AKHIRNYA! Kamu Punya Artikel yang Bisa Kamu Bagi ke Orang yang Tanya, “Suka Baca Yuval Noah Harari Juga?”

AKHIRNYA! Kamu Punya Artikel yang Bisa Kamu Bagi ke Orang yang Tanya, “Suka Baca Yuval Noah Harari Juga?”

Mari kita ngomongin Harari dan klaim sotoynya tentang apa saja.

“Setiap hari jutaan orang memutuskan untuk menyerahkan kepada telepon pintar kendali atas kehidupan mereka atau mencoba antidepresan baru dan lebih efektif… sampai mereka tidak lagi menjadi manusia.”

-Harari dalam Homo Deus

Dalam tulisannya yang dimuat di The New York Times, Yuval Noah Harari bersama Tristan Harris dan Aza Raskin memulai paragraf pertama dengan mengajak pembaca untuk membayangkan situasi imajiner di mana seorang engineer yang terlibat dalam pembuatan pesawat memberi tahu Anda bahwa ada kemungkinan 10% pesawat tersebut akan hancur dan membunuh Anda serta penumpang lainnya. Apakah Anda masih akan melanjutkan penerbangan?

Pertanyaan Harari tersebut seolah-olah menimbulkan ketakutan pada para penumpang, atau kita secara umum, tentang bahaya yang belum tentu terlihat—tentu saja! Karena bahaya itu hanya asumsi dalam pikiran penulisnya sendiri. Namun sebenarnya, maksud dari pertanyaan yang menakuti tersebut masih berkaitan dengan teknologi yang saat ini sedang ramai diperbincangkan, yaitu Artificial Intelligence (AI). Pada tahun 2020, lebih dari 700 akademisi dan peneliti di balik perusahaan AI ditanyai tentang masa depan dan risiko AI. Hampir separuh dari mereka mengatakan bahwa kemungkinan 10% atau lebih besar manusia akan punah karena sistem AI di masa depan. Di antara peneliti dan akademisi itu ada Elon Musk juga.

Dalam tulisannya, Harari menggunakan perumpamaan "Pil Biru atau Pil Merah" untuk menggambarkan bahwa manusia hanya memiliki dua pilihan, namun sayangnya Pil Biru sudah habis. Lewat perumpamaan ini, Harari ingin menyampaikan bahwa saat ini perusahaan teknologi dalam mengembangkan large language models memiliki risiko yang dapat membahayakan umat manusia, mirip dengan cerita para penumpang yang akan naik pesawat. Bayangan tentang potensi bahaya AI telah menghantui manusia sejak pertengahan abad ke-20, meskipun Harari juga mengakui bahwa kekhawatiran terhadap kemusnahan manusia oleh AI di masa depan masih ada, namun proyek tersebut diperkirakan akan memerlukan waktu yang sangat lama.

Ketika sistem aplikasi ChatGPT 4 mengalami upgrade, Harari merasa bahwa kemampuan AI ini sulit diikuti oleh perkembangan manusia. Menurutnya, ChatGPT 4 mampu memanipulasi bahasa, menciptakan kata, suara, dan citra dengan sangat lihai. Implikasinya adalah suatu saat AI dapat menguasai bahasa, memiliki pemahaman untuk melakukan hack, dan memanipulasi struktur sistem peradaban manusia.

Dalam pandangannya yang suram, akan menjadi sia-sia bagi manusia untuk hidup di bawah bayangan AI yang mampu mengeksploitasi segala kelemahan, bias, dan ketagihan yang ada dalam pikiran manusia, namun tetap memiliki hubungan yang tampaknya harmonis dengan manusia. Dalam visi masa depan yang dystopia ini, Harari teguh dalam pendiriannya bahwa sejarah ribuan tahun manusia dapat digantikan dan dilupakan dengan cepat oleh kemajuan dan kecerdasan AI.

Lalu, apa yang ditawarkan oleh Harari sebagai "obat" untuk krisis yang mungkin dihadapi manusia di masa depan? Selain mengakui bahwa AI dapat memberikan manfaat bagi manusia, terutama dalam hal bisnis—di mana AI dikatakan dapat menghasilkan keuntungan, kekuatan, dan bahkan menghancurkan dasar masyarakat, Harari berpendapat bahwa manusia harus mengambil tindakan sebelum terlambat.

Namun, apakah tindakannya dan siapakah yang menurut Harari dapat menjadi penyelamat dari perkembangan AI yang tidak terkendali? Jawabannya adalah para tech bros di Silicon Valley. Harari merujuk ‘mereka yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pengembangan AI secara publik’.

Dari petisi untuk menunda pengembangan AI kita dapat melihat bagaimana argumen Harari tidak berdasar. Kekhawatirannya jika AI dapat terus berkembang secara publik dengan demikian Silicon Valley, yang dianggap sebagai tonggak kemajuan teknologi, akan mulai tersaingi. Bukan hanya Harari, salah satu yang menyetujui untuk menunda pengembangan AI adalah Henry Shevlin yang merupakan bagian dari Future of Intelligence, Cambrige University. Henry mengungkapkan alasannya menandatangi surat tersebut dengan berkata bahwa kita sedang bermain api. Menurutnya, AI akan mencapai kecerdasan super pada 2050.

Untuk memeriksa klaim super heboh itu, mari kita lihat bantahan dari Noah Giansiracusa, Profesor Matematika dari Universitas Benthley, terkait klaim Harari yang ada di artikel dengan judul You Can Have the Blue Pill or the Red Pill, and We’re Out of Blue Pills. Giansiracus membantah perbandingan antara keamanan penerbangan dengan kiamat yang disebabkan oleh AI.

Pertama, keamanan penerbangan selalu didesain berdasarkan pada prinsip fisika dan mekanika yang telah diperhitungkan secara ilmiah berdasarkan data yang valid. Namun, konsep "kiamat AI" yang diusulkan oleh sekelompok orang, meskipun mereka adalah pakar AI, sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Argumen ini dapat dipengaruhi oleh bias, seperti keuntungan bagi kelompok tertentu yang diizinkan untuk memanfaatkan dan mengembangkan AI.

Kedua, saat Harari dan "para pakar AI" mengemukakan kemungkinan X atau Y terjadi, sebenarnya mereka mencoba membuat kita manusia mempercayai klaim mereka bahwa hanya mereka yang bisa menyelamatkan umat manusia. Namun, pendekatan ini tidak dapat dianggap sebagai ilmiah atau berdasar pada metode saintifik. Klaim semacam itu lebih bersifat persuasif dan tidak memiliki dasar dalam penelitian atau ilmu pengetahuan yang objektif.

Ketiga, terkait apakah AI akan menguasai bahasa, menurutnya GPT4 mungkin bisa berbicara lancar, jadi mungkin telah menguasai bahasa dalam arti itu. Tapi, untuk memanipulasi kita, ia perlu mengukur dampak kata-katanya kepada kita, yang mana hal itu tidak mungkin. Donald Trump bisa melihat apa dampak kata-katanya terhadap para pendukungnya, serta tindakan apa yang mereka lakukan karena pidatonya. Sementara chatbots seperti GPT4 tidak berada dalam posisi seperti itu. Mereka memang menghasilkan teks, dan mereka mungkin secara tidak sengaja memanipulasi manusia. Tetapi, menguasai kelancaran berbahasa tidak sama dengan menguasai kekuatan manipulasi dari bahasa.
Dengan kata lain, kekhawatiran Harari dan yang menyetujui narasi di tulisannya tidak didasarkan pada fakta, selain dari anggapan bahwa kemampuan AI akan terus berkembang daripada stagnan. Apakah mungkin karena keuntungannya akan berkurang dan riset pengembangan teknologi bisa dilakukan oleh pihak di luar Silicon Valley? Hanya Harari dan semestanya yang tahu.

Sementara itu Amba Kak, executive director dari AI Now Institute, dalam wawancara dengan Annie Lowrey mengatakan bahwa petisi publik yang juga berisi Elon Musk beserta para petinggi teknologi dengan sederet pertanyaan menakut-nakuti seperti: “Perlukah kita mengembangkan pikiran non-human yang bisa saja nanti melampaui, mengalahkan, dan menggantikan manusia?; Maukah kita kehilangan kendali atas peradaban kita sendiri?”

Kak mengatakan yang seperti itu tidak perlu terlalu dipikirkan. Masalah utama dari AI saat ini bukanlah narasi yang menakut-nakuti orang. Sebaliknya, perhatian kita seharusnya lebih fokus pada bagaimana AI digunakan sebagai alat permainan bisnis, disalahgunakan, dan bahkan lebih serius lagi, ketidakakuratan AI yang dapat menyebabkan penyebaran informasi yang salah.

Daripada terlalu khawatir dengan ketakutan di atas, Kak justru ingin menggali lebih dalam mengenai hubungan antara OpenAI dan Microsoft: Apa transaksi yang telah terjadi antara kedua perusahaan ini, siapa yang membeli sistem ini, dan siapa yang menggunakannya? Mengapa perusahaan-perusahaan ini begitu yakin seolah-olah telah mengatasi risiko yang mungkin muncul dengan pernyataan komersial mereka? Dan apakah OpenAI mengikuti aturan hukum yang berlaku dalam pengembangan teknologinya?

Pertanyaan yang menarik perhatian Kak itu didasarkan pada ramainya pembicaraan tentang Sam Altman dengan OpenAI, serta dukungan dari perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft, Google, dan perusahaan teknologi lainnya. Menurut Kak, perusahaan-perusahaan ini secara agresif memperluas pasar dan berusaha mengontrol infrastruktur keseluruhan sistem yang akan bergantung pada mereka. Pandangan ini juga diperkuat oleh pendapat Lowrey bahwa banyak perusahaan akan menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan keuntungan, termasuk dalam penjualan mobil.

Lebih lanjut, Kak mengatakan bahwa jika seluruh sistem AI bergantung pada perusahaan-perusahaan seperti OpenAI, Microsoft, dan Google, mereka akan memperoleh keuntungan yang besar dan diperlukan regulasi yang sesungguhnya, bukan petisi untuk memperlambat perkembangan AI. Kak memperkirakan bahwa jika teknologi kita bergantung pada raksasa Silicon Valley, maka akan timbul misinformasi, penipuan, ujaran kebencian, dan kerentanan terhadap serangan siber. Jika kita setuju untuk memperlambat penelitian AI sekarang karena khawatir akan bahayanya, maka dalam 20 tahun ke depan, kita akan terbangun di pagi hari sebagai target iklan dan seluruh infrastruktur teknologi akan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang mengklaim tidak melakukan hal-hal jahat, karena mereka menolak regulasi yang sebenarnya.

Bagaimana Yuval Noah Harari Menjadi Idola Anda

Yuval Noah Harari hanya butuh waktu kurang dari satu dekade untuk menjadi sangat terkenal dan seolah menjadi nabi baru abad ke-21. Buku Sapiens: A Brief History of Humankind melontarkan namanya dari profesor junior menjadi orang terpercaya Silicon Valley, dan Hollywood.

Sekadar informasi, hingga 2011 versi terjemahan bahasa Inggris Sapiens belum tersedia di Inggris, dan pada 2014 sempat ditarik dari peredaran penerbit di Amerika Serikat. Alasannya, kata Claire Wachtel, "Tidak ada yang pernah dengar nama Yuval Noah Harari sebelumnya." 

Lalu 2015, Mark Zuckerberg menaruh Harari di ketapel dan menjepret orang-orang di sekitarnya. Ia merekomendasikan Sapiens sebagai buku yang wajib dibaca oleh kelompok baca bukunya. Tak lama, Bill Gates dan Barack Obama ikut meng-endorse buku itu. Mark Zuckerberg, Bill Gates dan Barack Obama. Tiga nama yang kamu butuhkan untuk mengubah buku menjadi kacang goreng.

Pak Yuval sangat tenar dan, seperti Marvel, ia semacam membuat jagatnya sendiri di trilogi yang ia terbitkan. Saya senang menyebutnya Harariverse. Melalui trilogi itu, Harari tak jarang memberikan ceramah-ceramah seperti di World Economic Forum, TED dan TimesTalks untuk menyebarluaskan Harariverse.

Laura Miller memperkirakan awal hubungan mesra Yuval Noah Harari dan Silicon Valley bermula ketika ia memberi ceramah berjudul Techno-Religions and Silicon Prophets, pada 2015.  Di dalam ceramah itu, Harari memperkirakan masa depan yang diisi oleh sexless cyborgs yang tingkat kefokusan dan kemampuan mengingatnya ribuan kali lebih hebat daripada manusia, serta dapat menebak apa yang dimau oleh pasar nantinya. Hingga saat ini Harariverse itu langgeng dan terus diperbincangkan, dan di Indonesia sendiri telah terbit Sapiens edisi ilustrasi.

Harariverse: Dunia Dalam Agenda Harari dan Tech Bros

Harariverse yang saya sematkan itu sesungguhnya semestanya Harari. Semesta yang merentang dari sejarah masa lalu hingga "ramalan" tentang kemajuan teknologi dan masa depan. Ia seperti ramalan kuno yang digunakan menakut-nakuti orang, seperti dongeng menyeramkan untuk anak-anak agar anak-anak menjadi lebih patuh.

Apa yang ditawarkan oleh Harari dalam semestanya itu adalah pertautan antara mimpi dan ketakutan manusia abad ke-21. Ide-ide yang ada di dalam trilogi bukunya pun bukanlah ide baru, misalnya ketika ia mengatakan bahwa ‘fiksi yang menyatukan manusia’ dapat kita temukan dalam pemikiran sosiolog Edward O. Wilson yang menyebutkan agama sebagai fiksi yang dapat memberi keuntungan untuk menyatukan banyak orang.

Selain ide yang tak baru, tendensi dan bias Harari dalam melihat sejarah juga dapat dilihat dari pandangannya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan modern tidak akan terjadi tanpa peran kerajaan dan kekayaan Eropa. Pemikiran ini secara tidak langsung menegaskan bahwa penelitian ilmiah harus bersekutu dengan agama atau ideologi, karena tidak ada yang disebut ‘sains murni’.

Ia secara terang-terangan menyatakan dalam salah satu wawancara dengan Google bahwa tugasnya sebagai sejarawan hanya untuk mendeskripsikan realitas, bukan untuk menilainya. Namun, anggapan ini keliru dan banyak sejarawan mungkin tidak setuju dengan pandangannya. Sebagai pembaca, kita mungkin menyadari bahwa dalam pandangan Harari, terdapat penilaian dan posisi politik yang sejalan dengan pandangan Silicon Valley, seperti ketika ia memuji pencapaian kapitalisme dan bahkan imperialisme. 

Apa yang dilakukan oleh Harari bisa dibilang adalah sebentuk disrupsi atas sejarah, karena ia tidak melakukan penelitian asli, alih-alih hanya mengemas dan menyederhanakan serta menambahkan interpretasi dan prediksinya atas suatu sejarah ke dalam karya Sapiens dan dua buku lainnya. Harari menggunakan retorika yang mengkilap dan tajam, cara bertutur yang asyik. Dunia terpesona oleh pemikiran Harari yang terlihat mengesankan dan futuristik. Namun, mereka mungkin tidak menyadari bahwa di balik kilauan itu, terdapat penilaian dan pandangan politik yang dapat mempengaruhi pandangan mereka tentang realitas sejarah dan sosial yang sesungguhnya terjadi. Tampaknya ini yang memberikan kenikmatan bagi pembaca karya-karya Harari: ia dianggap sebagai rangkuman dari banyaknya informasi sejarah ke dalam satu buku dengan bahasa yang ringan. Semacam RPUL yang ditulis dengan cara yang asyik.

Dari sini barangkali mengapa guyonan, “Suka baca Yuval Noah Harari juga?” bisa muncul. Kalimat yang digunakan untuk menggoda laki-laki yang berusaha menggaet perhatian orang yang ia suka dengan buku-buku Harari ini mengindikasikan bahwa dengan membaca Harariverse kamu sudah flexing dua kali kepada crush kamu: kamu adalah pembaca yang tekun dan kamu bisa menceritakan ulang seluruh sejarah umat manusia.

Dalam tulisannya untuk The New Yorker, Ian Parker menulis bahwa Harari adalah sejarawan "untuk semua orang" karena kemampuannya dalam bercerita dan meramalkan masa depan. Parker menekankan pernyataan Harari sendiri: "Mereka yang mengendalikan data akan mengendalikan abad ke-21". Harari juga telah beberapa kali menyatakan bahwa Homo sapiens, atau manusia, akan digantikan oleh entitas baru di era teknologi canggih. Sebagai contoh, dalam percakapannya dengan Rivlin, Harari mengatakan bahwa "Dalam 200 tahun ke depan, saya dapat meyakinkan anda bahwa tidak akan ada lagi orang Israel secara spesifik, atau Homo sapiens atau manusia secara umum - karena akan ada entitas baru yang menggantikan mereka.”

Ayn Rand + Harari: Ideologi Silicon Valley 

Harari tak hanya seorang pencerita yang lihai, tetapi juga menawarkan ‘jawaban’—sesuatu yang amat disukai semua orang!—atas ketidakpastian masa depan yang sebenarnya dia ciptakan bagi para pembacanya, bahwa hanya dengan bantuan intelektual dan elit Silicon Valley umat manusia bisa terhindar dari malapetaka, dan kondisi super depresif seperti dalam film-film distopia bisa dihindari.

Kedekatan Harari dengan elit Silicon Valley tidak lagi menjadi rahasia umum. Sebagaimana telah saya sajikan sebelumnya tentang bagaimana hubungan Harari dengan Mark Zuckeberg dan bagaimana tulisan-tulisannya lebih berfokus pada memprediksi masa depan yang jauh daripada mengkritisi kebijakan privasi dan algoritma di platform seperti Facebook, Google, dan Twitter.

Dalam salah satu ceramahnya untuk Google dan Instagram yang dihadiri oleh Jack Dorsey dan Chris Cox, Harari secara terang mengakui bahwa dia berusaha untuk tidak menjadi ancaman bagi para pengusaha di bidang teknologi atau tech bros, karena dia menganggap apa yang telah mereka capai sangatlah berharga bagi kepentingan umat. Atas pertimbangan ini, ia lebih memilih untuk bekerja sama daripada bersikap bermusuhan terhadap mereka.

Jika kita mengamati tulisan Harari, kita dapat melihat betapa kuatnya keterkaitan Harari dengan tema distopia dalam melihat perkembangan teknologi. Salah satu tema utamanya adalah bagaimana manusia nantinya akan kehilangan otonomi pikiran terhadap kecerdasan buatan (AI)—menurut Harari, hanya mereka yang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang AI yang akan bisa melakukan perlawanan kecil di masa depan. Harari benar-benar membayangkan masa depan sesuai dengan apa yang dia takuti, seperti dalam penelitian terbarunya yang mengatakan bahwa sangat mungkin untuk mengetahui tekanan darah seseorang hanya melalui proses video wajah. Ini sangatlah kocak.

Coba bayangkan jika di masa depan, saat Jokowi v.05 memberikan pidato di depan warga tiba-tiba segerombol polisi menyergap kamu. Pak Jokowi v.05 kaget, berhenti pidato dan bertanya ada apa kok mendadak begitu wong saya lagi bicara.

Polisi: “Berdasarkan analisis ekspresi wajah yang menunjukkan peningkatan tekanan darah, orang ini bisa jadi berencana menimpuk Pak Presiden dengan sepatu. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, silakan lanjutkan pidato, Pak Jo."

Tentu ini skenario yang mungkin terjadi jika manusia memang benar-benar makhluk bodoh, lemah, pemalas dan tidak mau mengkritisi perkembangan teknologi sama sekali. Namun, kita tahu mekanisme kritik akan selalu ada dan teknologi AI yang segitu canggihnya tentu memerlukan pengaturan etis yang tepat untuk menghindari kesalahpahaman dan penggunaan yang salah. Tentu di dunia ini, sesuram apapun, akan selalu ada orang yang memikirkan implikasi sosial, politik, dan etis yang mungkin terjadi akibat perkembangan AI.

Harari berpendapat bahwa saat ini kita memerlukan "mitos baru" sebagai pegangan. Menurutnya, kita hidup dalam zaman yang tidak kita ketahui selain fakta bahwa nilai-nilai kebenaran tradisional telah hilang dan tidak lagi relevan. Pernyataan ini mencerminkan pandangannya bahwa kita berada di era baru yang terkait dengan peran Silicon Valley dan pengusaha teknologi sebagai penentu nilai-nilai tentang apa yang baik dan buruk, benar dan salah, serta siapa pendukung atau penentang Silicon Valley dalam masyarakat global.

Sementara itu Shawn Vandor dalam artikel yang berjudul A Fatal Inconsistency in the Work of Yuval Noah Harari, mengatakan apabila kita setuju untuk mempercayai pernyataan yang dilontarkan oleh Harari—bahwa kita sekarang hidup di zaman baru yang sebelumnya tak pernah ada—berarti juga menerima begitu saja apa-apa yang diidealkan oleh Silicon Valley dan Harari terkait masa depan manusia, bahaya dan kemungkinan apa saja ketika kita berbicara tentang teknologi dan biotechnology beserta anggapan bahwa akan ada suatu masa ketika teknologi dapat berpikir. 

Padahal anggapan ini keliru, dan sepertinya Harari menyadari kekeliruan itu, tapi apa boleh buat dukungan tech bros adalah yang utama. Teknologi AI hanya sebatas menjalankan pola yang di-input ke dalam sistemnya [MASUKIN LINK TULISAN PAM TENTANG AI SEBELUMNYA], bukan berarti ia memahami sebagaimana manusia memahami dengan kompleksitas pengalaman subjektifnya. Selain itu, menurut Vandor, manusia hari ini sebenarnya tidak berbeda jauh-jauh amat dengan manusia di masa lalu, dalam artian kita masih memegang teguh nilai-nilai tradisional yang relevan dan bermakna untuk keberlanjutan hidup manusia. Dengan demikian, sangatlah salah ketika Harari mengatakan bahwa kita saat ini hidup tanpa adanya pijakan sehingga memerlukan suatu pijakan baru untuk keseharian manusia. Para tech bros kelihatannya tidak tertarik dengan nilai-nilai kemanusian secara keseluruhan, mungkin dunia baginya hanya seluas Amerika Serikat. 

Kita tahu bahwa Silicon Valley memiliki core value yang ajeg: kecepatan, disrupsi, inovasi, dan profit. Jika, Silicon Valley harus memperlambat, bahkan berhenti barang sebentar saja, untuk merefleksikan sejarah, filsafat dan teologi tentu itu akan menghambat kemajuan dan tidak ada faedah-(baca: profit)nya.

Core value alias nilai-nilai itu tentu tak lahir dari dalam tabung gas melon 3 kilogram. Saya percaya, sefuturistik-futuristiknya orang-orang di Silicon Valley mereka tetap belum bisa berbicara dengan gas minyak cair. Lantas, dari mana ‘ideologi’ ini berasal?

Para tech bros Silicon Valley terinspirasi oleh ideologi libertarian radikal Ayn Rand, yang terkenal sebagai penulis terlaris melalui karyanya Atlas Shrugged dan The Fountainhead. Ide-ide dalam buku-buku tersebut menjadi pijakan bagi kapitalis Amerika dan juga mempengaruhi pemimpin konservatif seperti Ronald Reagan, Alan Greenspan, dan Donald Trump. Para tech bros di Silicon Valley khususnya mengadopsi gagasan Ayn Rand bahwa kebahagiaan tertinggi diperoleh dengan mengejar keuntungan yang lebih besar.

Ayn Rand menganggap regulasi bisnis sebagai bentuk "penjarahan" dan mengidealkan individu kreatif dan pintar yang tidak terpengaruh oleh orang lain, dan mampu mencapai kekuasaan dan kekayaan berdasarkan dorongan internal dan kecerdasan pribadinya. Menurut Jonathan Freedland, Rand mempromosikan individualisme sebagai nilai moral yang tinggi, sementara mengkritik altruisme. Dengan demikian, individualisme versi Rand dianggap sebagai jaminan moral dan justifikasi atas keserakahan dan menolak campur tangan regulasi pemerintah.

Hal ini juga yang tampak dalam gagasan Silicon Valley, yakni versi ubermensch Nietzsche sebagai wujud entrepreneur ideal yang siap meninggalkan nilai-nilai tradisional dan memulai sesuatu yang baru dengan cara melepaskan diri dari batasan otoritas institusional dan komunitasnya. Contohnya adalah perusahaan Uber, yang dianggap sebagai pahlawan yang siap menguasai dunia. Namun, kesalahan dalam mengadopsi pemikiran Rand adalah mengubah kapitalisme menjadi scam capitalism, di mana pemberi pinjaman memperdaya peminjam melalui suku bunga rendah yang kemudian dinaikkan. Lebih lanjut, bentuk dari scam capitalism ini akan berkembang menjadi surveillance capitalism, sebuah sistem yang dipelopori oleh Google, diikuti oleh Facebook dan Instagram, yang melibatkan pengawasan, pengumpulan, analisis, dan penjualan data berdasarkan perilaku seperti likes, clicks, searches, views, dan purchases. 

Cara kerja ini pada mulanya gratis, sebagai gantinya, perusahaan di atas akan mengumpulkan data pribadi secara keseluruhan dalam berbagai bentuk turunan dari informasi personal. Data ini nantinya akan dijual ke pembeli yang berani menawar harga tinggi. Data ini diperjualbelikan tanpa sepengetahuan kita. Bahkan menurut The Pew Research Center melaporkan setidaknya 75% pengguna Facebook tidak paham kenapa perusahaan seperti Facebook harus mengumpulkan data “seperti apa yang mereka minati” atau “haluan politiknya seperti apa”, dan nantinya data ini untuk membantu para advertiser menjadikan tiap pengguna Facebook sebagai target calon customer. Dengan kata lain, bermula dari gagasan Ayn Rand yang kemudian diadopsi oleh Silicon Valley dan kini membentuk scam capitalism merupakan hasilnya, termasuk soal menawarkan mata uang baru dalam bentuk digital, crypto yang independen dari uang kartal.

Bukanlah hal aneh bagi tech bros Silicon Valley untuk menjadikan gagasan “filosofis” libertarian a la Ayn Rand atau “sejarawan” a la Yuval Noah Harari untuk menjadi pegangan hidup, mengampanyekan nilai-nilai start up, dan memberi kita buaian ramalan masa depan umat manusia dengan kemajuan teknologi. Bagaimana pun, kita masih hidup di zaman di mana orang begitu terpesona dengan Ramalan Jayabaya!