Akhirnya Saya Ngerti Apa yang fourtwnty Bicarakan
Seseorang mengenakan baju badut berwarna merah, bermata dan bertelinga biru, berdiri di depan apotek, dekat gerobak sampah depan tiang listrik, di bawah lampu merah. Ia menghampiri para pengamen dan turut serta bergoyang. Setelah itu, ia berjalan menyusuri malam.
Langkahnya gontai menuju ruang gelap. Ia bersembunyi di dalam bus tua yang sudah reot. Mungkin ia melepas lelah setelah seharian berkeliling, atau mungkin ia sekadar menjauh dari sorot lampu kota yang membuatnya tak nyaman.
Musik lalu mengalun. Ketukan drum dan bunyi gitar lantas mengiringi kesedihan si badut yang bersandar di dinding bus. Lagu berlanjut. Verse 1 berkumandang.
Aku berada
Tak pada tempatnya
Tak di habitatnya
Di balik cahaya
Berpesta pora
Ku pura-pura (bahagia)
Si badut perlahan berdiri, menari dan melebarkan tangan. Pre chorus lanjut mengalun.
Mengapa sudut gelap
Terang bagiku
Yang indah jadi debu
Si badut kemudian membuka topeng dan terlihat wajah Ari Lesmana (vokalis fourtwnty). Adegan buka topeng ini terlihat dramatis. Ari Lesmana terlihat tengah menangis dan meringis kesakitan. Ia menjatuhkan topengnya ke lantai. Adegan berlanjut menampilkan Ari dengan banyak ekspresi: marah, kesal, sakit, dendam dan pura-pura tersenyum bercampur jadi satu. Di ujung video, Ari melemparkan kostum badutnya ke api unggun.
Catatan di atas merupakan adegan dari video musik Larasuka–sebuah lagu yang ditulis Ari Lesmana. Sedangkan aransemen dikerjakan oleh Ari dan Nuwi (gitar) dan juga Andi Armand sebagai produser. Sedangkan video musik digarap oleh Cerahati.
Video musik ini begitu menggugah. Menurut saya, Edy Khemod sebagai sutradara cermat dan mampu menuangkan makna lagu melalui visual yang menggugah jiwa para penontonnya.
Sepanjang menonton video musik Larasuka, saya terkenang film Robin Williams: Come Inside My Mind, sebuah film dokumenter Amerika Serikat tahun 2018 yang menampilkan kehidupan dan karier komedian Robin Williams. Dalam film yang disutradarai oleh Marina Zenovich, penonton disuguhkan sisi lain Robin Williams. Di dunia hiburan, ia dipuja lantaran akting dan perawakannya yang lucu. Robin punya banyak energi untuk membuat orang tertawa.
Tapi saat di rumah siapa yang menyangka ia mengalami kesepian dan merasakan lelah yang amat sangat. Ia, yang rela menghabiskan separuh hidupnya demi menghibur orang ternyata sosok yang rapuh.
Betapa mengerikannya hidup seseorang yang hidupnya penuh dengan tawa tapi saat sendiri ia malah menangis? Tapi itulah takdir seorang Robin Williams. Ia rela menjadi badut. Ia harus terlihat lucu di hadapan para penonton atau penggemarnya.
Dunia psikologi menyebut perasaan Robin Williams dengan istilah eccedentesiast. Eccedentesiast adalah orang yang menyembunyikan banyak hal di balik senyumannya. Pada umumnya, seseorang akan menyembunyikan rasa sedih, traumatis, dan depresi dengan menunjukkan senyum bahagia di depan orang lain seperti sosok badut di video musik Larasuka.
Menyaksikan video musik Larasuka membuat pikiran saya melayang ke mana-mana. Saya curiga dan melontarkan dua pertanyaan: berapa banyak orang di dunia ini yang harus menampik kebahagiaan diri sendiri agar bisa menghibur orang? Apa kita harus menjadi badut agar kita bisa terlihat tegar? Tak bisakah kita meluapkan kesedihan kita. Sial, saya jadi ngeri sendiri.
Album Baru fourtwnty, Gak Bikin Kepala Pening
Larasuka adalah focus track dari album terbaru fourtwnty bertajuk Nalar yang baru dirilis beberapa waktu lalu. Nalar menjadi album ketiga fourtwnty setelah sebelumnya merilis dua album, masing-masing Lelaku (2015) dan Ego & Fungsi Otak (2018).
Album Nalar, bagi fourtwnty dipandang sebagai sebuah pencapaian musik fourtwnty baik secara gagasan dan estetika bermusik. Tapi benarkah demikian?
Saya kira pengakuan fourtwnty bukan sekadar isapan jempol belaka. Secara musik, fourtwnty mencoba mengeksplorasi musik mereka dengan instrumen yang lebih kaya–mengingat sebelumnya mereka hanya menjadikan gitar dan vokal Ari Lesmana sebagai kekuatan grup ini. Di beberapa lagu, kita bisa mendengar roh Radiohead di beberapa lagu di album ini.
Yang patut diapresiasi kembali, fourtwnty seakan ingin menghilangkan kesan folk-indie yang yang kadang disematkan para pendengarnya. Dengar saja lagu Nematomorpha, nuansa musik reggae nan manis jadi pilihan musikal mereka. Selain itu, perkembangan fourtwnty di album ini adalah upaya mereka membuat lagu berjudul High yang notabene menjadi lagu berbahasa Inggris pertama fourtwnty sepanjang karier.
Maka tak berlebihan menyebut Nalar membuka pintu petualangan musikal mereka.
Tapi yang menurut saya yang dipatut diapresiasi dari album ini adalah fourtwnty membawa tema yang dekat dengan keseharian dan dibahas dengan cara yang sederhana pula. Pendeknya, mereka tahu apa yang hendak dibicarakan. Jujur saja, sebelumnya tema-tema yang dibawakan fourtwnty membuat kening saya berkerut. Lihat saja, lagu Fana Merah Jambu, sebuah nomor dari album Lelaku (2018), saya tak tahu apa yang terlintas di benak mereka saat menamai lagu tersebut dengan judul Fana Merah Jambu.
Ditambah lagi, tiap lirik di lagu tersebut cenderung dipaksakan. Mungkin ini salah satu upaya fourtwnty agar terdengar puitis. Tapi menurut saya, lagu itu ndakik-ndakik, ndak jelas mau ngomong apa. Sayang sekali, padahal notasi dan nada lagu itu sangat enak dan ramah di telinga.
Atau cek saja nomor lain di album yang sama, Argumentasi Dimensi. Mak, bingung kali lah awak, mereka mau ngomong apa sih. Melihat judulnya saja saya sampai garuk-garuk kepala pake kamus. Mungkin Zona Nyaman pengecualian dari karya-karya fourtwnty yang liriknya sangat mudah dipahami.
Akhirnya waktu jua lah yang membuat fourtwnty berubah. Mungkin benar kata orang, seiring bertambahnya umur, manusia kerap meninggalkan kerumitan dan mencoba sederhana. Begitupula dengan fourtwnty. Album ini dibuka dengan single Aku Mencintai Traumaku. Sebuah single manis yang mengajak pendengar berdamai dengan segala trauma yang hadir. “Satu berhenti, satu mengalir//Ketika ku mencintai traumaku”, begitu outro lagu tersebut.
Di nomor lain seperti Aku = Kamu, Besi Tua, Rammang-Rammang, Nematomorpha, Kursi Goyang, Mangu, Pintu Keluar perasaan mengerti apa yang ingin mereka bicarakan langsung saya terasa saat mendengarnya pertama kali. Saat diulang untuk kedua dan kesekian kali, saya makin paham: Oh mereka mau ngomongin ini, toh.
Saya punya feeling bagus untuk band ini. Ke depan, saya yakin jika mereka mau membuat lirik yang sederhana, tak menutup kemungkinan fourtwnty akan menjadi legenda besar yang lagunya dinyanyikan di pos ronda di Sabang sampai sekretariat pemuda desa di Merauke. Tak hanya dikagumi dedek-dedek indie yang mendaku sebagai anak folk. Ha, apa itu folk, apa itu indie? wkwk.
Sebab, sebagai band, fourtwnty punya modal musikal di atas rata-rata dengan membuat notasi yang enak dan ngepop. Selain itu, fourtwnty punya manajemen yang tahu cara menjual grup ini. Merchandisenya laris manis, baik digarap sendiri maupun berkolaborasi dengan banyak jenama. Panggungnya puluhan tiap bulan. Bayangkan saja, grup yang semula hanya tim kecil ini kini menjelma sebagai entitas bisnis yang mampu menghidupi puluhan orang.
Menyaksikan sepak terjang fourtwnty adalah menyaksikan mimpi setiap orang yang bercita-cita jadi musisi: musiknya dikenal, panggungnya ramai, brand-nya kuat dan hidup mapan bersama teman-teman. Menyenangkan sekali, bukan?