AI Itu Sungguh Sederhana, yang Hebat-Hebat Hanya Tim Marketing-nya

AI Itu Sungguh Sederhana, yang Hebat-Hebat Hanya Tim Marketing-nya
Panduan memahami Artificial Intelligence tanpa mitos marketing

Selama ini perbincangan kita terkait mesin cerdas, Artificial Intelligence (AI), atau robot berkesadaran seringkali hanya melalui film fiksi ilmiah seperti: Her (2013), Terminator (1984), Ex Machina (2014), The Matrix (1999), 2001: A Space Odyssey (1968). 

Tema yang diangkat dari film-film tersebut kurang lebih berkaitan dengan kecerdasan buatan dengan premis bahwa mesin akan membahayakan manusia karena ia bisa kapan saja lepas kendali. Ini mengimplikasikan bahwa mesin atau robot tersebut memiliki kesadaran.

Dalam beberapa bulan ke belakang, kita melihat dan juga mengadopsi salah satu tools AI yang ramai diperbincangkan untuk kerja-kerja praktis dari yang menghasilkan profit maupun yang nonprofit, yakni ChatGPT 3 dan perkembangan terkini menjadi ChatGPT 4.

Anda bisa dengan mudah menemukan judul-judul heboh seperti: Cara-Cara Jenius Dapat Uang dengan AI, Cara Dapat Uang Secara Online dengan ChatGPT, hingga 10 Kelakuan ChatGPT yang Bikin Bergidik. 

Dari sini kemudian muncul pertanyaan: "Apakah suatu saat nanti, beberapa tahun ke depan, AI secara spesifik, dan robot berkesadaran pada umumnya, akan menggantikan dan memusnahkan manusia?"

Tunggu dulu, nggak sesederhana itu.

Apa sih Artificial Intelligence?

Mari kita selidiki dari pertanyaan paling basic yang kita pikirkan, cuma karena sering lewat di TL jadi kita seakan-akan ngerti tentang AI: "Apa sih sebenarnya AI itu?”

Jangan-jangan, sebenarnya, kita yang awam ini nggak tahu apa-apa?

Dalam interview dengan Annie Lowrey untuk The Atlantic Amba Kak, Executive Director AI Now Institute yang merupakan kelompok studi di New York mengenai dampak AI terhadap masyarakat menjelaskan dengan sederhana:

“AI itu buzzword (istilah yang heboh, trendy pada masa yang spesifik). FTC menggambarkan istilah Artificial Intelligence sebagai istilah marketing. Mereka nge-post di blog bilang istilah itu gak jelas dan nggak punya arti yang pasti, loh!”

Kata kuncinya adalah marketing.

Waktu kita bahas AI sebenernya kita lagi bahas algoritma yang ngumpulin dan menganalisa data sebanyak-banyaknya, dan data-datanya itu di-input dan disusun oleh manusia. Dari sini data akan diproses dan menghasilkan output. Output ini bisa berbentuk prediksi tentang kata apa yang akan muncul atau kapan kita harus berbelok ketika menggunakan aplikasi maps di handphone.

Tampak familier bukan? Lantas apakah sistem AI saat ini dapat berpikir? Atau, mungkinkah mereka akan melampaui manusia dengan kecerdasannya? 

Secara singkat AI tidak dapat berpikir dan juga tidak memiliki kecerdasan. Meski terdapat kata intelligence di dalam AI yang bikin kita membayangkan hal-hal yang aneh-aneh. Lebih jauh, AI hanyalah penggabungan bentuk linguistik berdasarkan yang mereka amati dalam fase data pelatihan.

Hal ini seturut dengan peneliti AI, Emily M. Bender, Timnit Gebru, Angelina McMillan-Major, dan Margaret Mitchell dalam On the Dangers of Stochastic Parrtos: Can Language Models Be Too Big?

Bender mengatakan di jurnalnya bahwa sistem AI bertujuan membuat kita, manusia, merasa bahwa sistem tersebut cerdas. Dari yang semula generative AI (sistem atau algoritma yang mampu menciptakan data atau konten baru yang menyerupai data input pada fase training), menjadi Artificial General Intelligence (AGI, sistem untuk menyelesaikan berbagai tugas dengan tingkat pemahaman dan kemampuan yang sama seperti manusia dengan menggabungkan berbagai jenis pengetahuan) dengan singularitasnya sendiri–yang bisa membunuh dan memusnahkan manusia.

Padahal sistem AI sejauh ini hanya melakukan hal-hal biasa saja. Tugas-tugas spesifik. Misalnya, ketika ditanya tentang ada berapa penduduk Indonesia? AI akan menjawab sesuai data yang selama ini tersebar di web. Karena, sekali lagi, mereka terus mempelajari pattern dan mengulangi hasil dari mempelajari data. 

Betul bahwa AI saat ini memang jauh lebih efektif dalam meniru interaksi antarmanusia, misalnya jika anda bertanya ke ChatGPT dia seolah bisa memosisikan sebagai sahabat atau pacar anda. Tetapi, itu adalah pula hasil pelatihan data yang dia terima.

Gampangnya begini: mungkin anda pernah mengikuti pelatihan keuangan dari kantor Anda bekerja, Anda menerima pelajaran dan sebuah modul berisi langkah-langkah sukses mengelola keuangan. Pelajaran dan modul itu adalah input, sebagai manusia dengan pengalaman dan kesadaran yang kompleks dan hidup dalam kenyataan, Anda tahu bahwa anda nggak bisa dengan serta merta mengikuti panduan dari perencana keuangan. Sementara AI akan mengolah dan melatih data dari penasihat keuangan itu dengan penuh kepatuhan, sehingga ia akan pula menghasilkan jawaban sebagaimana yang diajarkan oleh si penasihat keuangan.

Sekarang, bayangkan jika si penasihat keuangan adalah seseorang bergaji 30 juta per bulan yang mana segala nasihat pengaturan keuangannya dirasa kurang cocok bagi anda yang bergaji 2 juta per bulan.

Kak juga menyoroti masalah yang muncul dari penggunaan AI, salah satunya adalah Chat GPT yang sangat bisa menghasilkan informasi yang keliru, menyimpan bias, misinformasi, atau tidak akurat. Pengguna yang awam dengan istilah-istilah teknis komputer dengan begitu saja bisa percaya atas informasi yang mereka terima karena ChatGPT dianggap memiliki kecerdasan.

Kecerdasan tidak sama dengan kesadaran

Hanya di film-film kita bisa melihat bagaimana robot memiliki perasaan sedih, senang, dan memiliki kebebasan untuk melawan manusia, sang pencipta robot tersebut. 

Sementara di kenyataan, sulit untuk membayangkan, machine learning, model AI seperti Chat GPT akan menolak menjawab pertanyaan ketika kita ajukan–pada waktu tertentu jawaban yang mereka hasilkan bisa diubah dan Chat GPT akan mengamini itu. Coba lihat bagaimana penanya meyakinkan bahwa 5 + 2 = 8.

Kita telah melihat di atas ternyata sistem AI tidak dapat dikatakan berpikir dan memiliki kecerdasan. Lebih jauh sistem AI seperti Chat GPT justru seringkali memberikan jawaban yang tak tepat. 

Di sisi lain, David Chalmers dalam bukunya Reality+: Virtual Worlds and the Problems of Philosophy menjelaskan jika kecerdasan merupakan suatu perilaku tindakan yang memiliki tujuan tertentu. Misalnya ada suatu mesin yang sangat pintar dan dapat memenangkan permainan catur, maka ia dikategorikan sebagai narrow intelligence. Apabila sistem dapat melakukan upaya penalaran untuk mencapai berbagai tujuan, ia dikategorikan sebagai general intelligence. 

Beberapa contoh narrow intelligence ialah AlphaZero yang dikembangkan oleh DeepMind, ia sangatlah lihai dan berhasil memenangkan permainan catur. Pun dengan self-driving yang dimiliki mobil Tesla sangat cakap menentukan navigasi.

Jadi, kalau ada mesin yang bisa melakukan banyak tindakan dengan tujuan yang berbeda-beda, mesin itu baru bisa disebut general intelligence.

Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa kecerdasan berhubungan dengan suatu perilaku dan berdasarkan data yang di-input serta proses learning berdasarkan suatu data untuk menghasilkan suatu prediksi, serta memiliki taraf tertentu kecerdasan. Selain itu kecerdasan juga tidak ada hubungannya dengan perasaan, karena yang paling utama adalah memberikan jawaban dari pertanyaan. 

Misalnya, bagaimana menjawab pertanyaan atau permintaan "Tolong buatkan satu paragraf tentang demokrasi", "apa yang dimaksud dengan influencer", "siapa itu Jokowi Widodo". Nantinya mesin pintar seperti ChatGPT akan menjawab sesuai data yang telah diinput. Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua jawaban yang dihasilkan itu benar, kita harus melakukan verifikasi.

Sementara kesadaran selalu berhubungan dengan pengalaman subjektif seperti perasaan sedih, marah, bahagia, krisis eksistensi, atau pengalaman ketika mendengarkan musik Jazz bagi Mahfud akan berbeda dengan yang dialami oleh Prabowo, meskipun judul lagunya sama. 

Dalam sejarahnya, AI berfokus kepada persoalan kecerdasan dan mengabaikan kesadaran. Implikasinya saat ini kebanyakan orang akan beranggapan bahwa AI adalah mesin dengan kecerdasan yang seolah-olah paham apa yang ia katakan. Padahal saat ini kecerdasan AI itu seperti halnya kalkulator: keduanya memiliki persamaan dibuat untuk menerjemahkan data yang diinput manusia menjadi jawaban dan kebutuhan praktis manusia.

Artificial Intelligence Itu Biasa Saja yang Hebat Hanya Tim Marketing-nya

Pekerjaan mendesain sistem yang kompleks adalah pekerjaan yang luar biasa rumit. Ia memakan waktu, tenaga dan pikiran. Bisa dibilang ia adalah pekerjaan yang memerlukan level dedikasi yang mengagumkan. Menyederhanakan semua proses itu ke dalam narasi fearmongering, seperti dongeng-dongeng tentang hari kiamat, tentu sama saja dengan mendiskredit seluruh pekerjaan itu.

Tidak seperti ketakutan Yuval Noah Harari, sesungguhnya AI biasa saja. Ia adalah sebuah konsekuensi dari, yah, bakat manusia untuk ingin mencari tahu segala sesuatu. Ketakutan yang muncul dari berkembangnya suatu teknologi baru, hingga dianggap sebagai pertanda datangnya kiamat, juga bukanlah narasi orisinal. Mereka seperti cerita sebelum tidur yang terus-menerus ditulis dan dituturkan ulang dari masa ke masa.

Masalah utama dari ketakutan kita yang tak mendasar soal AI dan masa depan umat manusia itu tak lebih karena ketakmampuan kita melihat bahwa AI dan mesin cerdas lainnya itu hanyalah tools dan mereka bahkan tidak sampai pada taraf memiliki kecerdasan atau mampu berpikir seperti tikus, monyet, dan kelelawar.

Noah Giansiracusa dalam artikelnya The Real Threat From A.I. Isn’t Superintelligence. It’s Gullibility mengatakan bahwa kita itu delusional mengenai AI yang dapat memusnahkan manusia. Seperti misalnya ketika Google mengklaim bahwa AI yang dikeluarkan oleh perusahaan mereka merupakan AI yang berkesadaran dan memberikan kesan jika di masa depan bentuk dari makhluk yang berkesadaran itu seperti chatbot AI-nya Google.

Padahal menurut Giansiracus itu semua hanyalah ilusi dan cara kerja AI tidak lebih seperti kalkulator yang telah dilatih mengikuti pola-pola tertentu untuk menjawab suatu pertanyaan kita tentang "Kenapa upah minimum tiap daerah berbeda-beda", "apa betul Gubernur Yogyakarta sekaligus seorang Raja", AI akan memberikan jawabannya berdasarkan data yang diinput sebelumnya.

Lebih jauh lagi kita pasti familiar ketika melakukan pencarian tentang produk fashion, makanan atau apa pun. Lalu mulai mengikuti beberapa akun sosial media brand fashion atau makanan, setelah beberapa menit tampilan beranda dari sosial media kita akan menampilkan salah satu atau beberapa produk terkait informasi dari brand fashion maupun makanan. 

Dari sini mungkin kita akan berbicara "wah gila sih ini handphone bisa ngebaca apa yang gw mau."

Hal di atas bukan berarti Google, Instagram dan TikTok dapat membaca pikiran kita, melainkan data kita dari mulai pencarian, mengikuti siapa, menyukai postingan apa, dan kemudian algoritma tersebut akan memprediksi konten sejenis yang mungkin saja kita sukai. Dengan demikian bisa dilihat jika sistem AI yang digunakan oleh Facebook, Instagram, TikTok itu tidak dapat memahami informasi mana yang benar apalagi ia dapat memanipulasi manusia.

Karena apa yang kita anggap sebagai "AI lebih tau diri kita daripada diri kita sendiri" itu tidak lebih merupakan serangkaian kerja yang melibatkan matematika, coding komputer, dan triliunan parameter, dan ilusi komunikasi. Sehingga seringkali inilah yang menipu kita bahwa AI begitu cerdas dan beranggapan suatu saat ia akan menipu manusia, memanipulasi suara pemilu, dan menghajar manusia hanya melalui layar sosial media.

Padahal kenyataannya AI tidak akan melukai pendemo, menyudutkan minoritas, dan menipu rakyatnya. Karena ia hanyalah alat yang segala datanya diinput oleh manusia. Jika manusia yang membuat sistem AI adalah seseorang yang rasis, misalnya, data yang di-input juga akan merefleksikan rasisme. Ia akan selalu berbalik menerangkan siapa penciptanya.