Ada Apa dengan Jamet?

Beberapa waktu terakhir muncul tren baru: mewawancarai para remaja dari kota-kota penyangga Jakarta yang sedang nongkrong di area Sudirman, Tebet, dan Dukuh Atas. Pertanyaan berputar di harga pakaian mereka, uang jajan yang dihabiskan sekali jajan, kegiatan mereka di sana, dan status hubungan mereka. Sekilas tidak ada yang aneh dengan ini–pertanyaan pewawancara cenderung santai, yang dijawab oleh para remaja dengan malu-malu. 

Lalu masalahnya dimana? Ada di komentar-komentar warganet yang bernada merendahkan. Dari yang mengomentari soal pakaian dan gaya rambut mereka yang dianggap kampungan atau bahasa halusnya, ‘borongan Shopee’, menyindir gerakan joget mereka sebagai ‘cacing kepanasan’, dan ada yang merasa miris dengan ‘bocil-bocil jaman now’ yang ‘sudah kebablasan pergaulannya karena pacaran’.

Keberadaan mereka juga dianggap merusak estetika tempat-tempat tersebut. Beberapa komentar membandingkan daerah-daerah tersebut dulunya seperti ‘luar negeri’, tapi karena keberadaan mereka tempatnya berubah menjadi ‘Pasar Senen’, ‘Tanah Abang’, atau ‘Kota Tua alias daerah-daerah kumuh yang tidak estetik. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ‘sisi gelap Jakarta’, padahal videonya diambil di siang hari dan tidak ada kegiatan yang melanggar asusila. 

Jamet, Chav, Bogan, Gopnik dan White Trash

Fenomena memandang rendah orang-orang dari strata kelas bawah bukan fenomena baru. Awal internet booming di Indonesia, kita sudah akrab dengan istilah ‘alay’ yang kemudian berkembang menjadi ‘ngabers’,  ‘jamet’ (jawa metal) yang ikut melahirkan istilah ‘kuproy’ (kuli proyek). Sebelum ada internet pun, kita sudah akrab dengan istilah ‘bocah/anak kampungan’, ‘norak’, dan lain-lain. 

Penggunaan kata-kata tadi merupakan bentuk merendahkan atau bahkan demonisasi kelas pekerja. Ini karena kata-kata tersebut sering disematkan ke mereka yang berasal dari kelas menengah-bawah atau mereka yang baru pindah dari desa ke kota. Mereka menjadi sasaran empuk rundungan warganet karena gaya pakaian, rambut, tempat nongkrong, dan selera musik mereka yang mudah dikenal–kontras dengan gaya kota-alias-kelas-menengah. 

Padahal gaya pakaian dan tingkah laku mereka tidak mengganggu jalannya kehidupan kita. Lalu kenapa banyak dari kita begitu tendensius mengatai-ngatai mereka? Ini yang bikin garuk-garuk kepala. 

Tapi ya, fenomena ini sebenarnya bukan hanya fenomena Indonesia saja, tapi juga terjadi di luar negeri. Ada white trash atau rednecks dari Amerika Serikat, chav dan chavettes dari Inggris, bogan dari Australia, dan gopnik dari Russia yang merupakan subkultur kelas pekerja. Sama seperti jamet dan kuproy, mereka berasal dari mayoritas kelas pekerja yang terpinggirkan dan tampilannya dianggap kurang beradab di mata kelas menengah.

Ada pararel menarik dari tampilan dan selera jamet dalam negeri dengan luar negeri. Mereka mencoba untuk mensimulasikan gaya kelas menengah untuk menandakan mobilitas sosial mereka, tapi berujung gagal–kemungkinan karena kurangnya kapital dalam bentuk uang dan juga pengetahuan. 

Dalam kasus chav, mereka identik dengan topi Burberry, celana Reebok, boots Rockport, dan kaus Morgan, sedangkan gopnik dengan baju olahraga Adidas. Barang-barang ini dulunya identik dengan anak-anak muda kelas menengah karena harganya yang mahal, tapi sekarang identik dengan mereka. Hal serupa juga bisa kita observasi dari jamet Sudirman dan Dukuh Atas: pakaian mereka terinspirasi dari utas-utas rekomendasi toko baju dan aksesoris Shopee yang biasanya terinspirasi dari fesyen Korea Selatan di Twitter. Pakaian-pakaian ini awalnya dipopulerkan oleh jenama-jenama media sosial sebelum akhirnya menyebar ke masyarakat. 

Selain pakaian, pararel lainnya adalah penggunaan bahasa yang yang khas. Bahasa mereka biasanya penuh dengan slang, tata bahasa yang tidak baku, atau dalam kasus jamet dari kota penyangga Jakarta, pencampuran bahasa Indonesia dengan dialek daerah. Chav identik dengan dialek cockney, kontras dengan dialek posh yang identik dengan kelas menengah atas Inggris. Penggunaan bahasa yang berbeda ini secara tak langsung mengalienasi mereka dari masyarakat luas.

Keberadaan mereka tak hanya dianggap tidak layak, tapi juga menimbulkan perasaan takut, jijik, dan muak, tulis Nayak dan Kehily (2014). Emosi ini muncul lewat sentimen masyarakat kontemporer terhadap kelas, gender, seksualitas, dan etnis yang juga digunakan untuk menandai para jamet dkk sebagai figur celaan. Le Grand (2015) menyatakan kejijikan ini datang dari ‘selera buruk’ para jamet–selera buruk inilah yang kemudian diasosiasikan dengan ketiadaan moral.  Pandangan ini datang dari anggapan bahwa kemiskinan mereka berasal dari kesalahan diri sendiri yang tak bisa keluar dari lingkar kemiskinan alih-alih permasalahan struktural yang diakibatkan oleh neoliberalisme.

Berbeda dengan jamet dan kuproy yang ejekannya berputar di media sosial, jamet versi bule ini bisa terkenal karena liputan media nasional. Contohnya adalah jurnalis Inggris Julie Burchill yang sering menulis tentang chav sampai menyebut dirinya sendiri sebagai chav. Hal serupa juga terjadi dengan bogan dan white trash–bogan bisa digunakan untuk menjelek-jelekkan atau memuji kultur orang-orang Australia, sementara white trash dianggap tidak punya nilai positif sama sekali. 

Meski dianggap sebagai hinaan, istilah jamet dkk juga sering digunakan oleh kelas menengah untuk menunjukkan kekampungan mereka. Tentunya ini dilakukan secara ironis untuk membuat teman-teman mereka tertawa atau sebagai sebuah sindiran terhadap jamet. Hal serupa lagi-lagi juga terjadi di Inggris–para chav menuduh Burchill mengapropriasi kejametan mereka. Tak seperti mereka yang terlahir chav, Burchill bisa memilih kapan berhenti jadi chav. 

Memangnya Kenapa Kalau Jamet di Tempat ‘Estetik’?

Alasan-alasan tadi bisa menjadi penyebab kenapa warganet begitu antagonis terhadap para bocil atau jamet yang berserakan di ‘daerah estetik’. Estetika mereka yang kampungan dan berantakan bertabrakan dengan keteraturan dan kemewahan yang ditampilkan dari daerah-daerah elit tersebut. 

Namun ada hal lain yang mungkin membuat warganet begitu miring melihat mereka: yaitu pandangan bahwa Jakarta adalah kota yang sepenuhnya modern dan hanya diisi oleh kelas menengah dan menengah atas. Kita sudah didoktrin oleh media dan media sosial bahwa Jakarta adalah kota maju dengan segala bling-blingnya. Padahal bagian kota Jakarta yang sudah benar-benar berkembang hanya sebagian kecil dari seluruh kota ini. 

Padahal kalau melihat peta Jakarta, area-area borjuis dikelilingi oleh daerah-daerah kumuh. Di belakang toko dan restoran mewah Kemang ada perumahan warga lokal, begitu juga dengan Sudirman dan SCBD yang dekat dengan perumahan kumuh warga. Keberadaan mereka di tempat-tempat ‘estetik’ seharusnya bukan sesuatu yang dipermasalahkan. Justru harusnya ditolerir, karena apa salahnya mereka ada di tempat-tempat itu? Toh mereka ada di properti publik yang memang bebas dilewati oleh orang-orang tanpa memandang kelas mereka.