Antu Banyu: Urban Legend Penjaga Lingkungan di Sungai Musi

Antu Banyu: Urban Legend Penjaga Lingkungan di Sungai Musi

Sebelumnya, saya sudah pernah menulis soal Antu Banyu, yang masuk dalam hantu underrated. Meski Antu Banyu eksistensinya jauh di bawah kuntilanak, pocong, ataupun genderuwo, Antu Banyu punya andil konkret dalam menjaga kelestarian lingkungan di sungai Musi, Palembang. Antu Banyu sering jadi momok menakutkan, tapi nyatanya hantu ini punya dampak positif terselubung.

Cerita Soal Antu Banyu
Kemunculan Antu Banyu kabarnya berasal dari dongeng yang bercerita soal seorang pangeran berbau badan busuk. Bau amis dari si pangeran akan hilang kalau ia menikah dengan perempuan yang lahir tanpa ari-ari. 

Pucuk dicinta ulam pun tiba, tersiarlah kabar bahwa ada putri dari kerajaan tetangga yang lahir tanpa ari-ari. Keduanya pun dinikahkan. Selama prosesi pernikahan, sang putri merasa tak kuat dengan bau badan si pangeran. Ia pun nekat terjun ke sungai Musi daripada harus bersanding dengan pangeran. Di situlah, orang-orang percaya bahwa putri yang nyebur ke sungai tadi berubah jadi Antu Banyu yang berarti hantu air.

Tidak ada deskripsi konkret soal wujud Antu Banyu. Ada yang bilang wujudnya perempuan berambut panjang dengan wajah menyeramkan. Ada yang bilang ia berwajah rata. Tapi, ada pula yang bilang wujud Antu Banyu adalah seekor kera yang berbulu panjang dan berlendir. Satu versi lagi menyebutkan berwujud naga dengan rambut panjang. 

Simpang siur informasi ini membuat saya memutuskan untuk menelusuri banyak sumber dan berbicara langsung dengan orang-orang asli Palembang. Kebanyakan mengatakan bahwa Antu Banyu berwujud perempuan dengan rambut panjang. Sementara kisah tentang naga, dipercaya sebagai penunggu lain di sungai Musi.

Antu Banyu dipercayai memiliki keahlian untuk menggoyang-goyangkan kapal hingga berkamuflase menjadi sesuatu yang membuat orang ingin menyelam ke dalam sungai. Kemampuan ini digunakan Antu Banyu untuk mendapatkan mangsanya. Setelah tercebur, korban akan hilang berhari-hari dan akan diketemukan di tempat ia jatuh dengan kondisi kepala berlubang karena otak dan matanya dihisap oleh Antu Banyu.

Cerita rakyat ini sukses menakuti orang-orang, terutama anak-anak agar segera naik ke daratan sebelum Maghrib. Kalau bermain air sampai malam, mereka akan takut ditarik Antu Banyu. Dan juga, orang tuanya di rumah mungkin akan takut apabila anaknya masuk angin atau demam.

Kondisi Sungai Musi dan Peran Antu Banyu dalam Menjaga Lingkungan
Beriringan dengan itu, cerita soal Antu Banyu digunakan untuk mewanti-wanti orang agar menjaga kelestarian sungai Musi. Pasalnya, ia akan marah kalau sungai Musi dibuat kotor. Itu sebabnya ia akan muncul dengan bau busuk dan menggoyang-goyangkan perahu sampai penumpangnya jatuh untuk menunjukkan kemarahannya. 

Barangkali, bau tak sedap bukan hanya gara-gara Antu Banyu saja, tapi juga karena sampah dan limbah yang menumpuk di sekitaran sungai Musi. Pada 2019, anak-anak sungai Musi baunya jadi busuk bukan main. Sampah domestik seperti plastik, popok, sisa-sisa bekas makanan serta sampah industri dituding sebagai penyebab. Naasnya, warga Palembang di sekitaran sungai itu mengaku sudah terbiasa dengan tumpukan sampah. Mereka juga turut menjadikan sungai Musi sebagai tempat pembuangan sampah. Alhasil, sungai Musi berwarna hitam dan bau.

Pencemaran itu jelas membuat kerugian besar. Pada 2022, Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) mengatakan bahwa dampak dari pencemaran lingkungan membuat ikan sulit ditemui. Contoh ikan yang mulai punah yakni baung pisang, kapiat, patin, tapah dan ikan belida. Tingginya tingkat pencemaran bahan-bahan kimia memicu gangguan reproduksi ikan sehingga populasi mereka menurun. Kondisi juga ikut diperparah oleh banjir yang mengakibatkan sungai ini meluap.

Lebih jauh lagi, seperti yang sempat saya tuliskan, sungai bagaikan senjata namun bisa juga memakan tuannya, ia bisa jadi sarana untuk menjaga lingkungan, tapi juga bisa menjadi faktor yang memperparah perubahan iklim. Sungai dapat menjadi pusat transfer karbon yang berasal dari hilir ketika hujan asam alami—dengan karbon dioksida di dalamnya—larutan itu hanyut dalam mineral-mineral dalam batuan sungai. Proses ini menyebabkan perubahan karbon dioksida menjadi bikarbonat dalam air sungai, sehingga mengurangi karbon dioksida.

Cerita Antu Banyu memang jadi cerminan hubungan manusia dengan alam. Sekali lagi, bau busuk dan amis yang timbul juga disebabkan oleh kelakuan manusia yang sembrono kepada alam. Seharusnya hal ini tidak terjadi, mengingat manusia cenderung mampu menjaga etika untuk menjaga lingkungan saat beraktivitas. Transisi hari dari petang menuju malam alias Maghrib merupakan waktu yang sangat tidak efektif untuk manusia dalam beraktivitas. Manusia akan terburu-buru, manusia akan lalai, sehingga menimbulkan kecerobohan yang besar kemungkinan terjadi. Maka dari itu, waktu Maghrib sering jadi bahan untuk menakut-nakuti dimana Antu Banyu akan muncul dan menyerang.

Sebagai penutup, saya rasa, baik manusia dengan alam—bahkan hantu, jin dan sejenisnya—hidup berdampingan satu sama lain. Sudah semestinya manusia memperlakukan alam dengan baik. Toh, jika alam itu sehat walafiat, manusia—dan bagi yang percaya—hantu pun juga diuntungkan.