SkenaRio #1: 5 Band Indonesia yang Perlu Kamu Dengar Bulan Ini!

5 Band Indonesia yang Perlu Kamu Dengar Bulan Ini!

Sebagai penulis musik, saya sadar kalau saya bukanlah Sherlock Holmes-nya dunia musik, yang rajin membedah setiap karya musisi yang jauh dari sorotan. Padahal, di balik bayang-bayang popularitas, ada segudang musisi—baik grup maupun solois—yang punya karya-karya menarik yang seharusnya mendapatkan tempat di panggung perbincangan kita.

Berkat kesadaran akan kekurangan referensi dan keterbatasan akses itulah suatu hari saya kepikiran melakukan sedikit perubahan dalam kebiasaan menulis musik: saya membuka kesempatan bagi teman-teman untuk mengirim karya mereka.

Setelah diumumkan di Instagram dan Twitter Jurno.id, saya hampir jatuh dari kursi karena kaget—ternyata banyak yang mengirimkan email dan meminta saya mereview karya mereka. Siapa sangka, panggilan untuk spotlight indie ini diminati banyak orang!

Review? Jujur saja, kata itu masih bikin saya berkeringat dingin. Dengan pengetahuan musik saya yang setipis kertas rokok, rasanya terlalu berat untuk memberikan 'review' pada karya teman-teman musisi. Sejujurnya saya lebih suka menyebut proses ini “membuka jalur obrolan kepada musisi-musisi yang ada di luar jangkauan saya” ketimbang review, tapi, apa boleh buat, itu kepanjangan dan tak ada istilah selain ‘review’ yang lebih cocok. Jadi, mari kita sebut saja begitu. 

Saya akan menilai karya-karya tersebut dengan sedikit kemampuan dan pengetahuan yang saya punya. Dan yang paling penting—saya akan melakukannya dengan penuh semangat dan sedikit ngeyel.

Belakangan kita sering banget denger kata ‘skena’, meskipun saya sendiri jujur kurang sreg dengan kata itu. Suatu hari, desainer grafis Jurno, William Handoko nyeletuk ‘SkenaRio’ untuk program saya. Bisa dibaca, ‘skena’, ‘rio’ atau ‘skenario’. Haha. Bercanda kamu, Nak.

Itu meledek, tentu saja, bahwa saya penulis musik yang ada di pusaran ‘skena’. Tapi kalau dibaca jadi lucu juga. Jadi, saya akan menamakan rubrik saya ini SkenaRio saja, di mana saya berusaha menelisik musik-musik seru yang mestinya didengarkan oleh banyak orang.

Pada serial pertama ini, saya akan memilih 10 lagu dan membaginya ke dalam dua bagian. Jangan dianggap ini sebagai tindakan heroik, apalagi upaya adiluhung menyelamatkan jurnalisme musik, ya. Saya ngga punya tujuan besar macam itu. Cuma senang aja mendengarkan musik.

Doakan semoga saya kuat menggawangi SkenaRio,

Pots The Band: Ingenue

Band pertama yang akan saya review adalah The People of The Sun. Dalam surel yang mereka kirimkan, mereka mengklaim mencoba mengeksplorasi tema-tema perlawanan, bertahan, dan rumah sebagai solusi. Kening saya langsung berkerut. Penjelasan itu sama sekali tidak memberi gambaran tentang siapa mereka sebenarnya.

Tapi, ya sudah, lah.

Band yang disingkat menjadi Pots band ini membuka lagu dengan piano yang bikin nostalgia ke era classic rock a la Queen. Serius, piano di pembuka itu kayak bawa kita ke masa Freddie Mercury masih hidup. Terus, vokal latar yang muncul bikin saya inget banget sama “Somebody To Love”. Dan makin lama lagu ini berjalan, makin saya merasa ada aura Queen di sini. Drum-nya, sumpah, persis Roger Taylor, dan gitar lick-nya kayak Brian May kepleset. Meniru idola? Yah, buat band baru kayak Pots, mungkin wajar aja. Mereka lagi coba cari identitas sendiri, sambil ngecek ombak, kali ya.

Oke, kategori sound mereka? Classic rock, dan saya suka. Arransemen mereka? Nggak monoton, penuh kejutan, dan instrumennya kayak bumbu dapur yang pas di tiap masakan. Tapi sayangnya, lagu-lagu kayak "Ingenue" nggak langsung nempel di otak. Harus diputar berkali-kali baru deh terasa enak. "The People of The Sun"? Nah, ini kayak anak sekolah yang baru belajar musik rock terus nekad bikin band. Tapi nggak apa-apa, kita apresiasi aja percobaan mereka. Setidaknya mereka berani mencoba, kan?

Oh iya, saya sudah denger semua lagu di EP kalian. Saya suka, kok. Tapi jangan keburu senang dulu, ya. Saya ada tantangan nih buat POTS. Coba deh, bikin lebih banyak lirik dalam bahasa Indonesia. Gimana?

Gabriel Mayo: Tenang

Jarang sekali saya menemukan proyek musik yang segar seperti ini, terutama dari pasangan suami istri. Gabriel Mayo & Ruth Priscilla, duo musisi asal Surabaya ini benar-benar mengerti bagaimana membuat hati dan telinga senang.

Lagu-lagu mereka didominasi oleh petikan gitar berirama waltz yang mungkin terdengar monoton pada awalnya. Namun, petikan itu seolah menjadi benang merah yang mengikat seluruh aransemen lagu. Saat pertama kali mendengarkan, harmonisasi vokal mereka terasa begitu pas, seolah mereka sedang berbicara satu sama lain melalui lagu. Dan penutup yang manis dengan nyanyian anak kecil hanya menambah keindahan lagu ini.

Kesederhanaan musik dari duo ini semakin menonjol dengan tema lagunya yang tak mencoba menjadi terlalu serius atau rumit. Mereka tak berusaha menjadi seperti band folk yang bikin lirik-lirik yang penuh dengan senja-senjaan atau filsafat yang bikin kepala kita pening. Tema lagunya simpel: pesan seorang ibu kepada anaknya. Kehidupan yang penuh lika-liku mungkin membuat seorang anak tersesat, tapi seorang ibu selalu siap mengulurkan tangan jika anaknya ingin pulang. Itulah cinta seorang ibu, abadi dan tak goyah.

Tenang, tenang, tenang. 

Pastel Badge: Cherish

The Sundays mungkin akan melompat kegirangan saat mendengar karya terbaru dari Pastel Badge. Menurutku, Cherish dari Pastel Badge sukses membawa aku kembali ke era keemasan The Sundays. Terdapat sentuhan yang kuat dari Blueboy, Cocteau Twins, atau bahkan Sambassadeur di beberapa bagian.

Namun, entah mengapa, mendengarkan Pastel Badge terasa seperti menikmati pastel yang lezat. Tapi, bukan pastel yang akan membuat orang kecanduan sampai berkali-kali balik lagi. Terlebih lagi, genre indie pop seperti hutan belantara yang menyeramkan. Mengapa menyeramkan? Karena jika kamu tidak memiliki keunikan atau kreativitas yang luar biasa di tengah-tengahnya, kamu akan mudah terlupakan.

Menurutku, dengan potensi lagu-lagu yang begitu memikat, penting bagi Pastel Badge untuk memilih produser yang tepat di masa depan. Saya membayangkan Pastel Badge didukung produser yang mampu mengembangkan potensi keren yang mereka miliki—mungkin berkolaborasi dengan Lafa Pratomo atau Mondo Gascaro—mungkin bakal jadi pastel yang akan saya makan tiap pagi, sambil ngeteh atau ngopi.

SWARS: Suar di Tanah Tembakau

Suar di Tanah Tembakau merupakan satu nomor milik SWARS yang ada di EP perdana bertajuk “Noble Rot” yang dirilis pada akhir Januari lalu. 

Sebagai band stoner rock, band ini mungkin bisa membuat orang berhenti sejenak dari aktivitas dan mendengar lagu mereka. Suar di Tanah Tembakau dibuka dengan arransemen berisikan gitar penuh fuzz dan terdengar gelap. Setelahnya, vokal parau yang seakan sengaja dibikin garang menyapa pendengar. Sebuah percobaan agar mirip dengan Doddy Hamson, kah? Entahlah. 

Namun saya merasa, band ini berupaya menjadi Komunal. Saya teringat anthem berkeringat dari Komunal yang bertajuk Ilmu Tentang Racun saat pertama mendengar lagu ini. Begitupula dengan liriknya. Bau Komunal tercium deras dari lirik Suar di Tanah Tembakau.

Gong di Gorong-gorong
Di aspal yang bolong
Berang dan melolong
Malam di tanah tembakau

Sepanjang mendengar lagu ini, SWARS membuat saya berimajinasi: menonton mereka di sebuah bar sempit di tanah kelahiran mereka, Denpasar. Saya sih suka-suka saja. Tepatnya, saya menyukai mereka karena saya menyukai Komunal. Tapi, Perjalanan mereka mungkin tak mudah. Sebelum mereka, nama Jangar sudah terlalu melekat bagi banyak orang. Tak mudah unit rock ini untuk unjuk gigi di kancah nasional. 

Melalui press rilis yang kami terima, SWARS menulis pledoi:

Pada proses penciptaan karya musik dan lirik, SWARS terkoneksi dengan peristiwa di masa lampau (sejarah urban) dan peristiwa masa kini (fenomena). SWARS bertutur sejarah urban yang gelap dan minor, menyoal tentang kiprah tokoh-tokoh kriminal legendaris dalam dunia bawah, seperti Johny Indo, Rosario De Marshall (Hercules), Kusni Kasdut, dll.

Secara tema terdengar menarik. Tapi sanggupkah SWARS lepas dari bayang-bayang Komunal atau Jangar yang kadung melekat di hati banyak orang?

Perjalanan mereka menarik buat kita perhatikan!

La Ngetnik: Darmakelana
Saat saya menerima email dari grup ini, saya sangat senang. Alasannya sederhana. Mereka adalah grup musik dari Madura. Saya sudah mulai merasa bosan karena selama ini hanya mengenal Lorjhu', band asal Madura yang sering tampil di berbagai panggung di Jakarta. Ternyata, itu hanya karena saya terlalu malas untuk mencari tahu lebih banyak tentang potensi musik dari Madura. Terima kasih, La Ngetnik.
La Ngetnik mencoba menggabungkan keunikan dalam lirik yang menggunakan konsep tiga bahasa dengan pola-pola beat dan pola musiknya. Dentuman ritme di awal lagu memberikan sentuhan mono kick pada bass drum yang dicampur dengan suara gitar. Yang membuat lagu ini semakin menarik adalah suara synthesizer yang berpadu dengan instrumen lainnya.
Selanjutnya, kehadiran irama rock 'n roll yang bersahutan dengan suara perkusi tabla semakin memperkaya nuansa lagu ini. Lagu ini mengusung konsep multibahasa, dengan menggunakan tiga bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi seni tradisional di Madura atau mungkin di Nusantara. Tiga bahasa tersebut adalah Bahasa Indonesia, Arab, dan Bahasa Madura, yang diwujudkan dalam dentuman kontemporer.
Darmakelana, menurut La Ngetnik, dapat diartikan sebagai pelancong atau turis. Secara terminologi, gagasan Darmakelana merujuk pada seni merayakan hidup. Manusia, bagi La Ngetnik, adalah para pelancong yang memiliki kehendak yang sama, yaitu kehendak sebagai awal mula segalanya. Karena itu, kehendak itu membawa manusia berkelana dan menjadi makhluk bernama manusia.
La Ngetnik menulis: 
Lewat lagu ini, kami ingin menyampaikan sebuah dialektika tentang narasi dan siklus perjalanan hidup dan bagaimana sebuah perjalanan itu mudah.  Bersumber dari temuan-temuan nilai tradisi tentang asal, hidup, berkarya dan kemana kembali sama seperti yang dilakukan para pengelana, ia bersandar pada satu tumpu keyakinan bahwa perjalanan yang ditempuhnya tidak lain untuk memahami cara kerja (mesin) pengetahuan serta dimensi pencarian-pencarian. Lalu saat pengetahuan itu masuk pada pencarinya, apa yang lebih berharga dari memahami rahasia-rahasia semesta? Dengan pengetahuan itulah kehidupan ini benar-benar menyenangkan.
Saya tak sabar menyaksikan penampilan grup ini dan membikin hipster Jakarta Selatan melongo menyaksikan penampilan mereka. 

*****
Sampai jumpa di bagian kedua.

****
Foto-foto semua band dimasukin ke gdrive di bawah ya.

Foto-foto