Apa sih Sulitnya Unggah Isi Otak ke Komputer?
Sejak "The Cypherpunk Manifesto" diproklamirkan pada 1993, upaya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya privasi di dunia digital digalakkan. Terlebih, di tahun tersebut, World Wide Web (WWW) muncul di tengah-tengah masyarakat, yang selain bermanfaat, rawan dimanfaatkan negara untuk mengintip rakyatnya. Tak cuma itu, pegiat privasi California Institute of Technology merilis uang digital pertama di dunia, DigiCash, pada 2007. Niatnya adalah menjaga privasi transaksi keuangan dari pengawasan perbankan atau institusi keuangan konvensional. Sayangnya, sambutan publik tak meriah. Sebab, meskipun berhasil mengaburkan transaksi keuangan dari perbankan umum, DigiCash tahu betul transaksi yang dilakukan penggunanya.
Upaya menciptakan alat transaksi keuangan privat kembali muncul sejak membuncahnya kekecewaan masyarakat terhadap krisis ekonomi global 2007-2008. Semakin meluasnya cakupan pengawasan negara secara digital pun turut menjadi faktor pendorong. Bitcoin pun muncul sebagai jawaban.
Sempat dianggap guyonan semata, perlahan-lahan menggguritalah Bitcoin yang disokong teknologi Blockchain itu. Sebuah masalah klasik di dunia digital pun terpecahkan. Sebelum Blockchain, sukar menentukan status "original" dari sebuah file. Misalnya begini. Kala seseorang mentransfer lima dari 12 file berekstensi MP3 kepada temannya via email, file tersebut tak berkurang menjadi tujuh alih-alih tetap jumlahnya. Penerima pun memiliki lima file MP3 identik. Lewat Blockchain yang memiliki sistem otentikasi berbasis token, ambiguitas originalitas file digital teratasi dan memunculkan makhluk digital baru, Non-Fungible Token (NFT).
Tapi ada hal selain NFT yang dimungkinkan oleh teknologi baru itu: kehidupan pasca kematian dalam rupa robot atau kecerdasan buatan. Problemnya, sebagaimana ditulis Liz Stillwaggon Swan dalam “Digital Immortality: Self or 00010110?” (International Journal of Machine Consciousness, 2012), akan muncul masalah baru seandainya transfer diri dari wujud biologis ke komputer benar-benar terjadi, yakni skenario “multiple me”.
ChatGPT
Tidak sedikit ilmuwan komputer yang percaya ujaran Sartre: "Masa depan manusia adalah menjadi Tuhan. Atau, setidaknya menjadi dewa yang dapat menciptakan manusia atau makhluk mirip manusia." Atau, variasinya: "menjadi kesatuan dengan mesin."
Kepercayaan itu didorong oleh obsesi akan keabadian dan perasaan takut mati.
Saat teknologi komputer belum berkembang, gagasan manusia menyatu dengan mesin diterjemahkan secara sempit, yakni dengan cara hibernation. Imajinasi praktiknya adalah dengan menciptakan mesin yang dapat menekan saklar off kehidupan. Setelah 100 atau 1000 tahun, saklar on ditekan dan makhluk itu pun hidup lagi.
Teknologi komputer kian mumpuni dan menawarkan mind uploading atau biological brain mapped and copied. Alistair Smith, dalam “How Blockchain can be used for Digitization of Human Consciousness” (International Journal of Innovative Science and research Technology, 2018), menyebut gagasan ini pertama kali muncul pada awal 1950 dari ahli cybernetic bernama Norbert Wiener dan Ia Pearson. Mereka percaya bahwa sebelum 2050 tiba seluruh konten yang terdapat dalam otak manusia dapat diunduh untuk diunggah ke komputer super. Konten otak manusia dapat menjadi ‘prosesor’ yang mengendalikan robot atau mesin yang memiliki anggota tubuh mekanik. Imajinasi ini muncul berkat teknologi medis yang sejak 1950-an mampu menjaga tubuh tetap hidup meskipun otak berhenti bekerja. Kelak, dengan respirator buatan, misalnya, konten otak yang telah diunduh dapat disimpan untuk dicarikan tubuh biologis baru/pengganti.
Pendekatan selain mengandalkan robot atau organ donor adalah membiarkan konten otak yang diunduh tetap berada dalam komputer super dan hidup sepenuhnya dalam wujud digital.
Sejak 1987 ilmuwan-ilmuwan komputer percaya bahwa komputer di masa depan akan sangat cepat dan lebih cerdas hingga memungkinkan otak manusia untuk hidup di dalamnya. Demikian papar Steven Goldberg dalam “The Changing Face of Death: Computers, Consciousness, and Nancy Cruzan” (Stanford Law Review, 1991). Dua tahun berselang, komputer bernama Deep Thought berhasil mengalahkan pecatur terbaik kala itu.
Namun, bagi Swan, ini adalah pertanyaan eksistensial. Siapa sesungguhnya konten otak itu? Apakah ia sama dengan individu yang kontennya diunduh? Merujuk contoh keaslian file MP3 di atas, otak manusia yang diunduh lalu diunggah ke komputer sangat mungkin bisa berlipat ganda dan menciptakan “multiple me”. Isu ini bisa teratasi seiring perkembangan Bitcoin dan Blockchain. Tokenisasi Blockchain memungkinkan “originalitas tunggal” sehingga versi pertama konten otak manusia yang diunduh tak berubah dan bersemayam di satu komputer saja.
Namun, pertanyaan eksistensial itu tak hilang begitu saja dengan teratasinya skenario "multiple me". Apakah "makhluk baru" ini berbeda atau sama dengan individu si pemilik otak?
Lebih jauh, pertanyaan ini mengubah cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri. Richard Darwin pernah menyatakan bahwa manusia bukan "makhluk spesial" di kerajaan hewan. Tapi apakah manusia rela disamakan dengan mesin, komputer, dan kecerdasan buatan?
Melesatnya kecanggihan komputer tak serta merta dapat diterjemahkan sebagai medium hidup baru untuk otak manusia (apabila memang bisa dilakukan). Sebut saja Goldberg, Deep Thought dan berbagai komputer canggih setelahnya yang dibuat untuk bermain catur. Meskipun canggih, Deep Thought kemungkinan besar tak tahu bahwa "dirinya" tengah bermain catur. Terlebih, otak manusia tersusun melalui connectome yang menghubungkan tak kurang dari 100 miliar neuron independen. Miliaran neuron ini saling bekerja bersama melakukan "komputasi" berkekuatan 36,8 petaflops untuk memproses memori sebesar 3,2 petabyte.
Suatu jumlah yang sangat besar, tetapi sebetulnya secuil. Sebab, secara teoritis, satu gram DNA manusia memiliki kemampuan untuk menyimpan "data" hingga 455 juta terabyte. Di sisi lain, meskipun komputer tercepat di dunia saat ini sanggup melakukan komputasi hingga 93 petaflops, butuh tenaga listrik sebesar 15 MW untuk melakukannya. Sebaliknya, otak manusia cuma butuh "listrik" sebesar 20 W.
ChatGPT diyakini dapat mengatasi masalah ini.
Sebagai kecerdasan buatan berbentuk obrolan (chat), ChatGPT memperoleh kecerdasannya serupa dengan JPEG dan MP3. Dalam ekstensi grafik dan audio, terjadi proses kompresi file untuk mempertahankan kualitas gambar dan suara ketika dikonversi ke dalam bentuk digital. JPEG memiliki algoritma khusus yang memetakan tiap-tiap piksel grafik dan membuang piksel yang tak diperlukan atau repetitif, kemudian membentuknya kembali menjadi grafik utuh yang sama kualitasnya dengan versi fisik.
Serupa, algoritma MP3 memetakan sinyal analog audio hendak diubah ke bentuk digital, menyimpan bagian-bagian penting, lalu melahirkan kembali audio berbentuk sinyal digital yang mumpuni. ChatGPT–dengan kekuatan berupa GPT3 atau model weights, Transformer, dan Reinforcement Learning for Human Feedback–mengindeks seluruh konten di dunia maya untuk dipetakan dan dipilah. Dari sini, ChatGPT memberikan jawaban kepada penggunanya. Jawaban itu tidak berupa "quote" seperti Google yang menyajikan link ke sumber kutipan, melainkan berupa konten baru dengan bumbu parafrasa.
Dengan ChatGPT, otak manusia tak perlu diunduh seluruhnya, tetapi hanya secuil, yakni yang dianggap penting saja. Sisanya, ChatGPT dapat menelusuri jejak-jejak digital individu yang pemikirannya hendak diunduh, entah dari Facebook, Twitter, LinkedIn, ataupun TikTok, misalnya. Setelah itu, ChatGPT tinggal memetakan data untuk melahirkan konten baru: otak manusia ala ChatGPT.
Tentu ini semua masih bersifat hipotesis. Seluruh usaha atau keyakinan bahwa diri manusia dapat diunduh dan diunggah ke dalam komputer super, baik menggunakan ChatGPT atau tidak, nampaknya tak akan bergerak ke arah nyata. Pasalnya, menurut Joseph Corabai dalam “The Metaphysics of Uploading” (Journal of Consciousness Studies, 2012), belum ada kesepakatan bersama tentang jatidiri manusia. Siapa sesungguhnya manusia dan organ mana yang bertanggung jawab menjadikannya manusia belum ditemukan.
Di satu sisi, manusia dianggap manusia karena memiliki "jiwa," yang tak jelas berada di dalam organ-organ fisik. Di sisi lain, manusia dianggap sebagai psychological continuity, yang menitikberatkan memori atau ingatan kolektif. Definisi lainnya menyatakan manusia sebagai “materialism (or 'physicalism') about the person” karena tersusun atas struktur-struktur fisik, dari kepala hingga jempol kaki. Tak ketinggalan, beberapa manusia menganggap dirinya bukanlah siapa-siapa, bahwa “saya”, cetus Budha hingga Nietzsche, adalah ilusi semata.
Hasan Maun