ANTRAKS: PENYAKIT YANG BISA HIDUP 70 TAHUN, THE NEXT COVID?
Beberapa minggu ini berseliweran berita mengenai penyakit antraks. Sebelumnya, berita yang cukup viral adalah penyakit COVID 19, lumpy skin disease, dan penyakit kuku dan mulut. Namun, penyakit terakhir hanya viral di kalangan pengusaha peternakan, tentu saja tidak familiar di telinga pembaca karena hanya menyerang hewan ternak dan tidak bersifat zoonosis (menular ke manusia). Sebaliknya COVID 19 sudah pasti sangat Anda kenal bahkan melebihi seorang sahabat. Lalu apakah antraks itu? Apakah bisa menular ke manusia?
Pada bulan Mei 2023, Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi berita nasional dengan adanya kasus antraks yang mengakibatkan warga meninggal dunia. Awalnya terdapat sapi yang sakit kemudian mati. Sapi tersebut disembelih dan dagingnya dibagikan ke warga untuk dikonsumsi. Kasus kematian warga ini terjadi pada yang terlibat dalam proses penyembelihan sapi tersebut. Kasus serupa bukan hanya terjadi pada hewan sapi, tetapi juga pada kambing.
Peristiwa di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta sulit untuk dicegah karena adanya tradisi yang bernama brandu atau purak. Tradisi ini adalah upaya penyembelihan sapi dan kambing sakit untuk kemudian memperjualbelikan dagingnya ke tetangga dengan harga di bawah standar, dengan harapan untuk menutup sebagian kerugian yang dialami oleh peternak. Budaya yang masih melekat di dalam masyarakat Indonesia ini, termasuk masih banyaknya praktik menyembelih bukan di tempat pemotongan resmi, menjadi pendorong mudahnya penularan. Jangankan mengkonsumsi, menyentuh hewan yang terjangkit saja sangat berbahaya.
Salah satu terobosan yang akan dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah menyiapkan rancangan peraturan daerah untuk memberi ganti rugi atas hewan ternak yang mati akibat antraks dan penyakit lainnya, sehingga dapat memutus budaya brandu atau purak. Ini adalah langkah cerdas untuk mencegah kasus antraks menyebar lebih luas.
Mengurangi Imbas Antraks
Pengendalian penyakit antraks pada ternak lebih efektif dan efisien dengan melakukan edukasi pada peternak secara teratur. Hal ini juga merupakan kunci dalam upaya mengurangi kasus antraks pada manusia. Penularan penyakit ini memang tidak secepat dan semudah COVID, apalagi penyakit ini tidak menular antar manusia. Namun pemerintah sebaiknya memberi perlindungan bagi para pekerja di sektor ini terutama dalam aspek keselamatan kerja, sehingga para pelaku di bidang peternakan tidak panik dengan penyebaran penyakit ini.
Antraks merupakan penyakit infeksi yang penyebabnya adalah bakteri Bacillus anthracis yang membentuk spora, sehingga berbeda dengan COVID 19 yang disebabkan oleh virus, namun keduanya bersifat zoonosis. Sebenarnya penyakit ini sudah ada di belahan dunia lain, bahkan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian cukup tinggi. Antraks menyerang semua hewan herbivora berdarah panas seperti sapi, domba, kambing, unta, kuda, dan babi.
Mengapa harus menjadi perhatian khusus? Karena penyakit ini bersifat zoonosis, yang artinya menular ke manusia. Penularan ke manusia terjadi melalui paparan ke jaringan pada tubuh dari hewan terinfeksi, seperti memegang hewan yang sakit, mengkonsumsi dagingnya yang kurang matang, bahkan menghirup udara di dekat hewan yang terserang antraks. Kabar baiknya, antraks tidak dapat ditularkan dari manusia ke manusia.
Antraks pada manusia terbagi menjadi 4 jenis klinis, yaitu antraks kulit, antraks saluran pernafasan, antraks, paru-paru, dan antraks meningitis.
klasifikasikan antraks pada manusia berdasarkan gejala klinisnya menjadi 4 bentuk yaitu antraks kulit, antraks saluran pernafasan, antraks paru-paru, dan antraks meningitis. Antraks tipe kulit paling sering terjadi hingga mencapai 90% dari seluruh kejadian infeksi antraks di seluruh dunia. Berdasarkan penelitian, menyentuh hewan ternak di wilayah yang terjangkit antraks berisiko enam kali lebih rentan untuk tertular penyakit antraks tipe kulit dibandingkan dengan yang tidak menyentuh. Itulah mengapa petugas yang menangani antraks dapat dipastikan menggunakan alat pelindung diri. Bahkan manusia yang menangani daging hewan yang terjangkit antraks berisiko lima kali untuk tertular, karena adanya kontak langsung antara kulit atau membran mukosa dengan spora Bacillus anthracis. Gejala awal yang dirasakan manusia antara lain gatal, bengkak, dan luka khas gejala antraks. Bekas luka ini akan berwarna hitam seperti batu bara. Sebagai informasi, nama penyakit ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti batu bara.
Manusia dapat menghindari penularan penyakit ini dengan cara tidak mengonsumsi daging ternak yang sakit atau sudah mati. Menurut Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian, dr. Syamsul Ma'arif, daging yang sudah direbus masih tidak aman dan berbahaya untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, petugas peternakan, pelaku usaha ternak, maupun pihak yang berwenang juga harus melakukan pengecekan kesehatan berkala kepada hewan ternak, apalagi yang sedang mengalami sakit.
Hewan yang mengalami sakit antraks masih dapat diobati dengan memberikan dosis penisilin, tetrasiklin, dan preparate sulfa. Pemberian antibiotik harus dengan resep dokter hewan. Tindakan pengobatan sebaiknya dilanjutkan dengan vaksinasi setelah tenggang waktu tertentu, sebab apabila pengaruh obat belum hilang, maka berisiko mematikan endospora yang terkandung dalam vaksin, sehingga kinerja vaksin kurang maksimal.
Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Oleh karena itu, sangat penting untuk memutus rantai penularan antraks. Beberapa langkah penting pencegahan adalah melakukan pemusnahan secara masif terhadap bangkai ternak yang terkena antraks, alat kandang, sisa pakan, dan benda-benda yang telah mengalami kontak dengan hewan yang sakit. Caranya adalah dengan membakar dan menguburnya dalam-dalam serta melapisi bagian atas dari lubang kubur dengan batu kapur. Tempat penguburan ini harus ditandai supaya tidak ada manusia dan hewan ternaknya yang beraktivitas di area tersebut.
Mengapa? Karena penularan pada hewan dan manusia dapat terjadi karena menelan, masuk melalui luka pada kulit, bahkan menghirup spora. Spora antraks dapat bertahan selama puluhan tahun di benda, tanah, atau produk hewani seperti kulit kering, kulit olahan, dan wol. Spora ini bisa bertahan selama dua tahun dalam air, sepuluh tahun dalam susu, bahkan sampai 71 tahun pada benang sutera.