Jam menunjukkan waktu 11.15. Matahari hampir di atas ubun-ubun, tapi sengatannya tak membakar kulit berkat pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suara serangga dan hewan lainnya saling bersahut-sahutan. Namun suara mereka hampir kalah dengan suara gergaji mesin yang jauh lebih nyaring. 300 meter dari posisi saya berdiri, ada jembatan kayu panjang yang disambungkan oleh 2 pohon Ulin besar. Saking besarnya, diameternya hampir melebihi pelukan tangan laki-laki dewasa.
Memori tersebut sudah berusia 15 tahun, tapi masih terasa segar di kepala. Nama tempat itu adalah Hutan Lindung Sei Wain, 20 kilometer dari pusat kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Hutan ini tak hanya menjadi atraksi turis, tapi juga sebagai tempat konservasi orang utan dan beruang madu. Hutan ini juga menampung macan dahan dan bekantan, dua hewan langka endemik Kalimantan.
Siapa yang menyangka kalau 12 tahun kemudian, hutan lindung ini hanya berjarak 1,5-2 jam naik mobil dari dua titik nol IKN?
Setumpuk Masalah di Tengah Mimpi yang Terlalu Tinggi
Per 2019, Presiden Joko Widodo menyatakan keinginannya untuk memindah ibukota ke Kalimantan, mewujudkan impian Sukarno dulu. Untuk itu, dibuatlah konsep IKN sebagai kota pintar, kota hutan, dan kota spons. Dalam imajinasi pemerintah, kota ini memiliki akses mobilitas dan tata ruang yang baik sehingga semua kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi hanya dengan jalan kaki 10 menit. Pertumbuhan ekonominya tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan, sejalan dengan konsep kota hutan yang diusung Bappenas. Sementara sumber air IKN didapatkan dari cadangan air yang didapatkan lewat pembangunan danau dan penampungan air berbasis daur ulang dan sirkuler.
IKN terlihat seperti ibukota impian. Ia terasa sebagai penebusan dosa pemerintah terhadap kekacauan yang ada di Jakarta. Kemana-mana jauh di Jakarta? Di IKN semuanya dekat. Jakarta kekurangan transportasi publik dan penuh dengan polusi? Di IKN 80% transportasi yang ada adalah transportasi publik dan kendaraan di sana wajib menggunakan energi non-fosil. Air di Jakarta kualitasnya buruk? IKN punya kualitas air bersih berkat teknologi terbaru. Jakarta panas karena area hijaunya ‘ditanami’ oleh gedung? Tenang, 80% daerah IKN ditetapkan sebagai area hutan.
Namun janji-janji manis ini segera dibantah oleh pengamat lingkungan, budaya, dan politik. Dari aspek geologis, IKN berdiri di atas dua lempengan aktif yang bisa menyebabkan gempa. Dari segi lingkungan, JATAM menemukan 149 lubang tambang batubara yang meningkatkan risiko kekeringan. WALHI mengatakan pembangunan IKN merupakan bencana ekologis yang besar, mengingat Kalimantan Timur merupakan salah satu hutan tropis tertua dunia. Tidak hanya itu, hutan ini juga merupakan rumah bagi satwa-satwa endemik yang semakin langka. Pembangunan IKN, menurut WALHI, hanya akan semakin mempercepat kepunahan mereka.
Itu baru dari segi politik dan ekologis. Bagaimana dengan aspek lainnya?
Dilihat sekilas, pembangunan IKN terlihat menguntungkan. Proyek ini akan membawa pekerja dan dana segar ke daerah itu. Namun beberapa ahli pesimis momentum pembangunan IKN akan bertahan lama—ada yang memprediksikan momentum itu hanya bertahan selama 2-3 tahun. Ini tak mengherankan mengingat infrastruktur dasar Kalimantan Timur seperti jalan masih jauh dari memadai.
Isu lainnya adalah kedatangan pekerja dari luar yang dikhawatirkan akan meningkatkan ketegangan dan memicu konflik di kalangan penduduk asli. Pemerintah berdalih lewat press release di tahun 2021 yang meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah sudah berkonsultasi dengan perwakilan masyarakat Dayak. Lebih lanjut, pemerintah akan terus melibatkan partisipasi dan aspirasi dari masyarakat adat, serta melindungi hak hidup mereka di IKN.
Namun hal ini dipatahkan di tahun 2022, beberapa hari setelah Jokowi meresmikan IKN. Pemberitaan BBC Indonesia membeberkanbahwa yang dimaksud “perwakilan masyarakat adat” yang diundang untuk berpartisipasi dalam pembangunan IKN adalah “1-2 orang komunitas” saja. Jelas tak akan bisa merepresentasikan 21 komunitas masyarakat adat yang terdampak IKN. Isu ini yang membuat warga lokal khawatir akan semakin terusir dari tanah mereka sendiri setelah IKN resmi berjalan.
Berbagai polemik yang ditimbulkan dari wacana IKN sebetulnya tak jauh dari penyalahgunaan hutan. Masyarakat adat yang lebih dulu bermukim di situ hidup berdampingan dengan alam. Semuanya berubah kala industri ekstraktif mulai membabat hutan dan mengebor tanahnya demi batubara, minyak bumi, dan lain-lain. Mereka kesulitan mencari penghidupan dari hutan, sehingga banyak yang berakhir menjadi pekerja kasar di tambang.
Masalahnya tak hanya berhenti di situ. Tambang-tambang ini meninggalkan ribuan lubang yang jaraknya hanya sejengkal dari pemukiman warga. Pemerintah melihat lubang-lubang ini sebagai tempat potensial untuk embung air dan atraksi turis. Tapi hal tersebut tidak akan menghapus fakta bahwa lubang-lubang tersebut memakan korban, mayoritasnya adalah anak-anak.
Pemerintah sadar akan kerusakan alam yang sudah dialami oleh hutan Kalimantan selama beberapa dekade terakhir. Pemindahan ibukota ke daerah itu tentunya akan menambah kerusakan, tapi pemerintah merasa kebutuhan tersebut harus segera dilaksanakan. Akhirnya dicarilah jalan tengah, yaitu dengan membuat hutan kota. Nantinya kota IKN dipadatkan dalam satu area terbatas dan sisanya menjadi hutan yang sebagiannya bisa digarap oleh masyarakat adat. Usaha ini didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang melakukan proses rehabilitasi hutan dan lahan. Pemerintah juga gencar menyatakan IKN tak akan berakhir menjadi Jakarta 2.0 dengan pembangunan yang terus melebar dan sembarangan.
Tapi solusi ini dirasa jauh dari kata cukup. Masyarakat adat sudah terlanjur merasa ruang hidup mereka semakin terhimpit dan hak mereka terus dilanggar. Janji manis pemerintah soal hutan yang bisa mereka garap terasa kosong, mengingat hak tersebut terus dilangkahi oleh tambang. Tidak ada jaminan tanah, hutan, dan hak mereka tidak terusik oleh pembangunan ini. Apalagi nanti mereka juga harus bersaing dengan 1,2 juta penduduk baru di tahun 2029.
Pikiran saya kembali ke Sei Wain. Dibawah terik matahari Balikpapan, tour guide yang menemani perjalanan kami sekeluarga menjelaskan sejarah hutan lindung sambil sesekali menunjuk usia dan tinggi pohon-pohon Gaharu dan Ulin. Suara gergaji masih terdengar dari kejauhan. Saya menanyakan dari mana suara gergaji mesin itu berasal. Ia terdiam sebentar, lalu melanjutkan penjelasan soal pohon-pohon yang ada di situ.
Akankah nasib hutan IKN seperti itu?