Angka Kelahiran Menurun: Ancaman atau Kesempatan?
“Angka kelahiran di Indonesia menurun”, dan Kepala BKKBN RI Hasto Wardoyo menyatakan target baru: 'Satu pasangan, satu anak perempuan,' seperti yang dilaporkan oleh Kompas.com. Slogan “dua anak cukup” dalam program keluarga berencana kini mengalami perubahan dengan penekanan pada kelahiran anak perempuan.
Berita ini menuai berbagai respon dari masyarakat. Berita-berita clickbait membuat masyarakat terkecoh. Pernyataan ini diartikan sebagai keharusan pasangan memiliki anak terutama perempuan. Ini memantik kritik dari netizen di Instagram, contohnya: “Melahirkan anak terus tapi tidak dibarengi dengan kesejahteraan.”
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Kompas.com kepada Hasto, jumlah anak perempuan yang dimaksud bukanlah jumlah mutlak dari pasangan, melainkan jumlah rata-rata dari sebuah kependudukan. “Kalau tetangga kiri saya seorang perempuan punya dua anak perempuan, dan kanan saya seorang perempuan tanpa anak perempuan tidak apa-apa. Karena kalau dirata-rata tetap jadi satu”
Meskipun angka kelahiran di Indonesia sudah ideal menurut Hasto, namun angka kelahiran setiap provinsi tidak merata terutama Jawa dan Bali yang mengalami tren penurunan. Walhasil, dengan meningkatnya anak perempuan dalam kependudukan, mereka dapat melahirkan anak kembali di masa depan sehingga angka kelahiran bisa meningkat.
Dinamika Populasi di Nusantara
Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan kualitas penduduk dapat menyebabkan berbagai masalah seperti kesehatan, pengangguran, kemiskinan, rendahnya kesejahteraan masyarakat, dan hambatan pertumbuhan ekonomi negara. Kepadatan penduduk dan tingginya kemiskinan di Indonesia terutama pulau Jawa telah menjadi masalah serius sejak pemerintahan Kolonial Belanda. Keterbatasan data sensus pada masa itu membuat tidak tersedianya laporan resmi tentang jumlah penduduk 1920-1961.
Namun menurut Colombijn (2010) dalam buku berjudul Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia, 1930-1960 pertumbuhan populasi wilayah kota meningkat pesat, mencapai 5%-6% antara 1930 dan 1961. Untuk mengatasi kepadatan penduduk di kota, pemerintah Kolonial akhirnya mengeluarkan kebijakan etis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan melalui pendidikan, irigasi dan transmigrasi yang dimulai pada abad ke-20.
Program transmigrasi terus berjalan hingga masa pemerintahan Soekarno. Kemudian pada 1950-an mulai dikenalkannya alat Kontrasepsi melalui program keluarga berencana. Namun menurut presiden, upaya penanganan masalah kependudukan tidak tepat dilakukan jika menggunakan alat kontrasepsi sebagai pembatasan kelahiran. Penggunaan kontrasepsi hanya dapat disetujui untuk mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu (Isnaini, 2018).
Kemudian semakin tingginya angka kematian ibu dan anak memicu tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pembatasan kelahiran dengan program KB hingga dibentuklah PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pada 1957. Tindak lanjut pemerintah dengan membentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menggantikan LKBN dan menjadikan KB sebagai program nasional bagian dari pembangunan lima tahun pertama.
Secara resmi, program KB mulai dilaksanakan pada 1970 berdasarkan struktur organisasi BKKBN yang dibentuk atas dasar keputusan Presiden No. 8 tahun 1970. Tujuan utama program KB adalah meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak dan keluarga, serta meningkatkan taraf kehidupan rakyat dengan cara menurunkan angka kelahiran sehingga pertambahan penduduk tidak melebihi kemampuan produksi.
Kita sering mendengarkan istilah banyak anak, banyak rejeki. Budaya tradisional yang memandang banyak anak sebagai sumber rezeki dan aset keluarga untuk menjadi tenaga kerja membantu keluarga serta keterbatasan akses terhadap kontrasepsi terutama di daerah pedesaan, mendukung pertumbuhan populasi yang cepat. Pada 1970-an, angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) di Indonesia mencapai sekitar 5,6% atau 5-6 anak per wanita (BPS, 2010)
Persentase kelahiran total terus menurun setelah program KB dijalankan menjadi 2.3% periode 1972-an hingga 1980-an, satu perempuan melahirkan empat anak (Hull, 1987). Meski penurunan terjadi secara signifikan, namun Indonesia tetap menempati posisi keempat sebagai negara dengan jumlah penduduk paling banyak di dunia hingga 2023 dengan jumlah 278 juta jiwa.
Namun setelah masyarakat mengenal KB, Jumlah penggunaan alat kontrasepsi dikalangan orang dewasa usia produktif meningkat dari hanya 18,3% pada 1976 menjadi 61,4% pada 2007. Semakin mahalnya biaya hidup dari tahun ke tahun membuat seseorang mulai berfikir tentang kehidupan masa depan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2023) persentase angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan menjadi 2.18% pada 2020.
Era Reformasi 1998 telah membawa perubahan dan pergeseran norma mengenai peran gender, pernikahan dan keluarga ke arah yang lebih demokratis (Putri dkk, 2020).
Semakin terbukanya akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan berbanding lurus dengan proporsi perempuan muda yang menunda perkawinan dan berstatus single. Seperti pada awal 2024, terjadi fenomena menunda pernikahan di kalangan wanita lajang. Di Indonesia, penurunan jumlah orang yang menikah mencapai angka 2 juta kasus (Yashilva, 2024).
Menurut BPS yang dikutip dari dataindonesia.id, persentase pemuda yang menunda pernikahan meningkat pada 2022 sebesar 64,56% yang sebelumnya hanya 51,98% pada 2011. Ketika perempuan mulai menunda untuk menikah pada usia matang artinya hasrat seks dan memproduksi keturunan dengan pasangan dalam rumah tangga bagi perempuan mulai bergeser (Musahwi dkk, 2022).
Sebagian wanita lajang memilih untuk tetap melajang atau waithood karena takut membuat sebuah komitmen dalam pernikahan. Mereka takut dalam belenggu patriarki kaum laki-laki yang banyak tidak setuju jika pasangannya bekerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nurviana dan Wiwin (2021), bayangan akan perceraian karena pengalaman dari orang-orang terdekat, serta tidak adanya jaminan kebahagiaan setelah pernikahan menjadi pandangan yang dominan untuk menunda pernikahan.
Faktor selanjutnya, ancaman menjadi sandwich generation memicu fenomena waithood. Perempuan yang terlahir dari keluarga besar seringkali dihadapkan pada pilihan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini membuat perempuan lajang lebih fokus mencari uang demi menghidupi keluarga besarnya. Perempuan ini bertanggung jawab atas masa depan adik – adiknya, membayar semua tagihan sekolah, keperluan rumah tangga (tagihan listrik, air, makan) dan lainnya (Musahwi dkk, 2022).
Menurut data Susenas yang dikutip oleh datanesia menyebutkan, jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga termasuk cerai atau janda sebanyak 9.27% pada 2022 cenderung meningkat sejak 2012 yang hanya sebesar 8.88%. Artinya semakin banyak perempuan yang lebih mementingkan pekerjaan karena desakan ekonomi daripada hanya duduk manis dirumah mengandalkan laki-laki dalam mencari nafkah.
Dampak dari perubahan ekonomi negara yang kian menurun menyebabkan banyak masyarakat berpikir dua kali jika ingin memiliki anak. Kesenjangan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan memiliki dampak pada kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dari databoks, pada Maret 2024 ada 25,22 juta penduduk miskin di Indonesia atau 9,03% dari total penduduk secara nasional. Kendati angkanya tinggi, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sudah berkurang sekitar 680 ribu orang dibanding Maret tahun lalu.
Ada tiga penyebab kemiskinan utama adalah keterbelakangan, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk bersaing dengan negara-negara maju. Kemudian ketidaksempurnaan pasar, yang menghambat kemampuan masyarakat untuk memperoleh kebutuhan dasar dengan harga terjangkau. Serta kurangnya modal, yang mengakibatkan produktivitas yang rendah. Pendapatan yang diterima rendah akibat produktivitas yang rendah pula (Salsabila dkk, 2024)
Menurut Anwar (2020) dalam penelitiannya yang berjudul “Jumlah Anak dan Partisipasi Kerja Perempuan Menikah”, semakin banyak jumlah bayi dalam keluarga maka wanita lebih memilih mengurus anak daripada bekerja. Sedangkan, negara tidak menjamin kesejahteraan bagi masyarakat yang memiliki banyak anak. Kehidupan rumah tangga akan menjadi sulit jika hanya mengandalkan satu pencari nafkah. Pada akhirnya keinginan pasangan memiliki anak akan menurun di waktu mendatang.
Faktor lain yang mempengaruhi adanya isu yang mengkhawatirkan di Indonesia adalah fenomena pasangan yang enggan memiliki keturunan atau childfree. Faktor ketahanan ekonomi menjadi salah satu alasan dalam fenomena ini. Konsep childfree bisa mengurangi beberapa tekanan seperti tingginya biaya hidup, perubahan iklim hingga krisis pangan.
Menurut penelitian Jenuri, dkk (2022), sebanyak 41,3% responden memilih pro terhadap fenomena childfree. Mereka menyatakan childfree merupakan pilihan setiap individu (khawatir dengan pendidikan, finansial, dan kehidupan masa depan) serta dapat mengurangi penduduk bumi agar sumber daya tidak habis. Selain itu, memiliki anak bukan hal yang menjadi sebuah parameter kebahagian dari sebuah pernikahan.
Faktor ekonomi pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan sebuah keluarga, semakin banyak populasi manusia maka kesejahteraan akan menurun. Data BPS yang dikutip dari Datanesia.id menunjukkan, tingkat kesejahteraan masyarakat menurun dari segi pengeluaran bukan makanan sebesar 49,86% pada 2022 yang sebelumnya 51,32% pada 2016. Hal ini menunjukkan semakin terbatasnya ruang finansial dalam rumah tangga untuk berbelanja. Kualitas hidup berkurang karena sebagian besar pengeluaran habis untuk belanja makanan. Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya jadi menurun.
Meski Kepala BKKBN, Hasto, menyatakan bahwa angka kelahiran di Indonesia menurun, Guru Besar Kependudukan UI, Kemal N, tidak sepakat. Menurut Kemal, krisis kependudukan belum terjadi karena angka kelahiran sebesar 2,1% masih ideal untuk menjaga regenerasi penduduk. Selain itu, Indonesia masih memiliki populasi sekitar 319 juta.
Pemimpin negara melihat penurunan populasi sebagai ancaman ekonomi, sedangkan pakar kependudukan memandangnya sebagai peluang. Penurunan angka kelahiran bisa menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk memperbaiki ekonomi, sarana, dan kesejahteraan warga.
Di kota-kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya, masih banyak rumah kumuh di pinggir jalan dan bantaran sungai. Jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan yang tinggi dianggap menambah beban pembangunan, memperkecil pendapatan per kapita, dan menimbulkan masalah ketenagakerjaan dengan bertambahnya jumlah penduduk (Sembiring dkk, 2023).
Pengamat ekonomi Ahmad Erani Yustika menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada 2011 sebesar 6,5% tidak berdampak positif pada kesejahteraan rakyat karena ketimpangan pendapatan dan penguasaan lahan oleh investor. “Private dan etatisme ini menunjukkan perekonomian bangsa menuju ke arah liberalisasi,”
Untuk mengatasi masalah ini, fokus seharusnya pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan bukan hanya pada angka kelahiran. Transmigrasi dan pemindahan Ibu Kota Negara ke lokasi baru diharapkan dapat membantu mengurai kepadatan penduduk di Jakarta dan kota-kota lainnya, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Pada dasarnya, ada dua cara yang dapat dilakukan suatu negara untuk mengatasi penurunan angka kelahiran, pertama adalah membuat populasi tetap sehat dan bisa bekerja lebih lama, atau yang kedua: imigrasi dalam skala besar. Namun Imigrasi di Indonesia dapat diganti dengan program transmigrasi karena masih banyak penduduk yang belum berdaya, sehingga dapat mengurangi ketimpangan populasi.
Pendapat yang sama, pemerintah dapat mengadopsi solusi untuk masalah ini yang bukan pada angka kelahiran saja, melainkan perbaikan sumber daya manusia dan transmigrasi untuk mengatasi ketimpangan jumlah penduduk, seperti yang dilakukan pada masa Kolonial Belanda. Pemindahan ibu kota negara diharapkan dapat mengurangi kepadatan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.