Aku (Bukan) Perfeksionis

Aku (Bukan) Perfeksionis, Sebuah Catatan Harian Kecemasan Ku


Oleh: Raffyanda Indrajaya

Ada beberapa kebiasaan yang membuat segelintir kawan di bangku perkuliahan mengenal saya sebagai seorang ‘perfeksionis’. Beberapa contohnya adalah kebiasaan saya untuk mengecek kertas absen sebanyak kurang lebih 8 kali dalam satu perkuliahan, cerewet dalam kerja kelompok, dan kebiasaan untuk overdo segala sesuatu. Hal ini belum termasuk kebiasaan micromanagement atau kecenderungan saya untuk mengkonfirmasi suatu informasi secara berkali-kali. Hal serupa–dengan bentuk yang beragam–juga terjadi di mana pun saya berada, entah pada organisasi, permagangan, ataupun proyek-proyek lainnya yang saya ikuti.

Meski terlihat sengaja, semua tingkah laku saya diikuti impulsi dan rasa cemas yang tidak ada ujungnya untuk memastikan semua berjalan secara normal. Ironisnya, hadir juga bayang-bayang menakutkan yang menghantui saya, sebuah ketakutan akan penolakan dan persepsi dari orang-orang di sekeliling yang dapat menganggap semua perbuatan saya menyebalkan. Hasilnya, saya dihadapkan dengan siklus “maju kena, mundur kena”:

Ketakutan akan hasil buruk ⇒ overwork dan micromanagement ⇒ burnout dan stress ⇒ penyesalan dan ketakutan akan persepsi rekan ⇒ burnout dan stress ⇒ kembali ke awal.

Orang-orang yang mengenal saya, bahkan keluarga sendiri, seringkali memaklumi sifat ini sembari bergurau bahwa saya memang seorang ‘perfeksionis’. Namun, ketika akhirnya datang kesempatan untuk mengunjungi spesialis kesehatan mental, saya didiagnosis mengalami Gangguan Kecemasan Menyeluruh (GAD). 

“Mitos” Perfeksionisme

Jika berbicara soal perfeksionisme, masyarakat seringkali menyamakannya dengan keinginan seseorang untuk menjadi yang terbaik dalam apa yang dikerjakannya. Tidak jarang hal ini diasosiasikan dengan sifat kerja keras, tekun, dan komitmen, yang seolah-olah menjadikannya sebagai hal yang ‘baik’. Semisalnya pun sesuatu yang berlebihan dianggap buruk, masyarakat tetap memandang bahwa perfeksionisme yang seimbang, atau ‘perfeksionisme sehat’ adalah sifat terpuji. 

Pandangan tersebut, membuat beberapa orang yang dijuluki perfeksionis menganggap kecenderungan yang dimilikinya sebagai suatu kelebihan, dan bukan merupakan sebuah perwujudan dari masalah kejiwaan atau hal yang dapat berimbas pada kesehatan mentalnya.

Padahal, meski belum terdapatnya sebuah konsensus di lingkungan akademisi, sebagian besar penelitian yang membahas topik ini cenderung berfokus pada aspek negatif perfeksionisme. Allan Mallinger, seorang ahli psikiatri juga menyatakan bahwa para perfeksionis seringkali:
Melihat pekerjaan yang dimilikinya sebagai sesuatu yang berat 
Menghindari segala sesuatu yang memiliki resiko gagal
Memikirkan pilihan yang dibuat secara berlebihan
Kesulitan dalam membuat komitmen
Berlebihan dalam menanggapi kekurangan

Saya sendiri juga rutin dihadapkan dengan hal-hal tersebut, yang tidak hanya mengganggu rutinitas harian, tetapi juga berdampak dalam hubungan interpersonal, dan bahkan psikosomatik. Hari-hari selalu berat untuk dijalankan, karena pilihan yang saya buat terus saja terasa salah. Kemudian, suatu perubahan—tidak peduli sekecil apa—pada bagaimana orang-orang berinteraksi dengan saya, mudah untuk ditafsirkan sebagai indikator bahwa saya baru saja membuat kesalahan.

Baru beberapa tahun kemudian saya memahami bahwa sifat yang awalnya saya iyakan saja sebagai ‘perfeksionis’, sejatinya merupakan bagian dari gangguan kecemasan.

Hidup Bersama Gangguan Kecemasan

Gangguan kecemasan bisa dibilang merupakan salah satu permasalahan mental terbesar di Indonesia dan dunia. Meski tidak ada angka yang pasti, WHO memperkirakan sekitar 4% dari keseluruhan populasi dunia mengidap gangguan kecemasan, dengan angka prevalensi tertinggi pada wanita sebesar 2:1 jika dibandingkan pria. Angka tersebut belum termasuk yang tidak terdata, ataupun mereka yang tidak pernah ditangani tenaga ahli.

Gangguan kecemasan hadir dalam beberapa bentuk, antara lain adalah gangguan kecemasan menyeluruh (GAD), gangguan dan serangan panik, agoraphobia, kecemasan sosial, selective mutism, dan lain-lainnya. Jika tidak ditangani semua permasalahan ini dapat berpotensi untuk menjadi gejala awal dari berbagai gangguan kejiwaan lainnya yang jauh lebih berat.

Saya sendiri hanyalah satu di antara jutaan lainnya yang menghadapi GAD. Kondisi ini membuat saya mengalami kesulitan bernafas dan tidur, serangan panik, penurunan daya konsentrasi, dan kecemasan berlebihan pada segala aspek rutinitas sehari-hari. Hal ini sangat mengganggu tentunya, namun teman dan keluarga terus menganggap kebiasaan-kebiasaan tadi sebagai sesuatu yang menjadikan saya sebagai ‘saya’.

Tak hanya itu, sulit juga untuk menerima bahwa ada sesuatu yang salah pada diri. Saya yang kebetulan cenderung unggul secara akademik lebih dikenal sebagai wajah perfeksionis, atau jika dikemas ke dalam CV sering disebut sebagai ‘detail oriented’. Keberhasilan saya secara akademik rasanya menjadikan diagnosis yang saya miliki sebagai sesuatu yang tidak valid, di mana “seseorang yang mengalami gangguan mental tidak seharusnya unggul pada beberapa hal”.

Semua itu memberikan tekanan tersendiri bagi saya untuk terus mencoba melampaui ekspektasi orang-orang, mencoba mencapai sesuatu yang tidak ada ujungnya, dan kemudian malah memperburuk kondisi mental saya. Perlu waktu untuk akhirnya saya memutuskan mengunjungi beberapa psikolog, mendapatkan diagnosis, dan menjalankan terapi.

Saat ini, bisa dibilang bahwa kondisi mental saya sudah jauh lebih baik. Kecenderungan cemas tentunya masih ada, namun dengan terapi dan konseling rutin, saya mulai belajar untuk tidak tunduk pada kecemasan. Perjalanan ini juga yang mengantarkan saya untuk memahami bahwa GAD sekiranya bukan satu-satunya permasalahan mental yang saya hadapi. Sekarang, setiap kali ada yang bilang saya perfeksionis, saya mulai membiasakan diri berkata, “Gue bukan perfeksionis, gue gampang cemas, jadi tolong bantuannya ya.”