas undangan itu, Pramoedya baru mendapatkan kepastian sesudah Menteri Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan (PP&K) Dr. Prijono menyatakan undangan itu dikirimkan berdasarkan petunjuknya. Prijono, yang juga Ketua Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok, mengutus Pramoedya mewakili Indonesia dalam acara peringatan itu.
Tak dinyana, undangan tak terduga itu membawakan efek domino lain terhadap kepengarangan Pramoedya. “Pulang kembali ke Indonesia, Star Weekly menolak semua tulisanku. Kemudian diikuti oleh yang lain-lain. Dengan kepergian ke Tiongkok itu, aku telah dianggap sebagai komunis. Padahal aku tak tahu sesuatu tentang komunisme, dan dari perjalanan ke Tiongkok pun hanya melihat segi luarnya, tidak tahu tentang arus bawah yang bekerja,” kenang Pramoedya (1995, hal. 160).
Boikot publikasi itu tidak hanya dialami Pramoedya seorang. Pengarang lain, Utuy Tatang Sontani juga menerima penolakan cetak ulang atas buku-bukunya dari Penerbit Pembangunan yang dipimpin Soedjatmoko, padahal sebagai dramawan, karya-karya Utuy telah mendapatkan pengakuan luas dari khalayak sastra masa itu.
“Saya mengira penolakan Soedjatmoko untuk menerbitkan karya-karya Pram dan Utuy karena keduanya didekati oleh orang-orang kiri,” tulis Ajip Rosidi dalam obituari “Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen” yang terhimpun dalam bunga rampai Mengenang Hidup Orang Lain (2010, hal. 7). Ajip menyesalkan sikap orang-orang antikomunis itu. “Ketika menghadapi kesulitan hidup yang amat sangat, maka uluran tangan yang diberikan oleh pihak kiri itu sangat besar pengaruhnya akan sikap Pram selanjutnya. Padahal kalau pada awal mereka didekati oleh orang komunis, dilakukan pula pendekatan pada mereka dari pihak antikomunis secara manusiawi, kedua seniman itu takkan terjerumus ke kubu komunis,” sambungnya.
Ajip tidak salah. Di tengah penolakan orang-orang antikomunis berdasarkan asumsi dan prasangka itu, Pramoedya memilih bersikap pragmatis. “Hidup harus berjalan terus. Pintu-pintu lain tertutup, tetapi pintu-pintu barupun terbuka. Aku mendapatkan pekerjaan mempolish naskah-naskah yang akan diterbitkan, bukan mempertimbangkan seperti pada Balai Pustaka dulu,” ujar Pramoedya.
Dapat diduga, di antara pekerjaan yang menyambung asap di dapur Pramoedya itu adalah kesediaan Bintang Merah, jurnal teori Partai Komunis Indonesia, yang pertama kali memuat esai “politis” pertama karya Pramoedya dalam edisi 24 Februari 1957, berjudul “Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden”.
“Bagi Pramoedya, Konsepsi Presiden [yang menganjurkan demokrasi terpimpin dan meninggalkan demokrasi parlementer] merupakan jembatan gantung yang akan menghubungkan situasi nyata mereka saat itu dengan situasi ideal di masa depan. Konsepsi itu memberikan kepadanya suatu janji akan masa depan yang berbeda drastis dengan warna situasi sekarang,” catat Savitri Scherer dalam Pramoedya A. Toer: Dari Budaya ke Politik 1950-1965 (2019, hal. 121).
Menyusul Bintang Merah, surat kabar Harian Rakjat milik Partai Komunis Indonesia dan majalah Zaman Baru yang dikelola Lekra turut melapangkan halaman mereka untuk tulisan Pramoedya yang secara teratur mereka terbitkan. Ditambah hasil penjualan buku-buku Pramoedya yang mulai kembali ke rak-rak toko buku, sebuah rumah tembok berhasil Pramoedya bangun untuk keluarga kecilnya.
Angin yang ditiupkan Lekra dari buritan telah memungkinkan bahtera hidup Pramoedya berlayar menuju puncak hidupnya sebagai pengarang. Lekra mempercayakan tugas sebagai ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uni Soviet, pada 7 September 1958, disusul lawatan ke sejumlah negara Eropa Timur selama tiga pekan berikutnya.
Lekra memilih Pramoedya sebagai Wakil Ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) bersama Bakri Siregar dalam Kongres I Lekra di Surakarta pada 28 Januari 1959, yang kemudian ditindaklanjuti dalam rapat-rapat mulai bulan Maret dan April di tahun yang sama.
“Ketika Lekra mengambil-alih semboyan ‘Politik adalah Panglima’ Njoto sebagai dasar keyakinan budayanya, Pramoedya menjadi penyambung lidah ideologi kebudayaan itu,” tulis A. Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997, hal. 36).
Melalui tulisan-tulisannya yang kemudian secara bergantian terbit di media-media berhaluan kiri, Pramoedya mulai mendaki masa-masa keemasannya sebagai pengarang. Tak sampai di situ, Akademi Sedjarah “Ranggawarsita”, Akademi Sastra “Multatuli”, dan Akademi Djurnalistik “Dr. Rivai”, ketiganya milik Partai Komunis Indonesia, juga meminta kesediaan Pramoedya menjadi dosen sejarah—kesempatan yang dia manfaatkan untuk melanjutkan penelitian sejarah kebangkitan nasional yang telah dimulainya pada 1956.
Hatta sejarah berwarta, kiprah Pramoedya yang berjalan beriringan dengan dukungan Lekra membuat keduanya dianggap identik. Meski demikian, Pramoedya menyangkal bahwa Lekra memberikan kewajiban tertentu baginya, terutama dalam mengelola lembar kebudayaan “Lentera” di surat kabar Bintang Timur yang terkenal galak dalam mencecar pengarang dan seniman yang tidak sehaluan dengan Demokrasi Terpimpin Sukarno.
“Sama sekali tidak. Saya tidak pernah mendapatkan mandat sesuatupun dari Lekra untuk melarang sesuatu. Tidak pernah,” tegas Pramoedya dalam wawancara dengan Kees Snoek pada 26 Juli 1991, yang dimuat kembali dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2024, hal. 128).
Pengakuan itu mungkin terdengar ganjil karena tulisan-tulisan Pramoedya di “Lentera” saat itu kerap dianggap mengintimidasi pengarang-pengarang lain, sekalipun menurut Pramoedya, dia hanya mengajak para pengarang itu berdebat dan memberikan pertanggungjawaban terhadap posisi politik mereka..
Tiga bulan sebelum ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-20, Pramoedya mengisi rubrik “Lentera” tahun itu dengan esai “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” yang mendesak para penerbit buku-buku antikomunis yang dianggapnya sebagai kontrarevolusi dan menjadi kaki-tangan imperialis dicabut izinnya. “17 Agustus jang akan datang, dalam merajakan 20 tahun kemerdekaan Indonesia, kebudajaan-setan ini seyogianja sudah harus tidak lagi mengotori bumi dan manusia Indonesia,” tulis Pramoedya.
Siapa nyana, yang dibabat total pada tahun 1965 bukanlah kaki-tangan imperialis itu, melainkan Pramoedya dan kawan-kawannya, terutama sesudah angin sejarah berbalik tiba-tiba pada 1 Oktober 1965. (*)