Ali Topan Memang Anak Jalanan, tapi Tetap Sugih Dalam sebuah pidato kebudayaan tahun 2013 silam, almarhum Remy Sylado berujar: jika ingin melihat carut-marut kehidupan Amerika, dengarkanlah Bob Dylan, dan jika ingin melihat centang-perenang situasi politik Orde Baru, tontonlah teater WS Rendra. Saya mengamini pernyataan tersebut. Namun, kalau boleh menambahkan, saya ingin bilang: jika kamu ingin melihat pemberontakan anak terhadap bapak khas Orde Baru, bacalah novel Ali Topan yang ditulis Teguh Esha atu tontonlah film Ali Topan Anak Jalanan (1977). Percayalah, secarik kisah Ali Topan memberi gambaran bagaimana situasi politik dan sosial masa itu. Ali Topan adalah anak gedongan yang tinggal di kawasan elit Jakarta Selatan. Bapaknya birokrat yang menjadi kaya di tengah bangsa ini sedang dalam masa pembangunan. Kata “pembangunan” seakan sanggup menyihir banyak orang. Konsekuensi: korupsi besar-besaran dan bapak-bapak ini menjadi sibuk dengan dunianya sendiri di luar rumah, termasuk selingkuh. Perselingkuhan bapak-bapak ini berimbas ke rumah. Ibu kemudian meniru bapak dan berperangai serupa, getol pacaran dengan dengan pria muda. Kombinasi kekacauan ini melahirkan keluarga yang tak harmonis. Tak ada kehangatan antara orang tua dan anak. Meski begitu, bapak-bapak ini, seperti Pak Amir-bapaknya Ali Topan ini tetap menempatkan diri sebagai orang yang tahu adat. Dalam kondisi yang jarang pulang itu, Pak Amir mengeluhkan perangai anak bungsunya ini yang ia sebut tak kenal sopan santun. “Udah, udah deh, nggak usah bawa-bawa sekolah, etiket atau sopan santun segala. Percuma belajar sopan santun kalau yang mengajari juga tidak mau memakai sopan santun itu,” kata Ali Topan kepada bapaknya dalam sebuah dialog. Ali Topan hendak bangkit. Tapi bapaknya menyuruh tetap duduk. Geram betul PakAmir mendengar omongan anaknya yang dianggap asal bunyi itu. Ia tak tahu rasa hati anaknya. “Dari mana kamu?” kata Pak Amir. Nadanya melunak. “Biasa.” “Kamu nggak punya persediaan kata-kata lain kecuali biasa-biasa itu, he? Gayamu itu lho, bikin orangtua pusing.” Ali Topan diam seribu bahasa. Dia menikmati rokoknya dengan gaya orangtua. Matanya mengawasi asap rokok yang dibuatnya bundar-bundar. “Jadi kebiasaan sekolah sekarang ini berangkat pagi pulangnya malam, begitu?” kata ayahnya. “Iya. Seperti orang kantoran,” kata Ali Topan. “Orang kantoran bagaimana?” “Banyak teman saya bilang, bapak mereka kalau berangkat pagi, pulang ke rumah pagi lagi. Kadang-kadang nginep di motel sama cabo!” Begitulah Ali Topan. Di rumah ia tak bisa menyembunyikan rasa marahnya. Berbekal segudang kemarahan itulah, Ali Topan mencari dunianya sendiri. “A house, not my home,” begitu poster di kamar Ali Topan yang diperankan Junaidi Salat tersebut. Rumah sekadar bangunan yang alpa melahirkan kehangatan. Ia marah dan gelisah dengan keadaan. Ia menjadi bengal di luar rumah. Di sekolah ia dicap anak nakal. Di luar sekolah, Topan menjadi begundal, bertindak serampangan, kebut-kebutan di jalan dan berkutat kekacauan. Tapi di samping hasrat pemberontakan yang menggebu, Topan akhirnya jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Anna Karenina yang diperankan Yati Octavia kalau di film. Anna merupakan siswi pindahan yang mampu membikin Topan mabuk kepayang. Namun cinta Topan tak mendapat restu orang tua Anna. Ali Topan di mata orang tua Anna hanya begundal tengik yang tak layak mendekati anaknya. Tapi, bukan Topan namanya jika mudah menyerah. Jalanan menakhlikkan Topan menjadi pribadi yang kokoh bak beton. Ia mencintai Anna dengan segala kekeraskepalaan. Puncaknya, ia membawa lari Anna. Meski di film maupun di novel, cinta Ali Topan dan Anna Karenina menjadi suguhan utama, tapi terasa betul bagaimana latar belakang sosial-politik yang dikomandoi pemerintah mencengkram sampai ke rumah. Kekacauan dari pemerintah terasa hingga ke rumah tangga.Kamu bisa menemui kondisi yang sama di album Orexas milik Sylado kerap digambarkan mengalami dekandensi. Roller Coaster Anak Orang Kaya Sebagai sebuah cerita, Ali Topan selalu menarik perhatian saya. Pertama, saya mengenal sosok Topan sejak menemukan novel Ali Topan Anak Jalanan saat masih berseragam putih-abu-abu. Novel yang saya beli di Kwitang itu membuat saya terpukau dan membekas sampai sekarang. Manusia berkembang, termasuk saya. Pembacaan ulang terhadap sosok Ali Topan membuat saya tidak relate lagi dengan cerita-cerita berbumbu machoisme, namun kenangan Ali Topan lekat di benak saya. Maka saat pertama tahu kalau Ali Topan bakal diremake dalam format yang kekinian, saya menyambut senang meski tak berharap banyak. Ekspektasi saya turunkan lantaran takut kecewa. Di kemudian hari Visinema sebagai rumah produksi mengumumkan Jefri Nichol menjadi Ali Topan. Saya sedikit lega. Apalagi saat tahu Lutesha didapuk sebagai Anna Karenina. “Insyaallah aman ini mah. Sidharta Tata sebagai sutradara cukup tahulah dunia anak muda,” kata saya kepada seorang kawan. Saat menontonnya, film saya cukup terhibur dengan nuansa khas ana-anak muda khas 2000-an seperti Realita, Cinta, Rock’n Roll, Catatan Akhir Sekolah dan Jomblo yang menampilkan aktivitas menyenangkan. Permulaan yang menarik. Adegan kemudian menampilkan Topan yang petantang-petenteng itu tengah nangkring di Blok M. Melihat akting Jefri Nichol, menurut saya, ia cocok memerankan Ali Topan hari ini. Kembali ke Ali Topan, ia merasa terganggu mobil petugas yang tengah merazia pedagang kecil. Topan iseng menyalakan petasan. Suasana chaos seketika. Para petugas kemudian mengejar Topan. Adegan lari-larian ini terlihat seru. Saat matahari terbenam, Topan menghabiskan malam dan nongkrong di Warung Seni. Jefri Nichol, menurut saya, adalah gambaran pas Ali Topan hari ini. Topan bukan preman, cuma anak jalanan berwajah manis yang tak ingin kuliah. Di Warung Seni itu ia banyak menghabiskan waktu. Ia lantas bertemu Anna Karenina di Blok M. Pendek cerita, mereka berkenalan dan Anna Karenina masuk ke Warung Seni. Topan lantas mengantarkan Anna pulang. Sesampainya di rumah Anna, Topan dicegat seorang bapak dan seorang pemuda, anak menteri yang jatuh hati pada Anna. Pendek kata, Topan dilarang mendekati Anna. Tapi sebagai anak jalanan yang tak mengenal takut, Ali Topan tak mengenal kata takut. Situasi mulai berubah dan menegangkan. Anak menteri yang tak suka kedekatan Topan dengan Anna itu, lantas membakar Warung Seni yang sedang menyelenggarakan gigs. Anna datang. Anak menteri ini mencari Anna. Dan bagai harimau ketemu mangsa, ia bertemu Ali Topan di dalamnya. Pertengkaran tak terelakkan. Tak ada yang spesial dalam pertengkaran tersebut. Saya hanya melihat dua anak manja yang sedang pukul-pukulan saja. Saya malah terganggu dengan penampilan anak menteri ini. Dalam bayangan paling liar sekali pun, sukar rasanya melihat orang memakai jas 24 jam sehari, bahkan di situasi informal, apalagi masuk ke dalam gigs musik underground. Pertanyaan selanjutnya muncul: apa semua anak menteri ke mana-mana harus pakai jas? Jika memakai pendekatan realis, tentu penggambaran ini jauh panggang dari api. Meski terkesan sederhana, kostum dalam film juga agak ganjil. Mestinya, cukup melihat Mario Dandy dan anak pejabat brengsek yang lain, sutradara cukup menggambarkan anak menteri itu sebagai pria yang bergaya sederhana, namun berwatak jahat seperti bapaknya. Bukankah anak-anak yang hari ini punya privilese banyak yang bertampang lugu? Kekacauan berikutnya Warung Seni terbakar. Semua teman-teman Ali Topan menyalahkan dia. Berita ini sampai ke telinga orang tua Anna Karenina. Dalam kesedihan itu Anna melawan. Ia tak frontal melawan seperti Ali Topan. Anna Karenina memilih jalur sunyi: kabur dari rumah dan meminta Ali Topan menemaninya ke Jawa Tengah, mencari kakaknya yang diusir keluarganya. Selanjutnya cerita berjalan biasa saja. Pelarian yang coba digawat-gawatkan. Sesampainya di Jawa Tengah, Ali Topan dan Anna Karenina singgah sekejap di Pekalongan, tempat Dirga (Onadio Leonardo). Dirga adalah dedengkot salah satu kolektif Kandang Berang. Anna Karenina terpukau melihat kehidupan kolektif. Anna si anak rumahan itu harus meninggalkan kasur nyaman dan bergaul dengan orang yang (mungkin) tak pernah bertemu dengannya. Sementara, lewat bahasa tubuhnya Ali Topan tampak terbiasa dengan situasi tersebut. Ia lentur bergaul dengan banyak orang. Ali, mungkin muak dengan segala fasilitas yang ia miliki. Tapi baik Ali Topan lama maupun Ali Topan versi Jefri Nichol, keduanya sama saja mendefinisikan makna rumah. Di Pekalongan, dua pasangan yang tengah kasmaran ini tak berangsur lama. Anak menteri itu terus mengejar Ali Topan dan Anna Karenina ke mana pun mereka pergi. Ditambah lagi, pelarian mereka yang seolah-olah menjadi sorotan semua masyarakat cenderung berlebihan. Televisi dan media sosial mengabarkan kehilangan Anna. Semua polisi dikerahkan untuk menangkap Ali Topan. Singkat cerita, Anna Karenina berhasil menemui sang kakak yang kini sudah menikah dan di Jogjakarta. Polisi terus mencarinya. Hidup keduanya hanya berisi satu pelarian ke pelarian lain. Akhirnya keduanya singgah di sebuah kolektif di Kebumen yang “lebih bebas” ketimbang kolektif di Pekalongan. Ali Topan meminta suaka kepada Mas Bentor, dedengkot kolektif yang bandnya dibantu Ali Topan saat tur di Jakarta. “Ngomong-ngomong, kamu tidak nginap di sini kan, Pan?” ujar Mas Bentor. Mendengar penolakan itu, Ali Topan geram bukan main. “Aku dan anak-anak pasang badan buat kamu, Mas. Sekarang aku minta nginap satu malam, kamu gak mengizinkan. Saudara macam apa kamu, Mas,” kata Ali Topan dengan sorot kemarahan. “Hei, Pan. Kau dengarkan aku baik-baik. Kau itu tidak ada masalah, Pan. Kasurmu paling enak! Paling nyaman! Jika ditangkap polisi pun, paling besok sudah ada yang tebus. Bebas. Lalu kami, Pan? Beda kasta, Bung,” jawab Mas Bentor sejurus sebelum mengusap kepala anaknya. Pernyataan Mas Bentor ini membuka mata kita. Bagaimana pun, mesti Ali Topan berbusa-busa mendaku bahwa ia anak jalanan atau berandalan sekali pun, Ali Topan tetap anak orang kaya. Jika saja ia kerasan di rumah mewahnya, segala kebutuhan tersedia. Kemiskinan, pergaulan di jalan atau sentimen kelas yang dibangun Ali Topan, posisinya bias. Ali Topan tak pernah mewakili suara mereka yang terpinggirkan itu. Ali Topan menjadikan petualangannya di jalanan semacam permainan roller coaster yang membikin adrenalin naik. Setelahnya, Ali Topan akan pulang ke rumahnya yang super mewah itu. Di rumah Ali Topan akan marah. Lalu ia akan kembali ke jalanan. Dan situasi tersebut berulang. Maka itu, bagi saya Ali Topan ini adakah misteri yang belum selesai. Bagaimana jadinya Ali Topan di masa depan? Akankah ia menjadi orang yang berjuang dengan sesuatu yang ia yakini sejak muda: kebebasan dan simpati terhadap rakyat kecil. Atau, dingin jalanan sudah membikin badan Ali Topan reot dan membuatnya pulang ke rumah, meredam ego dan melanjutkan kerja-kerja bapaknya yang belum selesai. Entahlah, biarkan semuanya jadi misteri