Kolom Mesin Waktu: Anak Setun, dari Gang Serbaada

Kolom Mesin Waktu:

Anak Setun, dari Gang Serbaada


 

Oleh: Hikmat Darmawan


 

Di kafe 7Sleepers Blok S, persis sebelah toko buku saya dan teman-teman, Blooks, malam itu, terdengar suara Jager menyanyikan Beast of Burden dan Angie. Paling berkesan dari lagu Beast of Burden buat saya adalah kenangan tentang Avi Basuki dan M97, sekitar tahun 1996-1997. Waktu itu, Avi Basuki adalah salah satu fotomodel yang ngetop dari generasi muda waktu itu. Dan brand yang terbentuk adalah: Avi seorang model yang cerdas, intelektual, di samping bertampang “mahal”. 

 

Avi datang ke studio, all cool y’all, tak banyak bicara. Saya waktu itu bagian program, mendampingi penyiar pagi, yakni ET. M 97 FM adalah grup Prambors, dan menurut standar grup Prambors, siaran pagi (pk. 06.00 hingga 10.00) adalah acara utama yang diproyeksikan banyak iklan. Tapi, M 97 waktu itu radio baru, ditabal jadi “radio lelaki” atau M(ale) Radio. Stasiun radio paling sukses di grup Prambors saat itu, dari segi pendapatan iklan, adalah Female Radio

 

Format identitas musik bagi M 97 FM adalah classic rock. Sebagai pembanding, format musik bagi Female Radio adalah pop. Sedang Prambors FM sejak semula adalah radio hits, atau radio Top 40, yang berporos pada tangga 40 lagu paling popular setiap minggu. Sedangkan radio Delta FM waktu itu adalah radio oldies yang memutar lagu-lagu pop hit era 1960-an hingga 1980-an. Belakangan, pada 2000-an, radio Delta FM berubah format jadi radio adult contemporary, yang sebetulnya lebih banyak memutar lagu-lagu pop Jazzy era 1980-an macam lagu-lagu George Benson atau Al Jarreau. Alasannya, perubahan demografi pendengar, hingga yang setara dengan “oldies” pada 2000-an adalah lagu-lagu 1980-an ke pertengahan 1990-an. Saya sempat jadi merasa tua, saat itu. 

 

Pada 2000-an, musik pop kontemporer 1980-an selalu terasa masih seperti “kemarin” buat saya, bukan masa lampau yang jauh, bukan oldies. Sebab pada saat saya di era 1980-an, saya lebih suka mendengarkan musik lawas 1960-an hingga 1970-an. Ini adalah musik para paman dan sepupu saya yang telah SMA atau kuliah. Ada beberapa sepupu dari pihak ibu saya dulu, anak-anak Uwak Nanu, seorang pejabat di Setneg, tinggal di sebuah gang di Jalan Radio Dalam, Jakarta. Ini gang serbaada. 

 

Setiap libur sekolah atau bulan Ramadhan, saya menginap di rumah sepupu. Paling sering, menginap di rumah sepupu dari Ayah, keluarga paling kaya di garis keturunan Ayah. Di jalan Galuh, dekat Senopati. Tak jauh dari situ, ada rumah Guruh Soekarno Putra. Tapi sesekali ya menginap di rumah sepupu dari ibu. 

 

Rumah mereka di dalam sebuah gang. Sebetulnya ada beberapa rumah dalam gang itu ditempati keluarga dan sepupu dari garis ibu. Saya merasa itu salah satu gang serbaada yang menyenangkan. Tidak kumuh, cukup banyak keluarga kelas menengah yang rumah mereka punya banyak kamar. Uwak saya menikah untuk kedua kali, yang kedua itu pada sepupunya. Anak dari istri pertama ada tiga orang. 

 

Yang paling tua, Teh Neneng, karena perempuan saya tak terlalu dekat. Yang kedua, Aa Apep. Yang ketiga, Aa Dedi. Kalau tak salah, yang sulung telah kuliah atau pengangguran saja. Yang ketiga, SMA. Di salah satu kamar mereka, ada stiker lidah besar dan merah seakan menyala agresif: lambang band The Rolling Stones. Di jendela, bungkus rokok kretek yang telah habis isi ditumpuk seakan sebuah dekorasi kemudaan. Banyak kaset rock berserakan. Radio stereo sudah hampir rusak. Poster-poster Jagger dan apa lagi, saya lupa. Keduanya kerempeng, mirip anak-anak Slank di Jalan Potlot pada 1990-an. 

 

Keduanya menyebut diri anak Setun. Fans The Rolling Stones. Merokok di kamar, slackers, mungkin punya pacar tapi saya terlalu nerd untuk perduli soal begituan. Kadang dimarahi Uwak juga. Suara Uwak lantang dan aksennya Sunda pisan, dan terkesan menakutkan karena badannya besar. Di samping sebagai pejabat bergaji bagus, Uwak saya juga kaya karena bisnis percetakan dengan klien ya instansi negara. Bikin kalender adalah salah satu omset besar tahunan. Sebetulnya, masa itu, setun atau nyetun juga sering untuk menyebut aktivitas menghisap ganja atau mengonsumsi Narkoba. Para sepupu saya itu anak Setun yang manis-manis. 

 

Uwak mengoleksi komik wayang karya RA. Kosasih, Oerip, dsb. terbitan Maranatha, untuk mewariskan budaya Sunda kepada anak-anaknya. Di rumah, ia gemar menyetel kaset degung Sunda keras-keras. Eh, anak-anaknya malah nyetun. Anak-anak Setun ini tentu saja gemar bergadang. Ngobrol ngalor ngidul di kamar atau di gang yang padat dengan anak-anak remaja yang sedang libur atau kalaupun sedang hari sekolah bakal nongkrong karena malas mengerjakan Pe-Er (Pekerjaan Rumah). 

 

Suatu hari, Aa Apep memeragakan gerakan Kungfu dan meminta saya sebagai alat peraga. Tendangan berputar. Di luar hitungannya, tendangan itu mendarat di mata saya yang berkaca mata lebih keras dari perkiraan. Atau tidak? Saya yang kaget karena tiba-tiba dunia gelap dan ada cahaya seperti kilasan kilat di dalam kepala. Terjengkang dan ditolong. Tak apa. Kalau tak tertendang begini, saya tak pernah mempraktikkan khayalan berkungfu saya. Tertendang begitu tak enak. Apalagi di depan orang-orang di gang. Tak enak jadi pusat perhatian.  

 

Di gang itu, jika malam Ramadhan dan malam-malam lebaran, ramai sekali oleh remaja dan anak-anak. Kadang kalau lewat, sekelompok anak melempar petasan banting ke kaki saya. Petasan itu bulatan berbungkus kertas putih, yang meledak setiap kali dibanting ke tanah atau lantai. Ada juga petasan cabe, serenceng petasan kecil dan ledakan kecil tapi pedas. Paling mewah, petasan branwir (apa ini ejaan yang benar, entah. Saya hanya mendasarkan pada kenangan). Bentuknya seperti roket kecil. 

 

Suatu ketika, malam hari sehabis tarawih, ada yang menyalakan petasan roket itu, yang seharusnya diarahkan ke langit. Saat sumbu sudah menyala, petasan roket itu oleng, jatuh, dan meluncur sepanjang gang mencipta kegaduhan dan akhirnya meledak di bawah sebuah bangku yang sedang diduduki seorang bapak-bapak. 

 

Di gang itu pula, saya terasah sebagai penonton film. Salah satu rumah rupanya baru beli alat pemutar video. Kabar menyebar dengan cepat ke seantero gang yang cukup panjang dan berliku, bagai api merambat di rerumputan kering di padang sabana. Begitulah. Setiap kali Pak Video putar video sewaan di rumahnya, anak-anak gang segera tahu. Kami bergegas ke rumah itu, lalu dari luar pagar melihat ke dalam rumah. Jendela Pak Video tepat menghadap televisi. 

 

Entah berapa film sempat saya numpang tonton dari luar pagar, sebelum akhirnya keluarga tersebut terganggu juga dan menutup hordeng jendela setiap mereka memutar video. Yang paling berkesan, saya menonton di luar pagar film Arwah Komersil dalam Kampus (1977).

 

Saat para sepupu saya sekolah atau kuliah, Uwak kerja di kantor, para pembantu sibuk memasak menyiapkan makan siang dan habis itu mencuci dan menyeterika pakaian, biasanya ibu saya kalau sedang ikut menginap di sana juga membantu para pembantu, adalah saat paling enak saya mengobrak-abrik rumah Uwak dan kamar Aa Apep. Kaset-kaset Stones terpapar dan terserak. Di radio, lagu Stones paling sering diputar adalah Angie, begitu juga di kaset-kaset kompilasi hard rock di Indonesia. Lagu lain yang popular waktu itu, (I Can’t Get No) Satisfaction dan Back Street Girl. Saya waktu itu kepincut lagu Memory Motel.

 

Jagger merintih dalam Angie, menimpa gitar akustik yang melodi dan kunci-kuncinya sederhana tapi dipetik serta dikocok penuh emosi serta piano yang menyusup-nyusup terasa prigel menyodokkan kesedihan kekasih berwatak ngabers yang malang dan miskin. Sodetan sambal Charlie Watts 

 

With no lovin’ in our souls

And no money in our coats

You can’t say we satisfied

 

Tapi, rintihan Jagger di Memory Motel yang terutama merobek hati remaja saya. Sewaktu remaja sebetulnya saya lebih robek hati karena piano, keyboard, dan gitar listrik di lagu itu. Beberapa tahun kemudian, saat patah hati di 1990-an dan 2000-an, benak saya tertancap sebaris lirik di lagu itu.

 

She got a mind on her own, and she used it well

 

Nasib saya selalu mencintai perempuan independen. Ternyata Ngab Jagger (dan backing vocal Keith Richards) sangat mampu mewakili perasaan saya yang nerd ini saat patah hati. Mereka berdua merintih, tapi kok ya tetap gagah ala anak band begitu, ya. Saat remaja, saya selalu minder pada orang-orang kaya berkulit halus putih dan pada anak-anak band rock yang seakan punya bawaan orok badass. Tapi ”anak-anak band” itu kok kalau bikin lagu patah hati ya lebih patah dari orang kebanyakan. 

 

Waktu Avi berkunjung itu, saya agak salting. Avi mendengarkan Setun yang saya tawarkan, Beast of Burden, manggut-manggut cool dan berkomentar, “enak juga”. Tak berani saya memodus lebih jauh. Out of my league, Man. Tapi satu ruangan siar dengan Avi sudah cukup jadi capaian berkesan dalam hidup saya. Sebagai pendamping anchor saya harus siaga dengan kumpulan pertanyaan dan bahan percakapan agar siaran tetap hidup. Avi waktu itu bisa bercakap sangat hidup saat mic menyala. Tapi ia sangat cool alias dingin, atau persisnya tampak asik dalam pikiran sendiri, saat mic mati. Walau, ia tampak atentif dengan usulan-usulan si anchor dan saya saat itu. 

 

Pada saat itu, Aa Apep dan Aa Dedy dari gang serbaada kitaran Jalan Radio Dalam semasa remaja saya telah bekerja sebagai pegawai negeri di Setneg. Tradisi keluarga, rupanya. Tak ada tampang Setun tersisa di mereka. Pada paruh kedua 1960-an, Mick Jagger di puncak kemudaannya, menyanyikan sebuah ledekan pada kaum tua, dalam Mother’s Little Helper:

 

What a drag it is getting old

 

Sedangkan kini, Mick Jagger sedang merampungkan tur di stadium-stadiun Amerika bersama The Rolling Stones di usia 81. Ia juga menyiratkan akan mengeluarkan album baru. 

 

Menjadi tua memang tak selalu harus menjadi tugu: diam, beku, kaku, dan mungkin sedikit angker.***