Sampai hari ini Maximilien de Robespierre sering disejajarkan dengan Stalin, Hitler, Pol Pot, atau bahkan Osama bin Laden. Singkatnya, diktator, pembunuh massal, dan demagog.
Tapi, tanpa Robespierre, Prancis tidak akan menjadi republik. Dan bentuk negara republik pun boleh jadi tidak akan populer di berbagai belahan dunia.
Robespierre memegang pemerintahan revolusioner selama satu tahun (1793-1794).
Namun, masa satu tahun itu, tulis sejarawan Peter McPhee dalam Robespierre: A Revolutionary Life (2012), kerap diperlakukan sebagai rangkuman kisah hidup Robespierre dalam satu kata: diktator.
Ingatan populer orang Eropa menempatkan Robespierre sebagai dosa asal Revolusi Prancis dan seluruh revolusi lain di dunia yang terinspirasi olehnya.
Tapi, pada zaman Revolusi Prancis, kawan dan lawan menjuluki Robespierre “l’Incorruptible”: sosok yang luar biasa bersih dan tak bisa dibeli. Oh iya, dia juga salah satu dari sedikit aktivis anti-hukuman mati pada zaman ketika kekuasaan bisa sembarangan mencabut nyawa orang.
Kurang Percaya Diri
Para revolusioner Prancis, mulai dari Georges Danton, Jacques Hébert, Camille Desmoulins, hingga Maximilien Robespierre adalah anak-anak ideologis Jean-Jacques Rousseau yang mahsyur dengan Du contrat social—sebuah karya yang pengaruhnya pada akhir abad ke-18 bisa disamakan dengan Manifesto Komunis sepanjang abad ke-20.
Maximilien Robespierre lahir di Arras pada 6 Mei 1758 dari keluarga borjuis kecil. Di usia remaja, Ia mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Lycée Louis-le-Grand di Paris. Bersama Desmoulins, kawan sekelasnya, ia menjadi murid teladan sampai-sampai pernah ditugaskan membaca sambutan untuk Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette dalam suatu kunjungan ke sekolah.
Robespierre dikenal sebagai orang terlalu serius, lebih suka belajar di kamar alih-alih bersenang-senang, dan diyakini mati dalam keadaan perjaka. Suatu hari ketika diajak pesta oleh Desmoulins, ia bahkan menjawab: “Racikan sampanyemu adalah racun pembunuh kebebasan.”
Ia juga dikenal canggung. Komplotan kontrarevolusioner yang mengkudeta Robespierre suatu ketika menggeledah kediamannya. Mereka menemukan beberapa lukisan potret diri, patung dada berwajah diktator yang baru mereka singkirkan, dan cermin-cermin berukuran besar dan sedang.
“Kamar itu mirip kuil,” tulis Ruth Scurr dalam biografi Fatal Purity: Robespierre and the French Revolution (2006), mengomentari bagaimana sang martir revolusi membangun kepercayaan dirinya lewat narsisisme terselubung.
Merintis Revolusi
Pada Mei 1789, Robespierre mendirikan klub politik Jacobin untuk mempropagandakan gagasan-gagasan republikan dan anti-monarki. Setelah lebih dari satu abad reses, États généraux, yang berfungsi sebagai parlemen, kembali berkumpul untuk membahas krisis.
Saat itu kas negara telah kosong selama hampir setahun karena istana jor-joran mengongkosi revolusi Amerika dan gaya hidup Marie Antoinette.
Pengerahan massa dimulai ketika menteri Keuangan Jacques Necker meletakkan jabatan. Ketika Louis XVI digosipkan kabur dari Prancis, kaum Jacobin segera mengorganisir pemberontakan. Penjara Bastille pun diserbu rakyat. Momen politik ini segera direbut kaum revolusioner yang mendeklarasikan Hak-Hak Manusia dan Warganegara pada Agustus 1789. Sejak itu feodalisme dihapus.
Sebetulnya tak semua tokoh revolusi ingin membubarkan monarki. Sebagian cukup puas dengan model monarki konstitusional ala Inggris. Namun, sikap mereka berubah karena Louis XVI berulang kali berusaha kabur dan berkomplot untuk menghancurkan revolusi.
Pada tahun-tahun itu, monarki-monarki tetangga sangat berkepentingan untuk memadamkan revolusi di Prancis. Para penguasa monarki-monarki ini tak ingin bernasib sama dengan penghuni Istana Versailles.
Pada 1792, pasukan Prusia dan Austria masuk ke perbatasan Prancis. Sans-culottes (kaum miskin kota) langsung memberontak dan menyerbu kediaman raja di Taman Tuileries. Pada September 1792 pemberontakan usai dan Prancis resmi menjadi republik.
Pada Desember 1792, Robespierre berpidato di Konvensi Nasional (Convention Nationale) mengusulkan hukuman mati untuk suami-istri Louis dan Marie.
“Raja harus mati supaya negeri ini bisa hidup,” tegas Robespierre awal Desember 1792. Hampir dua bulan setelahnya, Louis XVI dipenggal.
Karier Robespierre sejak itu menanjak dari memimpin Jacobin pada 1790, mewakili pemerintahan revolusioner kota Paris (1792), mengepalai Comité de salut public, dan akhirnya menduduki jabatan puncak di Konvensi Nasional, yang memerintah Prancis sejak tahun ketiga revolusi.
Empat tahun di Paris, Robespierre selalu didukung kaum miskin kota.
Bangkitnya Teror
Prancis sepanjang 1790-1794 dilanda perang dan destabilisasi pemerintahan. Gereja dan bangsawan di desa-desa berkomplot melawan rezim baru. Borjuis di kota-kota menyabotase ekonomi dan memborong barang-barang kebutuhan pokok.
Kaum Jacobin memikul tanggungjawab raksasa: mempertahankan nyawa republik di berapapun ongkosnya.
Kaum Girondin—yang awalnya adalah faksi moderat Jacobin—ingin Prancis memperluas revolusi ke negeri-negeri jiran.
Robespierre mengambil posisi yang berseberangan. Baginya, revolusi yang diekspor dengan agresi militer akan sulit diterima warga di tanah pendudukan, meski tujuannya adalah membebaskan rakyat dari ancien régime.
Bagi Robespierre, perang hanya akan memecah belah Republik dan memberi angin kepada bagi kaum kontrarevolusi untuk kembali berhimpun.
Tapi ada juga pertimbangan taktis—dan inilah yang gagal dilihat Girondin: sebagian besar perwira tinggi yang dikirim ke perbatasan berasal dari kelas ningrat; loyalitas mereka diragukan.
Kelak, salah seorang kader Girondin, Charlotte Corday, membunuh Jean-Paul Marat, dokter, ilmuwan, dan orator ulung yang suaranya mewakili kaum miskin kota. Pembunuhan itu, dan kembalinya sans-culottes ke jalanan pada Mei-Juni 1793, mengawali pengambilalihan Konvensi Nasional dari tangan Girondin.
Kaum Jacobin pun mendirikan Comité de salut public alias Komite Keselamatan Publik dengan tugas membersihkan anasir-anasir kontrarevolusi di dalam negeri, menghukum ningrat-ningrat gembeng lagi pemberontak, mengeksekusi mata-mata, menyita properti para bangsawan untuk pembiayaan perang, hingga membereskan para spekulan di pasar.
Sejak April 1793 teror resmi menjadi kebijakan negara yang diumumkan secara terbuka dan seluas-luasnya. Guillotine mulai dipasang. Sekitar 13.000 hingga 17.000 mati ‘dicukur’ oleh “Pisau Nasional”. Banyak juga yang dieksekusi dengan timah panas atau ditenggelamkan ke sungai atau membusuk di penjara.
Ide pendirian Komite Keselamatan Publik datang dari Danton. Belajar dari rapuhnya pemerintahan Girondin dan hebatnya amuk massa-rakyat selama 1789-1792, ia mengusulkan: “Kita harus berani kejam agar rakyat tidak brutal”.
Lewat kekerasan itulah pemerintahan Jacobin menjadi instrumen "Kehendak Umum" (Volonté générale) ala Rousseau. "Barang siapa menolak mematuhi kehendak umum," tulis Rousseau dalam Du contrat social (1762) "harus dipaksa patuh oleh seluruh masyarakat; artinya, ia akan dipaksa untuk bebas".
Dengan kata lain, teror, sebagaimana dipahami kaum Jacobin, menyiapkan prakondisi untuk masyarakat yang merdeka.
Di tangan Jacobin, Republik menjadi eksperimen termaju pada zamannya yang kelak ditiru di banyak tempat hingga menjelma kelaziman. Sejarawan Revolusi Prancis Jules Michelet menulis: “Orang memang jauh lebih bahagia pada hari-hari itu.”
Tapi menjalankan teror secara rutin bukan hal enteng. Banyak yang mulai kehilangan kewarasan, bahkan menyalahgunakan kekuasaan. Lambat laun, para tokoh revolusi akhirnya dilahap oleh teror, termasuk Robespierre sendiri.
Pada awal 1794 Desmoulins mengkritik ekses-ekses teror. Pada 5 April 1794, ia dieksekusi bersama Danton, orang nomor satu di Konvensi Nasional yang didakwa melakukan korupsi dan menerima suap.
Setelah kematian Desmoulins dan Danton, Robespierre praktis menjadi orang nomor satu di republik selama beberapa bulan. Namun, eksekusi terhadap dua bidan revolusi membuat sejumlah politikus dalam tubuh Jacobin sendiri merasa terancam seandainya Robespierre terus berkuasa.
Pada Juni 1794, ketika Austria sudah mundur dari perbatasan Prancis, Robespierre menolak pembubaran pemerintahan darurat. Pasalnya, kemenangan Prancis terhadap Austria, tulis Marisa Linton dalam Choosing Terror: Virtue, Friendship, and Authenticity in the French Revolution (2013), tidak membuat situasi di Eropa lebih bisa diprediksi.
Penolakan itu dimanfaatkan sejumlah anggota Konvensi untuk merancang kudeta. Keberuntungan terbukti berpihak kepada mereka: Robespierre absen dari rapat-rapat komite selama sebulan karena sakit.
Robespierre baru muncul lagi pada 26 Juli 1794 untuk berpidato di depan Konvensi Nasional. Kemunculannya tidak disambut baik. Ia diteriaki, dikecam sebagai diktator. Keesokan harinya para anggota Konvensi memutuskan agar Robespierre beserta para loyalisnya ditahan.
Robespierre dan kawan-kawan segera diungsikan oleh massa sans-culottes ke Hotel de Ville. Malamnya, hotel legendaris itu diserbu pasukan Konvensi Nasional.
Dalam keributan itu, Robespierre tertembak, rahang kirinya hancur dan harus dibalut kain agar tidak lepas sampai keesokan paginya.
Penggulingan Robespierre kelak dicatat sebagai Reaksi Thermidor (Réaction thermidorienne) atau Kudeta Thermidor yang kini telah menjadi kata ganti untuk menggambarkan revolusi yang dikhianati dan kembalinya tatanan politik yang dibesarkan rezim lama.
Tapi, tangan para pelaku Thermidor juga bukannya tidak berdarah. Sebagian—di antaranya Jean-Marie Collot d'Herbois, Paul Barras, Louis-Marie Stanislas Fréron, dan Joseph Fouché—adalah orang-orang hipokrit yang memperkaya diri selama revolusi. Hampir semuanya selamat hingga akhir revolusi.
Fouché—Judas Iskariot dalam sejarah Prancis—menduduki posisi penting bahkan dalam pemerintahan Napoleon. Ketika karier politik Napoleon tamat, Fouché bahkan mengkhianati sang kaisar dan masuk kabinet Louis XVIII, adik dari Louis XVI yang dikirimnya ke guillotine.
Robespierre melakukan kekejaman tidak biasa terhadap orang-orang luar biasa—ningrat, kaum kaya, dan aparatus istana Versailles.
Komplotan Thermidor melakukan kejahatan luar biasa terhadap orang-orang biasa—dengan korban yang, ironisnya, berjumlah tiga kali lipat dari belasan ribu yang dipenggal selama sang pengacara Arras berkuasa.
Komplotan Thermidor, catat Marisa Linton, adalah alasan mengapa Robespierre mempertahankan rezim teror. Kali ini para pelaku kudeta benar: mereka akan habis jika orang nomor satu di Konvensi Nasional itu tidak cepat-cepat digulingkan
Pada 28 Juli 1794, tepat hari ini 228 tahun lalu, seorang algojo dengan kasar menarik perban yang membalut rahang Robespierre. Ia menjerit dengan sangat keras.
Jeritan yang luar biasa keras, pilu, dan panjang itu, demikian Scurr dalam Fatal Purity, adalah “babak akhir dari seseorang yang menubuhkan revolusi ke dalam dirinya sendiri”.