75 Tahun Penjajahan Palestina: Hal-Hal yang Coba Dikaburkan oleh Media Barat
Bayangkan suatu hari yang cerah dan hangat. Kamu sedang menikmati hidup dengan keluarga yang kamu cintai, bersama tetangga-tetangga yang kadang mengganggu, tapi juga memberi rasa nyaman. Kamu berada di kota yang memberi makna pada hidupmu, di tempat di mana kamu membangun eksistensimu. Namun, tiba-tiba, tanpa pemberitahuan atau persetujuan sebelumnya, kamu terpaksa meninggalkan tanah kelahiranmu, tempat di mana kau telah menciptakan hidup bersama orang-orang yang kamu cintai, budaya, dan keyakinan yang telah melekat dalam dirimu.
Apa yang akan kamu lakukan dan bagaimana perasaanmu apabila hal itu terjadi?
Bagi saya, kenyataan itu sangat menyakitkan, di luar daya ungkap kata-kata. Di antara segala kemungkinan buruk yang tak terbayangkan, terlepas dari tanah kelahiran dan kehilangan tempat tinggal, adalah sesuatu yang sama sekali tak pernah terbersit dalam benak, seolah-olah mencoba merobek kulit dari tubuh yang sedar. Itu adalah penderitaan yang tak terselami.
Pengalaman pahit inilah yang dirasakan oleh rakyat Palestina, ketika mereka dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka pada 15 Mei 1948, tepat sehari setelah David Ben-Gurion menyatakan berdirinya Negara Israel di atas tanah Palestina. Rencana ini tidak muncul begitu saja; sebelumnya, itu merupakan hasil rekomendasi dari Inggris yang berupaya membagi Palestina menjadi dua negara, satu bagi kaum Yahudi dan satu lagi bagi kaum Arab pada tanggal 29 November 1947. Akibatnya, kelima negara Arab segera mengumumkan perang, yang sayangnya berakhir dengan kekalahan mereka oleh Israel pada 1949.
Sebelum peperangan, ada 200 hingga 300 ribu orang Palestina yang dipaksa, diusir dari tanahnya. Lalu selama masa perang, lebih dari 300 ribu orang Palestina terlantar tak punya rumah untuk tempat pulang. Perkiraan tragedi itu dialami oleh 700 ribu orang Palestina. Di akhir perang, Israel menguasai 40 persen area yang sebelumnya wilayah Palestina. Hingga kini ada lebih dari 7 juta pengungsi Palestina yang berangsur sejak awal 1948 hingga detik ini.
Ketika saya menulis ini, situasi yang tak menguntungkan etnis Palestina menggema dan membangunkan tidur panjang atas pseudo amnesia akut yang dialami oleh negara, intelektual, media dan publik figur. Bukannya tersadarkan, mereka menerapkan “cover both sides” yang dimaksudkan untuk bersikap ‘netral’ yang mana malah menguntungkan posisi agresor. Bukan memandang peristiwa ini sebagai dekolonisasi atau momen pengingat sejarah panjang atas penyingkiran warga Palestina atas penjajahan Israel.
Mengurai Sesat Pikir Atas Palestina Secara Singkat
Sejak lama, Palestina seringkali dibayangkan sebagai tanah yang tak berpenghuni, sebagai wilayah yang kosong, hanya padat dengan gurun pasir, dan penduduk Palestina meninggalkan tanah kelahiran mereka atas perintah dari pihak Arab selama peristiwa Nakba (bencana besar). Namun, sejarawan sekaliber Walid Al-Khalidi, yang melakukan penyelidikan mendalam dalam arsip berita yang dikeluarkan oleh Liga Arab pada tanggal 8 Maret 1948, menyatakan bahwa tak satu pun bukti perintah semacam itu dapat ditemukan.
Tak jarang, sebagian orang merasa terjebak dalam kebingungan sejarah yang rumit, sehingga mereka memutuskan untuk tidak memihak kepada salah satu pihak. Hal ini disebabkan oleh narasi sejarah yang terpecah antara “narasi warga Israel” dan “narasi warga Palestina.” Kedua narasi ini seakan-akan memberikan pesan bahwa kita tidak mampu sepenuhnya memihak kepada Palestina, karena kebenaran tampaknya selalu tersembunyi di antara kerumitan tersebut.
Sejarawan Ilan Pappe dalam Ten Myths About Israel secara terang memaparkan bagaimana sesat pikir, seperti yang ditulis di atas, dan sejarah diceritakan atau direkam bukan berdasarkan fakta, melainkan propaganda dan mitos. Dalam buku yang ia tulis untuk memperingati 50 tahun penjajahan yang dilakukan Israel, Pappe ingin memilah dan mengakhiri mitos yang dilanggengkan oleh Zionist atas penindasannya terhadap warga Palestina.
Anggapan bahwa “Palestina adalah tanah tak berpenghuni yang cocok bagi mereka yang tak punya tempat, bahwa tidak ada yang bisa disebut sebagai warga Palestina, dan bahwa Israel telah mengubah gurun pasir menjadi wilayah yang hidup” seperti yang ditegaskan oleh DecolonizePalestine, dan dengan pandangan sejalan dari Ilan Pape, dengan tegas merupakan mitos. Lebih tragis lagi, mitos semacam ini digunakan untuk memecah-belah berbagai komunitas yang telah lama menghuni wilayah Palestina, dan sebagai upaya melegitimasi tindakan pengusiran penduduk asli oleh kolonialisme pemukim Zionis (settler-colonialism).
Sejarah Palestina, yang penuh perjuangan, melukiskan gambaran yang berbeda. Ini adalah tanah yang selalu menjadi tempat berdiam bagi berbagai populasi yang datang dan pergi akibat peperangan. Di tanah ini, akar-akar sejarah mencakup ragam asal usul, seperti keturunan Armenia, Bosnia, bahkan India-Palestina. Yang menarik, bukti-bukti tertulis oleh para pionir Zionis menunjukkan bahwa penduduk asli Palestina telah sangat ramah dan berbagi ilmu dengan mereka, mengajarkan cara mengolah tanah sebelum mereka memutuskan untuk meraih supremasi dan menjadi tuan tanah. Namun, dalam perjalanan yang tragis, pemimpin Zionis bahkan mencapai titik ekstrim, di mana mereka berusaha untuk menghapuskan keberadaan penduduk asli, semata-mata agar penjajah dapat menggarap, memanfaatkan, dan membangun peradaban mereka sendiri.
Selama 75 Tahun Penjajahan, Kok Diem Aja?
Palestina sebagai negara, Hamas sebagai salah satu organisasi militan dan pembebasan dari penjajah Israel yang ada di sepanjang Jalur Gaza, didakwa sebagai iblis yang jahat dan mengganggu kenyamanan warga Israel oleh mayoritas media Barat, pemimpin dan para publik figur. Keduanya menjadi sasaran empuk untuk meluapkan kekesalannya terhadap serangan yang dilakukan oleh Hamas pada Sabtu 7 Oktober.
Melihat sikap yang ambigu dan tebang-pilih, Gideon Levy, jurnalis Israel, mengambil sikap bahwa tindakan Hamas itu bukan tanpa sebab, menurutnya mula paling gampang adalah karena Israel memenjarakan 2 juta warga Palestina yang dipenjara. Levy juga melanjutkan bahwa sikap arogansi dan semena-mena Israel yang seolah Tuhan di bumi menunjukkan bahwa tak ada yang tak mungkin di bawah matahari dan akan selalu ada yang harus dibayarkan, yakni kebebasan warga Palestina yang telah lama direnggut oleh mereka, terutama di Jalur Gaza yang dijadikan tempat pengungsi oleh Israel dan mereka di Jalur Gaza tak pernah bisa merasakan kebebasan barang sehari saja.
Sementara Ilan Pappe yang memang pendukung atas kemerdekaan Palestina, melihat peristiwa tersebut terkait bagaimana tindakan Hamas telah dibingkai jauh lebih buruk daripada apa yang dilakukan oleh Israel selama ini dikarenakan acuan moral yang berbeda dan abai terhadap tindakan Israel sebagai settler-colonial dari Zionisme yang menginginkan pemusnahan massal warga asal/asli/native etnis Palestina.
Menurut Pappe, upaya untuk membingkai Israel sebagai pihak yang tak bersalah dan menyalahkan Palestina hanya karena peristiwa terakhir, adalah suatu upaya yang melupakan sejarah pengusiran, pembantaian, dan penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina selama beberapa dekade. Kita tidak boleh melupakan bahwa rakyat Palestina sedang berjuang untuk kemerdekaan mereka, berjuang untuk membebaskan diri dari kekerasan berkelanjutan yang dikenakan oleh Israel.
Jika tidak ada upaya pembebasan, maka tindakan Israel terhadap rakyat Palestina bisa dianggap sah, dan sejarah tragis tersebut akan segera terlupakan. Pada titik ini, dengan pendekatan dekolonisasi, penolakan terhadap sionisme, pembebasan, dan demokratisasi Palestina, kita bisa mengembalikan kehidupan dan masyarakat yang adil, tanpa diskriminasi berdasarkan budaya, agama, atau etnisitas.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan Ronan Burtenshaw dalam tulisannya berjudul Ending Apartheid Is the Only Path to Peace. Meskipun selama lebih dari 75 tahun, rakyat Palestina telah menjadi korban pendudukan serta sistem pemisahan ras yang dijalankan oleh Israel - kenyataan ini adalah bukti nyata dari hipokrisi yang terasa kuat dalam sikap para pendukung Barat. Padahal, jika Israel dan para pendukungnya bisa mengakui bahwa telah terjadi pembersihan etnis Palestina yang penuh ketidakadilan, dan jika mereka tahu bahwa telah ada usaha damai dan legal yang diajukan rakyat Palestina, dan juga jika mereka bersedia mengakhiri sistem apartheid yang ada, maka seharusnya semua ini menjadi fokus utama, daripada mengambil posisi yang pilih-pilih seperti yang terlihat saat ini.
Kesempatan untuk mengakhiri penderitaan ini adalah melalui tindakan nyata dan pengakuan, bukan manipulasi narasi dan penghapusan.