nak-anak sekolah ambisius bukanlah fenomena baru. Ketatnya persaingan masuk perguruan tinggi negeri (PTN) membuat mereka harus belajar keras, termasuk di luar jam sekolah. Ini bisa dilihat lewat bimbel-bimbel yang terus muncul bak jamur di musim hujan.
Tapi bagaimana jadinya kalau kultur kompetitif ini juga diimpor ke media sosial?
Anti-Ambis Ambis Club
Saya pertama kali tahu soal #ambisverse di Twitter. Salah satu teman saya mengunggah konten satir dengan tagar #ambisverse dan #ambistwt. Penasaran, saya mengklik salah satu tagar. Linimasa saya langsung dibanjiri oleh postingan anak-anak sekolahan yang mencari moots dan study buddy, kata-kata mutiara soal belajar, catatan pelajaran serta perkembangan studi mereka.
Reaksi pertama saya adalah takjub. Seberapa ketat sih kompetisi masuk PTN sekarang sampai anak-anak sekolah membuat akun baru hanya untuk update soal belajar? Pikiran saya kembali ke masa-masa persiapan kuliah di tahun 2014-2015. Yang muncul di ingatan malah saya scrolling medsos untuk mencari meme lucu dan membaca komik.
Seingat saya bahkan saya baru niat belajar UN sebulan sebelum ujian. Begitu pula dengan SBMPTN, sampai-sampai ibu saya sendiri pesimis. Makanya saya sangat tertarik dengan subkultur ini. Apa yang mendorong mereka untuk ambisius sampai mencari orang-orang berpikiran sama di medsos? Tujuannya apa? Dan lebih penting lagi: kenapa?
Temuan ambis
Saya terus menggulir linimasa #ambisverse dan menemukan banyak hal menarik.
Pertama, ada tiga tagar yang biasa dipakai: #AMBISVERSE (iya, kapital), #studytwt, dan #ambistwt.
Kedua, sulit menemukan siapa yang punya ide soal #ambisverse. Tapi hasil pencarian di Google menunjukkan tagar ini pertama kali digunakan di tahun 2019. Soal istilah ambisverse, menurut saya berasal dari plesetan istilah #alternateuniverse. Istilah ini datang dari dunia fandom untuk menunjukkan karya fiksi yang dibuat di dunia yang berbeda dengan dunia aslinya.
Ketiga, keberadaan #ambisverse biasanya berkaitan erat dengan akun-akun base yang berkaitan dengan sekolah seperti schfess dan studentfess.
Keempat, yang ikut berpartisipasi di subkultur ini bukan hanya anak-anak kelas 12 yang mau tes masuk kuliah, tapi juga anak-anak SMP dan SMA kelas 10-11. Bahkan ada anak kelas 6 SD yang ikut berpartisipasi. Katanya sih karena dia sudah punya bayangan mau kuliah di mana.
Kelima, para partisipan seringkali menggunakan akun alter baru berfoto profil idola Kpop atau karakter anime. Tujuan pembuatan akun ini cuma satu: untuk ambis. Ada sih yang menggunakan akun asli, tapi ini jarang sekali.
Keenam, mereka sering mencari teman (biasa disebut moots, plesetan dari mutual follower) belajar. Pencarian teman dilakukan dengan memposting profil berisi nama panggilan, gender, umur (kalau mereka umur 17 tahun, mereka akan menulis 03L. Ini terinspirasi dari penyebutan umur Korsel yang berpatokan ke tahun lahir), ketertarikan atau hobi, dan jurusan sekarang (IPA/IPS bagi yang SMA) serta rumpun jurusan idaman (saintek/soshum).
Ketujuh, konten mereka sangat estetik. Catatan mereka sangat rapi dan menggemaskan, tapi juga detil. Catatan-catatan ini dibagi ke beberapa pelajaran dan disusun dalam satu utas supaya mudah diakses. Mereka juga mengunggah perkembangan belajar yang ditunjukkan lewat foto catatan, jam belajar, dan soal-soal yang kelar dikerjakan.
Tidak seperti yang diduga
Karena mengobservasi cuitan dan akun yang terlibat di #ambisverse hanya memberikan sedikit gambaran, saya memutuskan untuk mewawancarai salah satu partisipannya. Seorang teman memperkenalkan saya ke Riz, partisipan #ambisverse. Riz dulunya punya akun #ambisverse sebelum diterima di Sejarah UI.
Awalnya Riz menjelaskan apa yang sudah saya ketahui soal #ambistwt, yaitu kelompok virtual di mana anak-anak sekolahan saling berbagi materi pelajaran. Tapi selain memamerkan catatan pelajaran dan perkembangan studi, ternyata mereka juga melakukan sesi belajar bareng.
Ada dua jenis aktivitas belajar bareng di #ambistwt: Study With Us (SWU) dan Discuss With Us (DWU). Menurut Riz, SWU adalah studi sendiri-sendiri via video call untuk mensimulasi belajar bersama. Sedangkan DWU adalah diskusi bareng untuk membahas soal. Dua jenis sesi studi ini biasanya diikuti oleh 10-15 orang dan bisa diselenggarakan oleh siapa saja.
Yang mengejutkan dari sini adalah betapa suportifnya orang-orang. Para moots saling menyemangati. Tidak ada senggol-senggolan atau sikut-sikutan seperti yang biasanya terjadi di lingkungan kompetitif. Bahkan sebelum UTBK para anggotanya mendoakan satu sama lain.
Riz mengafirmasi bahwa pengalamannya di #ambisverse sangat positif. Ia dapat banyak teman-teman baru, referensi dan sumber belajar yang belum pernah ia dengar sebelumnya, tips dan trik seputar sekolah dan perkuliahan. Mood yang diberikan oleh #ambisverse yang jauh dari kata negatif ini membuatnya semakin semangat belajar. Bahkan ketika dirinya sakit, banyak teman dan followersnya mendoakan agar ia cepat sembuh.
Meski begitu, Riz tidak luput dari pesan-pesan nyinyir dan mengejek. Pesan-pesan itu biasanya datang dari curiouscat atau secreto, situs pesan anonim. Riz bilang ia tidak ambil pusing akan pesan-pesan itu, tapi ucapannya ini membuat saya berpikir. Kalau memang Riz maupun anggota #ambisverse lainnya bodo amat dengan komentar-komentar nyinyir soal keambisan mereka, kenapa mereka harus menyembunyikan ambisi mereka dibalik akun alter?
Stigma, ketakutan, dan ekspektasi
Masyarakat kita menyukai cerita-cerita sukses dan memuji mereka yang bekerja keras—asalkan orang-orang ambisius dan pekerja keras itu bukan orang-orang di sekitar mereka. Pekerja keras dan ambisius membuat kita merasa kurang dan berpikir mereka ada untuk mengancam posisi kita. Sebagian orang melampiaskan perasaan negatif tersebut dalam bentuk perundungan dan pengucilan.
Selain kerap dirundung teman sebaya, mereka juga harus memikul beban ekspektasi dari orangtua, guru, atau senior. Mereka takut kecewa dan mengalami perasaan negatif lainnya yang akan muncul jika target gagal terpenuhi. Di sisi lain, mereka juga takut jika tujuan tercapai, karena itu artinya beban ekspektasi akan terus naik.
Hal-hal inilah yang membuat mereka memilih untuk ‘ngambis’ dalam diam; menggunakan akun alter untuk ikut #ambisverse, bahkan merahasiakan partisipasi di #ambisverse. Selain takut akan stigma dan beban, ada masalah teman-teman IRL tidak seambis mereka sehingga mereka merasa sendirian.
Dari sini, bisa dibilang #ambisverse lahir dari rasa terasing anak-anak ambisius dan kebutuhan untuk mencari tempat aman yang bisa memberikan mereka teman, dukungan, dan sumber daya tanpa nyinyiran dan ekspektasi berlebih.
Jadi, kenapa #Ambisverse ada?
Wawancara saya dengan Riz dan observasi saya terhadap puluhan akun #ambisverse tetap tidak menjawab kenapa fenomena ini ada. Ya, fenomena ini cenderung baru (postingan terlama yang saya lihat dibuat pada 2019-2020) dan pengikutnya biasanya anak-anak sekolah. Tapi apa pemicunya? Kenapa anak-anak sekolah, bahkan paling muda di usia 12 tahun, sudah memikirkan soal kuliah?
Saya kembali scrolling tagar #ambisverse dan melihat catatan yang saya buat. Lalu saya sadar bahwa saya sudah terlalu lama lulus dari SMA, jadi saya memilih untuk bertanya ke teman-teman daring saya yang masih kuliah.
Berdasarkan cerita mereka, kultur yang menekankan pentingnya kuliah dan gengsi PTN masih ada, tapi efeknya jauh lebih besar dari zaman saya SMA. Sekarang pola pikir “tidak kuliah = mati” jauh lebih kencang, menandakan bahwa mereka mulai sadar kompetisi masuk kerja sekarang jauh lebih kejam dibanding dulu.
Keberadaan media sosial juga berpengaruh besar dalam pembentukan ambisverse. Selain fakta jelas bahwa ambisverse berada di ruang media sosial (Twitter), pengaruh media sosial sebagai ajang pamer juga ikut mempengaruhi bagaimana kita berpikir dan melihat diri.
Cuitan, utas, dan foto orang-orang yang merayakan kesuksesan mereka secara tak langsung membuat kita lebih kritis terhadap pencapaian kita. Plus, cerita-cerita kesuksesan ini terasa lebih banyak dan lebih dekat karena efek echo chamber. Hal-hal inilah yang membuat kita terus membandingkan pencapaian dan prestasi kita dengan orang lain, lalu melupakan fakta bahwa setiap orang punya kemampuan dan tujuannya sendiri.
Ditekan oleh pengaruh dunia nyata dan dunia daring, anak-anak sekolahan ini merasa harus ambis untuk masuk jurusan dan universitas favorit: hukum, kedokteran, ilmu komunikasi, HI, dan teknik informatika di tiga PTN terbesar. Jurusan dan PTN ini favorit karena berbagai alasan, tapi paling utamanya adalah gengsi, koneksi, dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan kelas menengah. Dalam hal ini, #ambisverse dilihat sebagai satu jalan pasti untuk sampai ke situ.
Riz mengaku telah meninggalkan akun ambisverse-nya setelah diterima di jurusan impian. Ia bilang sedang mencari kerja sampingan untuk “mengurangi beban orangtua”. Tentunya langkah Riz ini agak berbeda dengan teman-teman ambisnya yang menjadi ‘magang mania’ setelah melewati fase lulus dan masuk PTN.
Ya begitulah beratnya langkah anak muda sekarang untuk mengamankan posisi masa depan mereka.