Lewat berita yang tak mengagetkan siapapun, Kompas melaporkan 1,3 juta penduduk Jakarta tak memiliki rumah. Itu baru Jakarta–bagaimana dengan anak-anak muda? Mereka juga kesulitan membeli rumah–dari karena belum menemukan rumah yang tepat (28,63%), belum mampu membeli rumah (24,92%), belum mampu membayar DP (17,27%), belum mampu membayar KPR (10,49%), dan masih punya cicilan lain yang harus dibayarkan.
Alasan-alasan klasik ini tentunya diakibatkan oleh pertumbuhan gaji yang terlalu lambat, sementara harga tanah dan rumah terus naik secara agresif karena kurangnya suplai. Solusi yang terus diambil oleh pekerja Jakarta saat ini adalah membeli rumah di kota-kota satelit. Tapi dengan semakin meningkatnya permintaan, rumah-rumah tersebut juga semakin sulit dijangkau. Pekerja muda Jakarta akhirnya hanya punya dua pilihan: mengontrak selamanya atau menunggu warisan dari orangtua.
Fenomena tak punya rumah ini disebut sebagai housing backlog. Dalam penelitian berjudul Demographic Changes as One of The Factors for the Emergence of Self-Help Co-residence (CRS), Jakarta Property Institute memprediksikan housing backlog akan naik menjadi 3,5x lipat di tahun 2045 apabila pemerintah tidak melakukan intervensi serius.
Harga rumah Jakarta dan kota-kota sekitarnya terus naik seiring dengan semakin sedikitnya jumlah tanah dan tingginya minat. JPI mencatat kenaikan rumah per meter persegi Jakarta selama 10 tahun terakhir dari 2010-2020 adalah 75,3%. Namun, kenaikan paling drastis terlihat di kota-kota penyangga Jakarta, yang kenaikan per meter perseginya di rentang waktu yang sama adalah 125,61%
JPI menunjukkan kelangkaan tanah diikuti dengan kemiskinan adalah faktor utama yang membuat housing backlog semakin parah. Laporan yang sama juga menunjukkan masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan di bawah 30% pendapatan mereka untuk rumah. Area urban seperti Jakarta sempat menghabiskan 30% pendapatan untuk rumah di tahun 2015-2017, tapi turun di tahun-tahun setelahnya. Pengeluaran masyarakat desa justru jauh lebih rendah dari itu. Artinya, kebijakan pemerintah yang menerapkan harga rumah dan mekanisme cicilan masih jauh dari gapaian.
Intervensi perlu dilakukan dari sisi pasokan dan permintaan. Dari sisi pasokan, pemerintah mencanangkan program 1 juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan rumah subsidi DP 0 rupiah untuk masyarakat DKI Jakarta. Untuk rencana ini, awalnya BUMD akan membangun 14 ribu unit perumahan bersubsidi, dan 218.214 unit lewat mekanisme Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) serta mekanisme pasar.
Namun, angka ini diturunkan menjadi hanya 9.081 unit dan yang sudah berdiri hanya 2.322 unit. Pandemi covid-19 dituduh sebagai biang keladinya, tapi ia tidak menjelaskan mengapa Anies memotong target dari 200 ribu lebih ke angka 9 ribu. Memang penurunan target ini dilakukan supaya lebih realistis, tapi di saat yang bersamaan ini juga membuat housing backlog semakin parah.
Tak hanya itu, pemerintah DKI Jakarta juga mengubah target pembeli dari mereka yang berpenghasilan 4-7 juta menjadi maksimal 14,8 juta. Alasannya, mempertimbangkan kelancaran kredit dan harga rumah tertinggi di Jakarta. Kebijakan ini justru berisiko membuat masyarakat kelas menengah-bawah semakin kesulitan untuk mendapatkan rumah.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat? Tentunya kita bisa melihat ke kebijakan rumah susun yang diberlakukan oleh Singapura. Rumah susun yang dibangun oleh Housing and Development Board (HDB) dibangun secara serius dan merefleksikan standar hidup masyarakat yang terus naik. Rumah susun mereka tak hanya berupa apartemen 1-2 kamar yang umum ditemui di Indonesia, tapi berupa apartemen dengan 2-5 kamar lengkap dengan balkon dan jendela luas. Sehingga rumah susun ini bisa ditempati oleh keluarga, dari nenek-kakek, orangtua, hingga anak.
Sayangnya, masyarakat Indonesia masih memandang rumah susun dengan sebelah mata. Bahkan penduduk Jakarta yang paling terurbanisasi masih menganggap rusun dan apartemen hanya sebagai instrumen investasi, alih-alih tempat tinggal yang sah dan nyaman. Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka–toh memang dari awal developer apartemen dan rusun selalu mengiklankan apartemen sebagai investasi dan tempat tinggal yang cocok untuk orang-orang lajang saja. Padahal, yang paling membutuhkan rumah dengan harga terjangkau adalah keluarga.
Selama pemerintah, terutama pemerintah DKI Jakarta tak serius menanggapi masalah perumahan dan melimpahkan semuanya ke kota-kota penyangga, bukan tak mungkin housing backlog akan lebih besar dari prediksi. Satu-satunya solusi yang masuk akal, setidaknya untuk Jakarta, adalah dengan menggalakkan pembuatan rumah susun atau apartemen terjangkau dan berkualitas di dalam kota. Sama seperti Singapura dan proyek HDB-nya.