8 Years Challenge: Pak Jokowi dan Fafifu-nya

8 Years Challenge: Pak Jokowi dan Fafifu-nya

Dari cita-cita menjadi penguasa lautan, Presiden ini belok ingin jadi penguasa baterai. Besok jadi penguasa apa lagi ya? šŸ¤”

 

"Saya meyakini masa depan Indonesia ada di laut, di samudra, dari situ bisa menyediakan lapangan kerja, income, ketahanan negara, gizi nasional. Karena kalau kita lihat sejarah, bangsa ini besar karena kita tidak memunggungi laut. Kerajaan Sriwijaya, Majapahit jaya karena bisa menguasai lautan, sejarah seperti itu harus jadi pegangan kita" -Pak Jokowi

Pernyataan Pak Jokowi di atas, dibuat pada tahun 2015–belum lama setelah  beliau menjabat sebagai Presiden RI.

Memang, pada awalnya mungkin kita melihat pernyataan itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Kita tahu bahwa, Indonesia adalah sebuah negara kepulauan, jadi wajar bila ada seorang pejabat negara yang berpikir kalau kedigdayaan di laut itu penting.

Yang menarik dari pernyataan Pak Jokowi, adalah pertanyaan yang mungkin menyusul kemudian: 

Apa iya Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit benar digdaya di lautan?

Kenapa kedua kerajaan itu sering dianggap sebagai puncak keberhasilan maritim Indonesia?

Apakah kita benar memiliki kemampuan untuk menguasai lautan?

Kalau memang potensi itu ada, kira-kira sudah sejauh mana upaya pemerintah terutama Pak Jokowi untuk dapat mencapai tujuan itu?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu dapat mudah dijawab dengan kutipan Pak Jokowi paling tenar: “Yo ndak tau kok tanya saya.”

Tetapi, ada juga cara lain.

Pertama, kita bisa mengamini terlebih dahulu bahwa masa lalu kita sebagai sebuah bangsa memang amat bergantung pada laut. Laut jelas memberikan nenek moyang kita sumber daya alam dan jalur perdagangan. Laut juga, di lain sisi, membawa Portugis, Belanda, Jepang yang menjajah nenek moyang kita dan, romantisasi tentang laut jangan sampai bikin kita lupa bahwa laut juga membawakan kita narkoba.

Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit  sendiri memang merupakan kerajaan yang berpengaruh di Nusantara. Kedua kerajaan ini yang juga seolah-olah mewakili rivalitas antara Sumatera dan Jawa.

Kerajaan Sriwijaya, adalah kerajaan pelabuhan yang fokusnya diarahkan langsung pada aktivitas perdagangan di laut. Sedangkan Majapahit, pada awalnya adalah kerajaan pedalaman yang berfokus pada produksi hasil pertanian.


 

Kerajaan Sriwijaya the real OG kelautan

 

Kerajaan Sriwijaya, berkembang lebih dulu antara abad ke-7 Masehi sampai ke-13 Masehi. Kerajaan Sriwijaya mulanya berkembang di Palembang, tepatnya di sekitar Sungai Musi sebelum meluaskan pengaruhnya dan menguasai Selat Malaka. Kekuasaan Sriwijaya didasarkan pada penguasaannya atas salah satu jalur perdagangan laut internasional melalui hubungannya dengan negari-negari di Kepulauan Melayu, juga dengan Cina dan India.

Posisi Sriwijaya yang strategis juga membuatnya menjadi salah satu pusat pembelajaran Agama Buddha Mahayana. Kerajaan Sriwijaya menjadi titik singgah bagi peziarah Buddha dari Tiongkok yang ingin mempelajari ajaran Buddha di India. Salah satunya adalah I-Tsing atau Yijing yang pernah transit di Kerajaan Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India.

Penguasaan Kerajaan Sriwijaya atas laut diyakini telah dibangun dengan dukungan penduduk di sekitar Musi dan andil besar dari suku pengembara laut yang tinggal di pantai dan pulau-pulau lepas pantai di tenggara Sumatera. Kesetiaan dari suku-suku laut membantu menjaga wilayah Sriwijaya dari ancaman perompak, sehingga Kerajaan Sriwijaya mampu melakukan monopoli jalur perdagangan.

Jadi, bisa dibilang Kerajaan Sriwijaya memenangkan pertarungan di laut. Di puncak kebesarannya, Kerajaan Sriwijaya berhasil menaklukan lautan di pesisir Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Selat Malaka.

Lalu, bagaimana dengan klaim Pak Jokowi tentang Majapahit?

 

Kerajaan Majapahit umm… Rumit

Setelah kemunduran Sriwijaya pada abad kesebelas akibat invasi Kerajaan Chola, dominasi atas lautan nusantara perlahan digantikan oleh Majapahit yang berkembang mulai abad ketiga belas hingga keenam belas.

Majapahit sendiri didirikan di Trowulan, di tepi Sungai Brantas di Jawa Timur oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 setelah kekalahan pasukan Mongol yang dikirim oleh Kubilai Khan. Sumber utama yang merekam keberadaan Majapahit adalah kitab Nāgarakěrtāgama yang ditulis pada tahun 1365 oleh Mpu Prapanca.

Sebenarnya, narasi kejayaan Majapahit yang banyak kita dengar merupakan gambaran tentang situasi kerajaan itu di abad ke-14 Masehi. Saat itu Majapahit dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada yang program dietnya dianggap sukses menyatukan Nusantara (baca: sumpah palapa). Pada periode yang singkat itu, Kerajaan Majapahit cukup berhasil memperluas pengaruhnya di Nusantara.

Apakah Kerajaan Majapahit mampu mendominasi lautan? Ya, tapi dengan cara yang berbeda dari apa yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya.

Sebelumnya telah disinggung, bahwa Kerajaan Majapahit memiliki corak yang berbeda dari Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Majapahit tidak melakukan aneksasi terhadap kerajaan-kerajaan lain di luar pulau Jawa melalui laut. Hanya Madura, satu-satunya pulau penting yang secara administratif disatukan dengan tanah Jawa. Sedangkan pulau-pulau lain di Nusantara, seperti yang dijelaskan dalam Deśavarį¹‡ana, hanya mengirim upeti ke Majapahit. Meskipun, kapasitas untuk melakukan serangan jarak jauh memang dimiliki oleh Majapahit.

(Catatan: perihal upeti itu, mungkin padanannya hari ini adalah sebuah ritual penyerahan tanah dan air yang belum lama ini dilaksanakan seorang kepala negara yang diam-diam sering dibikin pusing ulah raja-raja kecil)

Kapasitas maritim Majapahit didukung juga oleh pemanfaatan bahan baku kapal di Pulau Jawa. Pulau Jawa, sampai abad ke-15 cukup dikenal sebagai salah satu pusat pembuatan kapal terpenting di Asia. Basis angkatan laut Majapahit berada di pantai utara Jawa. Majapahit  juga mengadopsi strategi Sriwijaya dengan merekrut pelaut lokal sebagai tentara bayaran untuk menjaga keamanan laut.

Reputasi Kerajaan Majapahit di lautan yang tidak bertahan lama kemudian digantikan oleh Kesultanan Malaka. Di lain pihak, perpecahan internal kerajaan turut membelah kekuatan Majapahit bahkan sejak awal  abad ke-15. Perang saudara tahun 1405 sampai 1406 antara bagian Raja Wikrama wardhana (1389-1429) dan sepupunya Bhre Wirabhumi merongrong kedaulatan Majapahit.

 

Negara Republik dengan Obsesi Dongeng Monarki

Cerita soal kehebatan maritim kerajaan Sriwijaya dan Majapahit ini kerap dianggap sebagai simbol kedaulatan Indonesia di masa lalu. Meskipun, sebenarnya kedua kerajaan itu disangga oleh keberadaan para pelaut lokal dan negeri-negeri lebih kecil yang mengharapkan perlindungan dari kedua kerajaan itu. 

Di sisi lain, keberadaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai kekuatan maritim, bisa menjadi referensi positif untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap elit. Bentuk kerajaan dianggap salah satu bagian dari sejarah politik Indonesia yang di dalamnya terdapat kekuasaan yang terorganisir dan menembus batas-batas kepulauan.

 Sudah sejak lama, mimpi untuk menguasai laut layaknya Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah menjadi dongeng para elit–tentu nggak kepikiran buat kita yang dikit-dikit ngantuk ini. Tapi, kalau dipikir-pikir, apa iya masa depan kita ada di laut? Kalau rencana Pak Jokowi, sih, begitu. Yang kita tahu, sejak 2014 lalu, Pak Jokowi mencanangkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kita tahu juga bahwa, beberapa kebijakan strategis terkait kelautan telah coba dilaksanakan oleh pemerintah.

Salah satunya yang mencuri perhatian publik adalah pemberantasan  illegal fishing menenggelamkan kapal asing yang sembarangan masuk di wilayah Indonesia. Sampai sekarang pun, kita beberapa kali mendengar bahwa pemberantasan maling ikan ini masih dijalankan meski telah berkali-kali ganti Menteri Kelautan. Ada beberapa hal yang bikin pencurian ikan di Indonesia masih sulit dihadang sampai sekarang. Lagian giliran sudah dihadang, malah si menteri yang berulah.

Ada juga program-program kelautan yang punya perkembangan cukup mencolok seperti tol laut dan pembangunan beberapa pelabuhan. Inti dari program semacam ini adalah terbangunnya  konektivitas antarpulau di Indonesia. Terkesan sangat maritim bukan? Jadi poros maritim dunia nggak nih?

Nanti dulu.

Wacana Indonesia sebagai poros maritim dunia, sepertinya sudah kehilangan relevansinya pada periode kedua Pak Jokowi. Narasi soal Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sendiri, seperti yang sudah-sudah, sepertinya hanya menjadi bantalan politik. Arah kebijakan pada periode kedua Pak Jokowi ini lebih terpusat padai berpusat pada sektor investasi atau perdagangan. Cita-cita Pak Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia pun seolah-olah ditinggal setengah jalan, digantikan dengan cita-cita menjadi pedagang baterai dunia.

Terus, angkatan laut Indonesia gimana? Ya, meskipun digadang-gadang sebagai salah satu yang terbesar di dunia, ingatan terbaru kita belum lepas dari kejadian yang menimpa KRI Nanggala. Kalaupun mau melakukan perbaikan, sampai saat ini anggaran Angkatan Laut kita belum sampai setengahnya anggaran Angkatan Darat, meskipun sudah ada peningkatan. Kendalanya di mana sih? Menurut pengamat ya, political will. 

Jadi, apakah realistis cita-cita untuk mencapai kejayaan maritim seperti Sriwijaya dan Majapahit? Yo ndak tahu, kok tanya saya? Yang kita tahu soal laut, berpegang pada sejarah seperti yang dikatakan Pak Jokowi tak sepenting berpegang pada pelampung. Sriwijaya? Karam. Majapahit? Karam. Indonesia sebagai poros maritim dunia? Lupa daratan.