Apa Yang Mereka Tidak Katakan Ketika Mereka Berbicara Tentang MSG
Bagaimana Rasisme Menyelinap Di Balik Anti-MSG
Siapa yang bisa mengelak dengan rasa micin (MSG), yang bikin cita rasa makanan jadi tambah enak? Nasi goreng, Indomie—apalagi dimakan ketika hujan turun—cemilan kemasan yang biasa ditemui di minimarket, sampai jajanan pinggir jalan seperti telur gulung, sempol, dan aci-acian yang bisa ditemui di luar perkantoran dan sekolahan.
Tak jarang kebiasaan mengonsumsi MSG ini diidentikan dengan jenis makanan yang tak sehat. Apalagi kalau kita lihat ‘menu-menu sehat’, sejauh pengamatan saya, tak akan ada MSG sebagai bumbu di masakannya. Fenomena yang agak membagongkan mengingat konsumsi MSG Indonesia justru meningkat.
MSG memang nikmat, tapi konsumsi berlebihan bisa menyebabkan efek samping yang berhubungan dengan syaraf seperti pusing dan kesemutan. Sayangnya, efek samping ini pula yang membuat masyarakat AS mengkampanyekan bahaya MSG. Mereka menganggap MSG—lucunya, bukan garam—berbahaya bagi kesehatan.
Mari kita melihat sainsnya. Betulkah MSG berbahaya bagi kesehatan?
Artikel The Atlantic yang ditulis oleh Yasmin Tayag menyebutkan MSG, selama dikonsumsi dalam batas wajar, tidak berbahaya. Ia mengutip temuan WHO bahwa hampir semua orang di bumi ini mengonsumsi terlalu banyak garam. Hal ini tentunya berbahaya karena bisa menimbulkan beragam penyakit, seperti jantung dan stroke. Dua penyakit yang banyak menghinggapi masyarakat AS.
Sebagai alternatif dari garam, Tayang menyarankan penggunaan MSG. Pasalnya, MSG bisa memberikan rasa gurih dengan kadar sodium—penyebab darah tinggi—yang hanya ⅓ dari garam. Nah, kalau begini, kenapa masyarakat AS enggak fokus ke kampanye untuk mengurangi konsumsi garam saja? Yang menurut sains lebih berbahaya dari garam?
Masalah utamanya bukan karena penemuan saintifik. Justru ini ada kaitannya dengan budaya xenofobia AS yang sudah mendarah daging. Dan tentunya ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah penemuan MSG itu sendiri.
Sejarah MSG yang ‘Ditemukan’ Orang Jepang
Pada tahun 1908, MSG awalnya ditemukan oleh Kikunae Ikeda, seorang profesor kimia asal Universitas Tokyo. Ikeda saat itu penasaran apa yang membuat dashi—kaldu Jepang yang terbuat dari rumput laut dan serutan ikan kering—yang kaya akan rasa. Ia meneliti komponen dashi yang penting: rumput laut Laminaria japonica.
Setelah melakukan uji coba berkali-kali, barulah ia mendapatkan rasa gurih dari dashi tersebut. Hal ini menjadi terobosan tentang rasa dalam dunia kuliner dan indera perasa yang semula hanya empat rasa, yakni asin, pahit, asam dan manis, bertambah menjadi rasa gurih. Atau dalam bahasa Jepang, umami.
Atas temuannya itu, Ikeda membuat merek dagang yang diproduksi secara massal pada tahun 1909, yakni Ajinomoto yang dalam bahasa Jepang berarti esensi rasa. Ajinomoto begitu digemari oleh masyarakat, sampai ke titik dimana bumbu ini resmi digunakan di meja makan para ibu rumah tangga Jepang di tahun 1931.
Popularitas MSG ikut menyeberangi samudra Atlantik di tahun 1940an. Salah satu perusahaan yang berhasil mengkapitalisasi bumbu baru ini adalah Ac’cent lewat kampanyenya “monosodium glutamate murni yang bisa membuat rasa makanan semakin nampol” (“pure monosodium glutamate makes food flavors sing”)
Saking digemarinya, per tahun 1969 AS memproduksi 58 juta pon MSG per tahun. Bahkan selama satu generasi, MSG hadir dalam berbagai produk makanan, mulai dari sereal, makan malam, sayuran beku, makanan bayi, kaldu, dan sup yang diproduksi oleh merek terkenal seperti Campbell's dan Swanson. Ironisnya, kedua merek terkenal saat ini malah memproduksi produk tanpa MSG berkat kampanye anti-MSG yang masif.
Awal Mula Propaganda Anti-MSG
Kalau kita mengira “influencer” itu baru ada karena kemunculan internet dan biasa mendukung atau menolak suatu produk, tentu anggapan ini keliru. Karena pada tahun 1968, Robert Ho Man Kwok, dokter di Amerika Serikat--menulis esai ke New England Journal of Medicine. Esai Kwok akan mengubah selamanya kebiasaan makan masyarakat AS. Tapi setelah tulisan Kwok menyebar ke mana-mana, dampaknya adalah para konsumen menolak, tempat dan pembuat makanan menghentikan penggunaan MSG, para ilmuwan mengkritik MSG abis-abisan.
Singkatnya dalam esai itu, Kwok bilang kalau ia mengalami mati rasa di bagian belakang leher yang menyebar hingga ke lengan dan punggung disertai lemas dan sensasi berdebar-debar setiap kali makan di restoran Tiongkok. Alih-alih ke dokter untuk mengecek tensi, Kwok malah menyalahkan MSG—bukan kecap atau anggur masak—yang digunakan restoran tersebut.
Sementara anggapan lainnya menyatakan bahwa MSG bisa berpengaruh pada kinerja otak. Miskonsepsi ini lahir karena penelitian yang dilakukan oleh Dr John W. Olney. Tepatnya satu tahun setelah publikasi Kwok, pada 1969 Olney mengirimkan hasil temuannya dalam jurnal Science. Ia menguji MSG terhadap tikus putih dengan menyuntikkannya ke bawah kulit—bukan melalui lewat makanan dan melalui mulut—dengan dosis yang sangat tinggi dan tak mungkin diterapkan pada manusia. Bisa ditebak, hasil dari penelitiannya itu menunjukkan berdampak kerusakan otak, obesitas dan dampak bagi tikus betina adalah gejala mandul
Argumen Kwok dan penelitian Olney memulai kampanye anti MSG. Kampanye ini begitu sukses sampai-sampai Ralph Nader, aktivis pelanggan, meminta komisi Senat AS
untuk melakukan semacam regulasi terhadap bahan tambahan pangan (food additives) seperti MSG. Nader secara spesifik menarget penggunaan MSG terhadap makanan bayi.Lalu Oktober 1969 larangan untuk penggunaan MSG dalam makanan bayi direkomendasikan oleh Jan Meyer, ketua Konferensi Gedung Putih tentang Pangan, Gizi dan Kesehatan. Beberapa bulan kemudian, Departemen Kesehatan New York mengeluarkan edaran bagi semua restoran Cina dan vendor yang meminta agar MSG “lebih hemat menggunakan MSG dalam makanan”.
Caitlin Dewey menyebut bahwa “sindrom restoran Tiongkok” seperti yang ada dalam tulisan Kwok dan juga Olney itu tidak berdasar, kita bisa melihat berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Charles V. Vorhees.
Vorhes melakukan peninjauan kembali apa efek MSG pada tikus. Penelitian itu ditujukkan terhadap Sprague-Dwley rats (tikus putih) mulanya dengan dosis 0, 1.7, 3,4 atau 5,1 persen MSG meliputi masa kehamilan dan menyusui, serta diberikan juga bagi anak tikus putih sampai umurnya 90 hari. Singkatnya, penelitian itu menghasilkan 6 efek yang ditimbulkan. Dua di antaranya terkait kemampuan berenang: mengalami peningkatan dan adanya hambatan. Secara umum pemberian MSG pada tikus putih jantan maupun betina tidak ada bukti adanya kerusakan pada bagian otak tertentu.
Banyaknya temuan dengan kualitas yang bisa diandalkan tentang MSG gagal menunjukkan gejala yang serius, bahkan pada orang yang mengaku menderita reaksi MSG. Kita bisa melihat dalam jurnal European Journal of Clinical Nutrition yang mengatakan bahwa tak ada bukti atau konfirmasi bahwa mengonsumsi MSG dapat menyebabkan sakit asma. Anggapan ini datang dari eksperimen yang dilakukan oleh Allen dan Baker di tahun 1981 terhadap volunteer dengan riwayat asma dan kaitannya dengan MSG.
Meski awalnya terlihat meyakinkan—mengonsumsi MSG dapat menyebabkan asma—di tahun 1998 Woods, dkk melakukan penelitian kembali apakah betul adanya hubungan antara asma dengan konsumsi MSG. Penelitian ini melibatkan 45 pasien dengan riwayat asma setiap menyantap makanan di restoran oriental. Hasil akhirnya mengatakan, meski dengan mengonsumsi MSG, tak ada satu pun dari 45 pasien yang mengalami gejala asma. Hal serupa dilakukan terhadap 109 pasien lainnya dan lagi-lagi tidak menunjukkan adanya gejala asma yang disebabkan karena konsumsi MSG.
Di sisi lain, tepatnya pada 1990an, FDA menugaskan review/peneliti independen yang menemukan MSG dapat menyebabkan efek buruk, tapi bagi sebagian kecil “individu sensitif” yang juga makan dalam porsi banyak dalam keadaan perut kosong.
Sementara Brian St. Pierre, R.D, Direktur Nutrisi dan Kinerja di Precision Nutrition Men’s Health mengatakan MSG bukanlah toksin atau racun yang bisa menyebabkan penyakit. Brian juga menegaskan bahwa eksperimen yang dilakukan pada tikus tidak bisa diterapkan pada manusia. Tidak ada bukti yang menunjukkan kerusakan otak pada manusia setelah mereka mengonsumsi dalam takaran normal. Selain itu ia juga menegaskan bahwa sebenarnya monosodium glutamat adalah garam natrium yang berasal dari asam amino glutamate yang juga ada secara natural pada tomat, udang, dan keju.
Dengan demikian bisa dibilang kalau kamu anti penyedap rasa MSG, kamu harus sadari bahwa kemungkinan kamu mengonsumsinya dalam bentuk makanan lain yang mungkin biasa kamu konsumsi selama ini.
Impian Orang Barat Tentang Keindahan Makanan
Bukanlah suatu kebetulan kampanye anti-MSG punya kaitan erat dengan periode sentimen anti-Tiongkok di akhir 1950an. Sentimen ini terus tumbuh dan mengalami puncaknya 10 tahun kemudian, ketika politik internasional beralih mendukung agenda anti-komunis dan rasisme, tulis Frankie Huang.
Lebih lanjut, Fei-Hsien Wang, sejarawan yang meneliti MSG, mengatakan bahwa saat itu makanan Tiongkok begitu populer di AS dan kebanyakan bentukannya cepat saji yang berminyak dengan bumbu yang melimpah, sesuai dengan selera orang Amerika.
“Penggunaan berlebihan MSG ini menjadi kambing hitam karena gangguan fisiologis dan sistem pencernaan yang menyertai kebiasaan memakan makanan tidak sehat orang sana. Berbeda penilaian terhadap makanan Tiongkok, di sisi lain foodcourt dan makanan cepat saji yang tak sehat ala Amerika semakin banyak diterima.” ujar Frankie Huang.
Sementara dalam interview dengan Inverse, Jennifer LeMesurie—asisten profesor Colgate University—mengatakan di satu sisi orang Barat memiliki obsesi terkait kesehatan dan “kemurnian” atau “keaslian” makanan yang menyebabkan makanan mereka cenderung hambar. Makanya lahirlah istilah “cheating day” untuk memakan jenis makanan yang dianggap tak sehat. Namun di sisi lain, mereka memojokkan dan menolak segala jenis makanan Asia yang penuh akan rempah dan rasa.
Ironisnya, kampanye MSG dan makanan sehat ini tak serta merta membuat lingkar pinggang masyarakat AS menyusut. Justru angka obesitas terus naik. Tentu ini diakibatkan oleh banyaknya konsumsi kalori masyarakat AS yang lebih tinggi dari mayoritas negara dunia. Dalam sehari, seseorang bisa mengonsumsi 3800 kalori, jauh di atas rekomendasi kalori orang dewasa.
Tentu ini tak bisa dilepaskan dari industri makanan AS yang banyak mengoplos makanan dengan kadar gula dan garam yang tinggi, tulis Marion Nestle, profesor dan ketua Departemen Ilmu Gizi dan Pangan AS. Dalam tulisan yang sama Nestle menggarisbawahi bagaimana industri makanan cepat saji mengeksploitasi daya beli masyarakat yang sudah melampaui makanan sebagai kebutuhan, tapi sebagai keinginan. Maka dari itu, industri makanan berlomba-lomba untuk membuat makanan yang begitu enak walau bernutrisi minim.
Lebih liciknya lagi, industri ini melakukan berbagai macam kerja untuk meyakinkan konsumen mereka untuk membeli produk mereka. Dari iklan, influencer, sampai bekerjasama dengan pemerintah, pakar ilmu gizi, dan media. Dengan kata lain, sebenarnya ketika negara seperti AS dan masyarakatnya berlomba-lomba untuk mengkampanyekan anti-MSG, hidup sehat atau makanan sehat, sebenarnya bukan beneran murni untuk hidup yang lebih sehat. Toh pada akhirnya restoran cepat saji, sup kalengan, dan mie instan tetap jaya.
Pada akhirnya kita bisa membayangkan apabila MSG ini ditemukan oleh orang Barat dan diproduksi massal oleh pabrik industrinya, tentu akan dikategorikan sebagai penambah rasa/food additive biasa seperti yang lainnya. Dengan kata lain MSG ini bukan hanya perkara kandungan MSG, tapi juga soal ekonomi yang diselubungi mitos dan rasisme yang memiliki dampak buruk terhadap orang-orang Asia atau imigran Asia, serta persepsi buruk orang Barat terhadap makanan ala Tionghoa/Asia lainnya yang dianggap murah, tidak sehat, dan kotor.