Apa-apa Yang Tersisa Setelah Jakarta Tenggelam Dan Garis Pantai Berpindah Ke Cinere

APA-APA YANG TERSISA SETELAH JAKARTA TENGGELAM DAN GARIS PANTAI BERPINDAH KE CINERE

TL;DR
Dalam dunia pasca-banjir yang menenggelamkan Jakarta dan memaksa garis pantai berpindah ke Cinere, Jayan dan sahabat lamanya, Opang berjuang mempertahankan hidup. Keduanya memanfaatkan berbagai cara untuk mencari makan, dari memancing hingga bertani. 

Setelah pada lima tahun lalu peristiwa “Malapetaka Banjir Rob” terjadi dan menenggelamkan Jakarta beserta berjuta-juta warganya dan garis pantai berpindah ke Depok lebih tepatnya ke Cinere, hubunganku dengan Opang membaik. Sebagai informasi saja, keluargaku dan keluarga Opang  nyaris kandas diterjang banjir. Beruntung, deras air itu berhenti di Cinere, sekitar 10 kilometer dari kawasan rumah kami. Namun, tidak ada jaminan kalau air itu tidak akan maju merangsek sampai ke rumah kami. Sampai saat itu tiba, kami harus tetap waspada. 

Sebenarnya bukan Jakarta saja yang tenggelam, tapi hampir semua pesisir di seluruh dunia mengalami hal yang sama. Menurut berita—siaran pers terakhir yang tayang adalah setahun lalu—rata-rata batas pantai di seluruh dunia maju sejauh 20 kilometer dari batasnya semula, seperti pasang air laut tapi jangkauannya keterlaluan.

Kejadiannya juga amat cepat. Seperti tsunami, tapi bukan tsunami. Tidak ada ombak setinggi puluhan meter. Hanya air yang secara bertahap meninggi dengan tempo cepat. Aku ingat, lima tahun lalu, saat banjir besar itu datang, limpahan air sudah sampai Tebet dalam satu malam saja. Orang-orang tentu saja mati karena paru-parunya kelewat basah terendam air asin saat nyenyak tidur.  Orang-orang yang bangun, mati di tengah suasana panik. Aku dengar dari temanku yang berhasil selamat pada saat banjir pertama, orang-orang menyalakan mobil dan motor masing-masing untuk melarikan diri. Hasilnya jelas: matilah mereka dikubur air di tengah kemacetan panjang. Sungguh lucu kalau diingat kembali.

Aku juga ingat betul peristiwa banjir pertama itu. Sore sebelum banjir, aku masih di kantor. Kantorku sebuah ruko di daerah Kebayoran Lama. Waktu itu tim kami, tim marketing, harus lembur karena ada reporting project yang belum beres dan ada klien yang tiba-tiba minta rapat pukul 8 malam.  Aku sudah ikhlas bakal dapat surat SP dan cuek saja mendengar si manajer brengsek itu mengancam bakal memberi nilai jelek di lembar evaluasi bulananku ketika aku dan dua teman lain langsung pulang ketika sudah pukul 17. Entah mengapa, kepalaku jadi pening kalau duduk di kantor terlalu lama, dan ternyata mangkir lembur itu keputusan yang tepat. Teman-temanku beserta si manajer yang menjamu klien sialan di tengah malam itu kini entah bagaimana kabarnya. Kuyakin, sih, pasti mati. Pokoknya, kalau di masa depan main kantor-kantoran ini akan jadi cara lazim untuk mencari nafkah lagi, aku nggak akan mau lembur. Bahaya konsekuensinya, bisa kebanjiran. Dan juga, melihat kembali peristiwa itu, aku jadi ingat meme yang isinya begini: You don't have to worry about your career, Earth is unlivable in 10 years. 

Aku juga ingat betul terlunta-lunta antara kabar bohong dan kabar sungguhan yang memberi tahu kalau sebaiknya kita jangan ke mana-mana saat banjir laknat itu datang. Banyak yang bilang kalau banjir tidak akan sampai ke Depok. Banyak yang tidak percaya dan memilih minggat ke tempat tinggi. Bogor dan Puncak jadi pilihan. Aku sendiri, karena Ayah sudah tua dan tidak memungkinkan sat set ke sana ke mari, memutuskan untuk tinggal di rumah saja, sambil berharap banjir gak akan sampai ke sini. Toh, kalau banjir sampai ke rumah juga, kupikir tidak apa-apa. Aku tahu orang-orang panik. Tapi buat apa? Kalau memang sudah waktunya mati, ya sudahlah. Aku ingat mantra ajaib yang selalu diucapkan si penulis fiksi Kurt Vonnegut setiap kemalangan datang: So it goes.

Ternyata aku tidak mati. Ayah juga tidak, setidaknya bukan karena banjir. Ayah meninggal beberapa bulan lalu karena ya memang sudah tua saja.  Sekarang, di rumah ini aku tinggal sendiri. 

Orang-orang memaknai banjir global ini bermacam-macam. Di beberapa teman terdekatku saja sudah banyak silang pendapat. Fajar Hanif bilang banjir ini musibah dari Gusti Allah sebab manusia terlampau sering melakukan apa-apa yang dilarang-Nya. Ananda Bintang bilang banjir ini karena eksploitasi alam besar-besaran hingga Bumi sudah tidak tahan lagi untuk menanggung sakitnya dibantai sana-sini dan pada titik klimaksnya Bumi bereaksi dengan menumpahkan air-airnya ke daratan tempat kita tinggal. Dzaky Abdullah bilang kalau banjir ini dosa yang harus ditanggung orang-orang kiri sebab mereka gagal melakukan revolusi dan terlalu asyik berdiri di menara gading sambil menunjukkan betapa inteleknya mereka, sebab menurutnya komunisme bisa mencegah semua ini terjadi. Pak Surono, ketua RW, bilang kalau hidup memang penuh kejutan, jadi kalau tiba-tiba umat manusia diserang banjir bandang dan daratan semakin sempit karenanya, ya jalani saja. Aku sendiri setuju dengan pendapat Pak Surono. 

***

Setiap pagi, aku menuntun kuda yang kucolong dari tempat pacuan di Cipayung. Kunamakan dia A18, sesuai tipe hape Samsungku waktu itu. Setiap pagi, setelah memberi makan A18, kusamper Opang. Ia juga punya kuda yang bersikeras tidak ia beri nama. Opang pikir menamai kuda cuma kerjaan bencong. Setiap pagi, kami berkuda keliling kota sambil melihat apa yang bisa diambil, apa yang bisa dilakukan, apa yang bisa dimakan, apa yang bisa dilaporkan ke Pak Surono, ketua RW.

Kota ini sudah jauh berbeda sekarang. Tidak ada yang tahu jumlah persisnya, tapi yang jelas warga kota ini sudah sedikit sekali. Sebagian besar mati tenggelam saat Malapetaka Rob masih di Jakarta. Sebagian lagi sudah meninggalkan kota ini. 

Salah satu sumber makanan kami ada di sekitaran garis pantai dan kali ini kami menuju ke sana. Setelah kuda kami parkir. Aku dan Opang mengeluarkan joran. Umpan pancing jadi urusan Opang. Mamahnya jago sekali membuat adonan tunggir ayam campur esens vanila (yang kami ambil dari bekas toko kue) yang bikin semua mahluk laut jadi lahap. Kadang kami dapat tongkol, tuna, dan kalau sedang tidak mujur ya cuma dapat krisi. Kalau sedang beruntung sekali, gurita atau belut bisa juga didapat.

Opang itu temanku yang paling dekat. Aku bahkan berani bilang kalau dia itu teman pertamaku, sebab ingatan terjauh yang bisa kuakses adalah ingatan saat kami masih kecil sekali bermain di kebun belimbing dan kaki Opang tertusuk paku. Kalau mau bukti lebih otentik lagi, di rumah Opang ada foto kami berdua saat masih pakai popok tertempel di buku album. 

Selama beberapa saat, pertemanan kami sempat renggang. Kupikir Opang menarik diri, atau bisa juga aku yang bermain terlalu jauh. Kerenggangan itu baru aku sadari saat masuk SMA. Komunikasi kami hanya selintas belaka. Biasanya cuma saat sholat jum'at atau saat Opang mengantar makanan ke rumahku. Momen pertemuan kami yang sedikit diperparah dengan topik obrolan yang sedikit juga. Baru tiga menit, topik sudah habis. Hening yang terasa canggung terasa amat menyiksa apalagi kami berdua juga sering tidak tahu bagaimana cara mengakhiri obrolan. Pada momen-momen itu aku berpikir: mungkin memang aku dan Opang sudah tidak sedekat dulu.

Sampai akhirnya bencana banjir brengsek itu terjadi, aku dan Opang benar-benar merasa asing. Bahkan, kalau mau berlebihan, hal itu bukan hanya terjadi antara aku dan Opang, tapi semua orang. Kita saling terasing, teralienasi. 

Teralienasi. Aku tidak mengerti ungkapan ini. Apakah teralienasi itu artinya menjadi seperti alien? Memang ada apa dengan alien? Aku tahu alienasi itu artinya merasa asing dan sendiri dan kesepian, tapi apakah alien benar-benar seperti itu? Kalau yang aku bayangkan, sih, alien itu makhluk yang 100 kali lebih advanced dari manusia dan punya beragam device canggih seperti flying saucer dan pistol laser. Di Slaughterhouse-V dan Lathe of Heaven dan The War of the World, tiga buku favoritku yang ada alien-aliennya, mereka diceritakan keren sekali. 

Sebelum banjir ini, tiap dari kita sibuk sendiri-sendiri. Kita hidup untuk kepentingan sendiri. Hidup adalah lomba lari 100 meter tapi garis finishnya adalah menjadi kaya sekaya-kayanya. Living those Indonesian dreams. Punya kerjaan yang menjanjikan kenyamanan finansial. Nikah dengan pasangan yang tampangnya bagus. Nyicil Brio atau Agya. Nyicil rumah di town house. Bikin anak dua. Umur kepala tiga resign dan buka toko kopi. Kita semua hanyut dalam cita-cita macam itu. 

Sekarang, hidup benar-benar berubah. Dan aku tidak tahu harus senang atau bagaimana, tapi yang jelas hubunganku dengan Opang kini membaik. 

Lokasi memancing favoritku dan Opang ada di atas gedung yang dulunya swalayan Informa. Kami naik ke rooftop-nya lalu melempar joran ke air. Tidak ada orang lagi selain kami. Biasanya orang-orang akan lebih suka melempar joran di kawasan Puri Cinere, tapi untuk ke sana perlu sampan dan kami tidak pandai berenang. Kadang ada saja orang yang menawarkan kami ikut, tapi kami selalu menolak.

Banyak cara mencari makan. Kalau kami memancing, beberapa teman di daerah Pasir Putih lebih memilih beternak. Di sana memang wilayah yang masih rimbun dan asri. Sapi dan kambing dibiarkan berkeliaran. Kadang ada juga kuda. Ayam dan kelinci juga diternak. Mereka juga selalu membawa senjata, berjaga-jaga kalau ada tikus hutan dan burung liar. Lumayan untuk mengganjal perut.

Di komplek kami, orang-orang juga bercocok tanam. Singkong dan Ubi adalah andalan karena mudah sekali merawatnya. Kangkung juga mudah bahkan di comberan pun tumbuh. Kalau cabai sedikit sulit, apalagi kalau musim panas. Terima kasih hama, kami cuma bisa memetik setengah dari apa yang sudah kita tanam.

Wilayah lain juga punya caranya masing-masing untuk bertahan hidup. Orang-orang di daerah Tapos berternak serangga seperti jangkrik dan belalang. Orang-orang Cinere, Beji, dan Cimanggis,  yang sekarang menjadi orang pesisir, secara kolektif memproduksi garam dan air tawar lewat proses desalinasi sederhana. Orang-orang Sukmajaya, yang dulunya merupakan kawasan pabrik kini menjadi kawasan pandai besi yang mengubah logam dari mobil dan motor bekas menjadi berbagai macam perkakas.
 
Listrik juga sudah mulai menyala. Beberapa bulan pasca Jakarta tenggelam memang listrik sempat mati, tapi sekarang kondisi sudah mendingan. Beberapa orang yang bisa mengoprek listrik mampu menggenerasi listrik dari  gardu induk milik PLN yang sudah diterlantarkan. Namun, penggunaannya terbatas. Hanya bisa digunakan untuk menyalakan kamar pendingin.
Beberapa mantan tukang servis AC membangun kamar pendingin sebesar rumah tipe 21 di tiap wilayah yang bisa digunakan secara komunal. Fungsinya untuk mengawetkan daging dan bahan makanan lain.

Orang-orang Pasir Putih dengan senang hati  menyuplai beragam daging ke tiap wilayah dengan sayur mayur dan beragam peralatan untuk ditukar. Begitu juga orang-orang Sukmajaya menukarkan perkakas yang mereka tempa dari besi sisa dengan beragam daging dan sayuran. Orang pesisir menyalurkan garam dan air bersih dari penyulingan mereka ke daerah-daerah lain dan sebagai gantinya mereka dikirimi bahan makanan. Semua dikerjaan bersama-sama tanpa tendensi ingin menjadi yang paling kaya, atau yang paling sukses, atau yang paling ini dan itu. 

************************
Sudah sore. Tangkapan kami hari ini tidak begitu banyak, tapi tidak sedikit juga. Berat ikan tangkapan kutaksir sebanyak 3 kilo. Mari berharap teman-teman yang lain bisa mendapatkan makanan juga.

Kami juga sudah sedikit lelah. Kami memutuskan untuk pulang, tapi tidak bisa langsung ke rumah. Jalanan terlalu gelap dan kuda kami juga jadi mudah panik. Biasanya kami berkuda dulu barang 10 atau 20 menit sambil keliling mencari rumah kosong yang bisa dipakai menginap. 

Saat sudah menemukan tempat bermalam yang cocok, kami tidur. Beberapa menit di antara setengah sadar dan tidur lelap, aku berpikir, “Sebelum air-air bajingan itu mendekat dan menghantam, kami harus segera pergi. Namun, untuk sementara waktu, hidup seperti ini tidak buruk juga.”