Alas Roban Bukan Cuma Horor

ALAS ROBAN BUKAN CUMA HOROR
Ekokritik & Potret Alam Dalam Cerita Rakyat
Oleh: Khumaid Akhyat Sulkhan
“Bro, tau Alas Roban?”
“Oh, yang angker itu ya?”
Selama merantau, kawan-kawan yang baru kenal saya biasanya bingung dan menggeleng ketika saya menyebut bahwa saya berasal dari Batang, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Namun, mereka baru mengerti begitu saya menambahkan bahwa Batang adalah Kabupaten di mana Alas Roban berada.  
Sebagian besar dari mereka memiliki pandangan yang serupa tentang Alas Roban sebagai jalur  angker dan penuh dengan roh jahat. Pandangan ini tentu tidak hanya terbentuk melalui cerita-cerita lisan, tetapi juga diperkuat oleh media yang terus menyebarkan dan mengulang cerita tersebut melalui berbagai karya jurnalistik, podcast, hingga konten video di platform seperti YouTube. 
Mitos dan Realitas Penaklukan Manusia
Di tengah popularitas konten ber-genre horor, orang berlomba-lomba menceritakan Alas Roban. Anda bisa pergi ke mesin pencari dan dengan mudah menemukan tulisan dan wawancara yang membahas berbagai fenomena supranatural di sepanjang jalur Pantura tersebut, mulai dari orang yang merasa tersesat ke dunia lain hingga keberadaan warung-warung siluman.
Cerita mistik dan supranatural memang telah melekat dalam identitas Alas Roban sejak zaman dahulu. Bahkan sebelum Batang terbentuk, hutan itu sudah dikenal sebagai tempat yang wingit, dan oleh karena itu, dihindari oleh manusia. Mungkin karena citra keangkeran yang telah terbentuk sejak lama ini, ditambah dengan fakta bahwa Alas Roban adalah jalur yang banyak dilalui pemudik sebelum adanya tol Trans-Jawa, nama Alas Roban menjadi lebih terkenal daripada nama kabupaten yang menaunginya. 
Menurut cerita dari lisan ke lisan, sosok pertama yang dipercaya membuka hutan tersebut untuk peradaban manusia adalah Ki Bahurekso. Ia dikisahkan mempunyai peran sentral dalam menaklukkan demit-demit Alas Roban. Tindakan tersebut dilakukan atas perintah Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram pada abad ke-17. Tujuannya adalah untuk membantu persediaan logistik pasukan Mataram dalam menghadapi serangan Belanda di Batavia. 
Kisah Alas Roban terus terperpetuasi dari generasi ke generasi, tidak hanya melalui cerita lisan, tetapi juga melalui penulisan dalam buku-buku cerita. Ia menjadi teks yang menarik untuk mempertimbangkan bagaimana cerita rakyat menggambarkan hubungan antara manusia dan alam. Saya  berminat membahasnya dalam konteks akademik setelah membaca paper Dwi  Ario Fajar dari Universitas Pekalongan, yang mengulas cerita Bahurekso dalam buku Legenda, Mitos & Sejarah, 35 Kota di Jawa Tengah (2015) karya Hadi Priyatno. Paper tersebut diikutkan dalam English Language and Literature International Conference, Semarang, dengan judul “An Ecocritical Reading: Demonizing the Nature Found In Batang’s Folktale” (2019). 
Dalam papernya, Fajar memandang narasi penaklukkan dalam legenda Ki Bahurekso membabat Alas Roban ini sebagai bentuk subordinasi manusia terhadap alam.  Secara khusus, ia memaknai perubahan fungsi lahan dalam kisah Bahurekso. Dengan pembacaan ekokritik, ia menjelaskan bagaimana hutan angker berubah menjadi lahan pertanian sebagai konsekuensi dari pertarungan antara alam (nature) dan budaya (culture). Alam sebagai dunia di luar pengaruh manusia harus tunduk dan disulap menjadi lahan pertanian sebagai bentuk kreasi manusia. Proses perubahan ini, lanjut Fajar, terjadi tanpa upaya pelestarian.
Legenda-legenda seperti ini banyak ditemukan dalam cerita lokal Indonesia. Salah satunya adalah legenda Syekh Subakir, yang konon berperan sebagai utusan Islam dari Turki. Dalam cerita tersebut, Syekh Subakir menghadapi dominasi roh-roh jahat di wilayah Jawa yang masih menjadi hutan angker tak layak huni.
Dalam pendekatan ekokritiknya terhadap cerita Bahurekso menaklukkan Alas Roban, Fajar melihat manusia sebagai penjajah. Menurut interpretasinya, makhluk-makhluk non-manusia telah hidup beriringan dengan alam dan menjadi bagian integral darinya. Namun, kedatangan Bahurekso mengganggu kehidupan mereka dan berhasil mengalahkan mereka. Hal serupa dapat ditemukan dalam folklor tentang Syekh Subakir: penggambaran alam sebagai tempat gelap yang perlu dibuat beradab melalui kreativitas manusia dan budayanya. 
Ekokritik, Folklor, dan Konsekuensi Etik
Pembacaan ekokritik oleh Fajar membangkitkan minat saya untuk merefleksikan hubungan antara folklor dengan masyarakat, terutama karena saya tumbuh di Batang dan akrab dengan cerita-cerita Alas Roban sejak kecil, meskipun rumah saya tidak berada dekat dengan lokasi tersebut. Hal ini juga didasarkan pada pemahaman Cheryll Glotfelty dalam buku The Ecocriticism Reader (1996), yang menyatakan bahwa ekokritik melihat hubungan antara budaya manusia dan dunia fisik, saling mempengaruhi. Melalui penelitian produk budaya, seperti sastra, ekokritik menanyakan kesesuaian nilai-nilai yang diekspresikan dalam cerita dengan kearifan ekologis, serta bagaimana metafora kita tentang alam memengaruhi perlakuan kita terhadapnya. Secara konseptual, ekokritik menyelidiki hubungan yang saling terhubung antara alam dan budaya, dan sebagai wacana teoretis, ia membahas interaksi antara manusia dan non-manusia.
Dalam buku itu, ada esai menarik dari Christopher Manes berjudul Nature and Silence (1996). Dia mengulas hubungan masyarakat animisme dengan alam, seperti bagaimana kelompok masyarakat yang masih menganut animisme memperlakukan alam sebagai entitas yang memiliki jiwa, dan berbahasa, dengan berbagai mitologi yang merepresentasikannya. Perkara apakah masyarakat Jawa tepat disebut animisme, barangkali memang masih perlu diperdebatkan. Meski begitu, kepercayaan mereka pada jin dan roh juga sangat kuat. Mahluk non-manusia ini dikisahkan menghuni alam, seperti pohon, sungai, dan gunung, menjadi bagian tak terpisahkan darinya. 
Folklor memainkan peran penting dalam memperkuat legitimasi keberadaan bangsa jin dan membentuk konsekuensi etik dalam hubungan manusia dengan alam. Saat saya kecil, misalnya, ada sebuah sungai di kampung saya yang konon dihuni demit penculik manusia. Lantaran takut, masyarakat jadi menjaga kebersihan sungai itu, dan jika ada anak yang sakit setelah melintasinya, ustaz atau tetua kampung bernegosiasi dengan 'penunggu sungai' untuk mendapatkan pengampunan jika anak tersebut telah berbuat salah.
Dalam kasus folklor Alas Roban, konsekuensi etik itu termanifestasi dalam laku masyarakat Batang yang tetap menghormati tempat-tempat sakral hasil taklukkan Ki Bahurekso dan mengakui entitas roh-roh yang hidup berdampingan dengan mereka. Tidak hanya di Alas Roban secara spesifik saja, melainkan juga di sejumlah tempat lain di Batang, mengingat penaklukkan Alas Roban berkelindan pula dengan asal-usul daerah Batang itu sendiri. 
Pada malam Jumat Kliwon yang senantiasa lekat dengan sakralitas, misal, Batang memiliki tradisi ruwatan sambil mengenang jasa Bahurekso selaku leluhur yang berjasa memperadabkan daerah tersebut. Salah satu bentuk ritual ruwat itu adalah mandi di Sungai Kramat lantaran dipercaya bisa mendatangkan berkah, seperti mempercepat para jomblo ketemu jodohnya. 
Sungai Kramat konon dulu juga dihuni oleh demit-demit sakti yang menghalangi Bahurekso membuat sistem irigasi pasca membuka Alas Roban. Ada kisah bahwa sistem irigasi yang dibangun Bahurekso dan prajuritnya terhalang oleh sebuah batang pohon besar. Batang pohon ini tampaknya bukan sembarang sampah, karena untuk mengangkatnya butuh kesaktian yang matang. Singkatnya, Bahurekso berhasil melakukan itu dan demikianlah asal-usul nama Batang (ngembat-watang atau mengangkat batang) tercipta.
Ritual ruwatan Jumat Kliwon, pada praktiknya, juga dilakukan di Masjid Agung Batang untuk anak-anak yang sakit dan, di alun-alun depan Masjid, pasti akan ramai oleh para pedagang dari berbagai daerah. Mereka tidak hanya mencari keuntungan finansial, tapi juga berharap mendapatkan berkah dan rezeki yang lancar. Dengan demikian, ritual ini memiliki nilai spiritual dan sekaligus ekonomi bagi masyarakat setempat.
Sejauh ini, saya melihat, sekalipun banyak cerita rakyat—seperti kisah Bahurekso atau Syekh Subakir—yang merefleksikan alam sebagai siluman atau demit dan harus ditaklukkan, tetapi masyarakat memiliki sistem pemaknaan yang menarik. Karena mereka percaya pada kekuatan-kekuatan di luar diri mereka yang menghuni pohon-pohon besar, sungai, atau gunung, mereka jadi lebih menganggap alam sebagai entitas berjiwa, hidup, sebuah subjek yang juga memiliki kehendak.
Sakralisasi alam tersebut merefleksikan penghormatan manusia terhadap mahluk lain dan berusaha hidup berdampingan dengan mereka dalam harmoni. Dengan menganggap alam sebagai tempat yang sakral, ada kecenderungan bahwa masyarakat menjadi tidak terlalu invasif; mereka hanya mengolah alam atau hutan sesuai kebutuhan, dan tak mengusik tempat-tempat yang dianggap sakral. Jika harus menggarap tanah-tanah yang sakral pun mereka biasanya akan bernegosiasi dengan penunggunya melalui ritual tertentu. Paling tidak, demikianlah yang saya pelajari dari masyarakat tradisional di daerah Batang.
Menulis Ulang Cerita Rakyat 
Kisah-kisah folklor seperti Bahurekso mungkin mengalami simplifikasi (atau bahkan oversimplifikasi) dalam menggambarkan hubungan manusia dengan alam. Biasanya, adegan pertarungan lebih menonjol daripada nilai-nilai kompleks yang terlibat dalam mediasi dengan entitas alam. Simplifikasi seperti ini barangkali terjadi karena orang kemudian lebih suka membayangkan adegan-adegan perang antara bangsa manusia melawan lelembut. Dari waktu ke waktu, akhirnya cerita lisan yang berkembang pun lebih ke arah pertarungan laga.
Melalui pembacaan ekokritik, kita dapat menghadirkan pemaknaan yang lebih seimbang, juga reflektif, antara manusia dan non-manusia. Meskipun cerita masih berakhir dengan kekalahan makhluk non-manusia, setidaknya, ketika kita mampu menghadirkan kedalaman serta kompleksitas pemaknaan terhadap eksistensi mereka, barangkali kita juga bisa memperoleh pengalaman yang lebih simpatik dalam melihat alam yang ditaklukkan, alih-alih menganggap itu sebagai suatu kewajaran. Lagi pula, dalam khazanah folklor masyarakat kita, relasi antara manusia dan non-manusia ini tak melulu berakhir dengan penaklukan. Ada juga cerita-cerita tentang kerja sama antara manusia dan non-manusia dalam membangun dan menjaga peradaban. 
Kisah Ki Juru Taman dan Desa Kembang, di antaranya, menarik untuk dimaknai ulang:  Ki Juru Taman selaku abdi Kerajaan Mataram yang menjadi raksasa setelah memakan telur ajaib dari Kanjeng Ratu Kidul, dan bertugas menjaga Merapi; sementara  Desa Kembang, Kulon Progo, konon berasal dari nama Kembang Bulan dan ia dikisahkan sebagai gadis jelmaan seekor burung yang kemudian menikah dengan manusia. Kisah-kisah ini menarik untuk dimaknai, dan ditulis ulang, dengan lebih menekankan perspektif atau nilai-nilai mengenai keharmonisan manusia dengan non-manusia. 
Memaknai ulang dan menulis kembali cerita-cerita rakyat yang mendalami perspektif alam barangkali bisa memberi kita refleksi terhadap perkembangan modernitas. Apalagi, modernitas agaknya makin membuat kita menempatkan banyak hal di luar diri kita, termasuk alam. Sehingga, kita rawan tergelincir dalam cara pandang yang melihat alam sebagai objek dan bisu. Padahal, alam tidak hanya hidup, tetapi juga penuh dengan subjek yang bisa berkomunikasi dengan kita.  Hanya kita saja yang, barangkali, semakin tidak memahami bahasa non-manusia:  segala entitas di luar diri kita.

Yogyakarta, 2023