CSR Seharusnya Juga Mengatasi Masalah Lingkungan

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah aktivitas perusahaan untuk membagi keuntungan yang mereka dapat untuk kepentingan sosial. Tren CSR kini melejit, bahkan platform donasi terbesar di Indonesia, Kitabisa juga berkolaborasi dengan CSR. CSR memiliki tugas utama yakni bertanggung jawab atas dampak lingkungan, masyarakat atau sosial yang mungkin ditimbulkan dari operasional bisnis. Kegiatan ini digadang-gadang memiliki dampak positif. Namun pada kenyataannya, CSR banyak yang jadi gimmick belaka, dan sekadar menjadi ‘citra’ sosial perusahaan.

CSR Seharusnya Juga Mengatasi Masalah Lingkungan
Di Indonesia, CSR mulai dikenal pada 1980-an. Memang saat itu, masuknya perusahaan asing di Indonesia bukan main ramainya. CSR bahkan telah diatur dalam Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang intinya mewajibkan perusahaan memiliki CSR. 

Munculnya CSR awalnya sekadar keinginan beramal dari perusahaan. Lambat laun, masyarakat mulai menyadari bahwa perusahaan dengan kegiatan operasionalnya ternyata bertanggung jawab kepada masyarakat, apalagi lingkungan. Makanya, poin utama CSR sebenarnya adalah mengupayakan pelestarian lingkungan dengan mengurangi polusi dan emisi di bidang manufaktur, mendaur ulang bahan-bahan, memulihkan sumber daya alam. Contoh langkahnya dengan melakukan rehabilitasi alam, penggunaan energi baru terbarukan, pengelolaan limbah. Sementara untuk urusan membangun sekolah, perpustakaan, donasi ke panti asuhan adalah kewajiban nomor duanya. Namun sekarang, justru fokus memperbaiki lingkungan bukan menjadi prioritas utama.

Sekarang, alih-alih fokus ke masalah lingkungan, CSR justru fokus kepada pengembangan digital. Pada 2023 saja, terdapat sepuluh top kegiatan yang dilakukan CSR di dunia: inklusi digital (digital inclusion) (37%), transparansi pelaporan CSR (CSR reporting solution) (17%), manajemen keberagaman di tempat kerja (workplace diversity management) (11%), blockchain (9%), komputasi berbasis internet (cloud computing) (6%), dampak investasi (impact) investing (5%), energi terbarukan (renewable energy) (4%), peningkatan keterlibatan pekerja (employee engagement) (5%), pemasaran co-branding (3%), serta rantai pasok yang bertanggung jawab (responsible supply chain) (3%).

Dari angka-angka di atas, dapat dilihat bahwa membangun solusi teknologi—yang tak ada kaitannya dengan perbaikan alam—menjadi kegiatan  teratas dari banyak perusahaan. Sebaliknya, kegiatan yang berdampak pada lingkungan justru memiliki persentase yang sedikit, seperti program energi terbarukan dan rantai pasok yang lebih bertanggung jawab. 

Bukannya perusahaan tak boleh melakukan ini. Toh CSR memang berdampak positif, contohnya dengan pemberian dana perusahaan untuk membangun fasilitas umum. Namun rasanya, CSR justru hadir sekadar memenuhi tugas sosial, sementara mereka abai untuk urusan dampak operasional perusahaan. Seolah kegiatan berdonasi itu menjadi izin operasional perusahaan yang mengotori lingkungan. Serta menjadi daya jual suatu perusahaan karena punya embel-embel pemberi bantuan sosial.


CSR Jadi Bahan Jualan Perusahaan
Branding perusahaan ramah lingkungan atau peduli dengan kondisi sosial menjadi salah satu pencapaian bagi CSR. Sebuah survei mengatakan bahwa 66% konsumen lebih memilih produk dari perusahaan yang memiliki keterlibatan sosial. Mereka bahkan bersedia membayar lebih untuk produk itu.

Fenomena sibuk menyelaraskan aktivitas sosial untuk memperbaiki perusahaan dan lingkungan untuk kepentingan perusahaan, bukan sebaliknya, keluar dari tujuan ideal CSR, yaitu untuk memitigasi risiko kerusakan lingkungan yang justru terjadi karena operasi perusahaan. Tujuan ideal CSR yakni untuk memitigasi risiko kerusakan lingkungan, tapi justru diarahkan untuk memberikan kontribusi terhadap nilai bisnis perusahaan. Selain CSR, beberapa perusahaan juga melakukan praktik greenwashing, yakni strategi pemasaran yang membuat sesuatu tampak berkelanjutan. Kata kuncinya ada di ‘tampak’, karena klaim ini belum dibuktikan atau sudah dipatahkan.

Perusahaan melakukan hal ini untuk mengelabui konsumen mereka. Alasannya karena banyak anak-anak muda yang peduli dengan lingkungan, bahkan memprioritaskan membeli produk dari perusahaan yang katanya peduli dengan lingkungan.

Golongan yang paling dominan di dunia, Gen Z, saat ini juga memprioritaskan membeli sesuatu produk berdasarkan aktivisme lingkungan. Senada dengan Gen Z, banyak investor yang kini juga mencari ‘jejak lingkungan’ dari operasional perusahaan. Sebanyak 73% investor akan mempertimbangkan dampak upaya sosial terhadap kemajuan bisnis untuk keputusan investasi mereka. 

Tak cukup mengelabui konsumen pada aktivitas CSR, perusahaan juga melakukan greenwashing pada penjualan produknya. Pada 2008, Shell pernah mengklaim pada iklan produk mereka bahwa sumber energi yang mereka gunakan adalah  energi berkelanjutan dengan mengekstraksi minyak dari proyek pasir tar di Kanada. Alasannya, penyulingan dari minyak pasir dapat mengurangi efek rumah kaca hingga 4 kali lipat daripada minyak biasa. Namun klaim Shell tak terbukti.

Iklan Shell juga mengatakan bahwa dengan membayar tambahan satu Euro sen per liter di Shell, pembeli akan membantu mendanai proyek penanaman pohon dan pengelolaan hutan yang dapat mengimbangi emisi mereka. The Advertising Standards Authority (ASA), organisasi pengatur periklanan di Inggris mengatakan itu tak berdasar. ASA akhirnya melarang iklan Shell itu beredar. Shell tak mengajukan banding apa-apa atas larangan ini.

Shell hanya satu dari perusahaan meraup keuntungan atas nama kepedulian lingkungan. Nyatanya, terdapat 68% perusahaan yang terindikasi melakukan greenwashing. Lalu, sebanyak 93% sebenarnya mengatakan kalau prioritas mereka adalah sustainability, namun 65% perusahaan kebingungan bagaimana cara melakukannya. Artinya, sejauh ini memang sebagian besar perusahaan memiliki keinginan untuk berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan, tapi di satu sisi, mereka juga kebingungan bagaimana untuk mengeksekusi langkah-langkah itu. Perusahaan sulit menemukan titik tengah untuk tetap menjaga lingkungan, namun juga bisnisnya tetap bisa berjalan.

Kalau dipikir-pikir, greenwashing ini adalah bentuk kejahatan berlipat ganda. Sudah merusak lingkungan, tak bertanggung jawab, pakai ngibul pula.