Mungkin sudah sering kita mendengar Medan dengan kota sejuta masalahnya, tapi kali ini sepertinya perlu memuji angkotnya yg menggapai semua sisi kota
Ditengah merebaknya ojek daring, angkutan kota atau yg dikenal angkot ini semakin berkurang eksistensinya. Saya ingat ketika masih menduduki bangku SMA, tidak jarang ada keributan antara supir angkot dan ojek daring. Namun tanpa ojek daring pun, angkot masih suka ribut di jalan. Setiap harinya, suara klakson angkot dan makian pengemudinya menggelegar di jalanan Medan. Para supir menyetir seolah jalanan punya mamak-bapaknya untuk saling kejar-kejaran sesama angkot untuk menyambar penumpang. Tak jarang ia berakhir dengan para supir saling baku hantam.
Kekacauan angkot Medan memang tidak ada duanya. Saya kira, angkot bakal mati dan mengikuti sudako yg perlahan hilang di kota sejuta ketua ini. Tetapi beberapa angkot trayeknya seperti mati segan hidup tak mau. Salah satunya adalah angkot Rahayu 124, angkot yang opung saya miliki. Ketika saya bertanya soal setoran yang diterima, beliau berkata semakin bertambah tahun, setoran yang ia terima kian berkurang. Sebelum tahun 2017, setoran bersih yang ia terima setiap harinya berjumlah 150 hingga 180 ribu rupiah. Angka ini mulai menipis di tahun 2016. Setoran bersih yang ia terima hanya berkisar 50-130 ribu rupiah saja.
Opung berujar supir yang pernah bekerja bersamanya mengeluhkan angkot kalah saing dengan ojek daring. Saking berkurangnya omset, opung terpaksa menjual angkotnya karena setoran yang masuk tidak sebanding dengan pengeluaran. Saya jadi teringat pengalaman tahun 2017 yang pernah ikut ‘narik’ sekali dengan angkot ini. Uang yang didapatkan seharian hanya bisa untuk bayar bensin, buat makan sih, tidak, hehe.
Saya kira, selain ojek daring, trayek angkot yang masih ada hanya bisa berharap ke penumpang anak sekolahan saja yang uang jajannya terbatas. Jadi hanya bisa menggunakan angkot yang masih ekonomis. Karena jumlah penumpang yang semakin sedikit, beberapa trayek perlahan mulai mati. Ambil contoh Rahayu 124, Rahayu 01, KPUM 05, KPUM 04, KPUM 59, KPUM 42 yang mulai tidak terlihat di jalanan.
Walau didera masalah, angkot masih berjuang mempertahankan eksistensinya. Masih banyak angkot yang melalang buana di jalanan penuh makian Medan. Karena ia masih primadona transportasi publik yang bisa menggapai setiap sudut kota ini. Dari selatan ke tara kota ada angkot Morina 81 dan 122 yang menjadi pilihan utama menuju pintu keluar kota (Terminal Amplas) dan menuju pelabuhan Belawan yang terletak di utara kota. Ada juga Nitra 30, Rahayu 135, serta KPUM 70 dan 78 yang melintas dari utara ke selatan dengan rute yang berbeda-beda.
Tidak seperti moda transportasi darat lain yg memiliki halte untuk tempat pemberhentiannya, angkot ini bebas mau dimana saja berhenti tergantung permintaan dari penumpangnya. Walau terkadang berhentinya di tengah jalan yg melatih penumpang untuk belajar menghindari senggolan dari pengendara lain. Begitulah angkot, membuat jengkel tapi masih diperlukan karena tarifnya ramah kantong.
Pemerintah nampaknya sadar akan kebutuhan masyarakat akan transportasi publik yang bisa diandalkan. Angkot, sayangnya, tak bisa menjawab kebutuhan itu. Waktu datangnya tak menentu, supirnya ugal-ugalan, jarak tempuhnya kacau, dan keamanannya dipertanyakan. Oleh karena itu, dibuatlah Trans Metro Deli, proyek rancangan Teman Bus Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Bus ini dijuluki ‘bus tayo’ yang menjangkau setiap sisi jalan protokol dan pusat keramaian Medan. TEMAN BUS Medan atau Trans Metro Deli memiliki sebanyak 72 unit armada dengan rute layanan di 5 Koridor yang setiap rutenya dapat kita lihat pada app Teman Bus. Sejak peluncurannya, bus ini sudah mengangkut lebih dari 80.000 penumpang dalam sebulan sejak diluncurkannya. Dari segi kenyamanan, harga tiket—Rp 4.300 sekali naik tapi gratis untuk pelajar, difabel, dan lansia—dan ketepatan waktu, jelas bus tayo unggul.
Kehadiran bus tayo ini jelas membuat khawatir para supir angkot. Salah satunya opung saya yang bekerja sebagai supir angkot. Namun ia berpikir angkot masih punya kesempatan untuk bertahan. Di pagi hari, penumpang masih banyak yang meminati angkot karena bus tayo dianggap lambat.
Itulah angkot Medan. Ia dibenci tapi tetap ditumpangi. Namun dengan bertambahnya opsi transportasi masyarakat, akankah angkot bisa terus bertahan atau malah mengikuti jejak sudako?
Saya rasa angkot tetap perlu ada karena beberapa sudut kota tidak dapat dijangkau oleh bus tayo. Harapannya angkot bisa menjadi seperti feeder untuk setiap daerah yang tidak dapat dijangkau oleh bus tayo ini.