Apakah ChatGPT dan Teman-Temannya Sanggup Menangani Tekanan Klien yang Sotoy?

Apakah ChatGPT dan Teman-Temannya Sanggup Menangani Tekanan Klien yang Sotoy? (Spoiler: Tidak, dan Ini Alasannya)

Problem Kesadaran, Mesin, Konsep Kerja dan Nilai

Oleh Pambudi Driya S
ChatGPT mendapat 1 juta hanya dalam 5 hari.
Dengan pencapaian seperti itu, wajar jika sejak akhir tahun 2022 hingga hari ini, kemunculannya ramai diperbincangkan dan diadopsi. Pengguna menggunakan ChatGPT untuk keperluan-keperluan praktis seperti kerja-kerja perkantoran, penelitian, perkuliahan, sekolah, dan sebagainya.
Menurut para penggunanya, ChatGPT begitu serbaguna. Ia bisa membantu mereka membuat esai, menu diet, menganalisis sistem yang terdeteksi bug, serta juga bisa bermain gim interaktif “Tic Tac Toe”.
Masih di tahun 2022, salah satu program yang diperkenalkan oleh Google pada tahun 2021, Language Models for Dialog Appilcations (LaMDA). Program tersebut telah mengalami improvisasi dari yang semula chatbot. Hal ini yang juga ditegaskan oleh Lead Google Romal Thoppilan, bahwa LaMDA focus untuk meningkatkan “factual groundness”—mampu untuk mengembangkan informasi di luar dari apa yang telah diatur ke dalam fase Latihan. 
LaMDA bukan sekadar chatbot, kemampuan lainnya ialah beradaptasi dan bisa menyesuaikan beragam kepribadian setelah banyaknya informasi yang ditambahkan, dari aspek linguistik dan sastra, dokumen, serta berbagai pertanyaan dan jawaban ke dalam programnya. Dari poin inilah datang pernyataan kontroversi jika LaMDA—menurut Lemoine, IT Google, setelah berkomunikasi lewat chat tentang eksistensi LaMDA, kemanusiaan, Artificial Intelligence (AI), dan etika—mungkin memiliki kesadaran atau perasaan yang merupakan salah satu properti pada manusia.
Sebenarnya, kehadiran chatbot telah ada di mana-mana sejak kemunculan awal internet. Sebutlah misalnya chatbot ada di website e-commerce sebagai digital assistants untuk meminta feedback dari kita pengguna, Siri dan Alexa yang lebih advanced selain dalam bentuk teks, mereka juga mampu melakukan tugas dan percakapan secara bersamaan. Bahkan beberapa AI, seperti LaMDA mampu mengelabui penggunanya yang seolah-olah menegaskan bahwa AI juga memiliki kesadaran-diri.
Beberapa pertanyaan atau pernyataan yang menarik ketika membicarakan tentang AI, dalam konteks ini baik secara luas ataupun hanya sebatas chatbot atau sebatas natural language processing tool-driven, adalah: 
“Apakah LaMDA, ChatGPT, Siri, Alexa itu memiliki kesadaran?”; “ChatGPT mungkin bisa menjawab semua pertanyaan kita dan dapat menulis apa yang kita perintah, tapi di sana tidak ada sentuhan ‘manusia’”, misalnya menulis cerita fiksi sains seperti yang dilakukan Ahsan Ridhoi memerintah ChatGPT untuk memproduksi cerita fiksi sains yang hanya memerlukan waktu kurang dari 15 detik untuk membuat cerita yang kurang lebih soal kehebatan AI hingga ketakutan ketika AI terlalu kuat dan bisa mengambil keputusan; atau anggapan bahwa “kerja-kerja manusia akan tergantikan oleh AI”. 
Oleh karena itu dalam tulisan kali kita akan melihat apakah pernyataan tersebut dapat dibenarkan, dalam artian bahwa misalnya memang AI tidak memiliki kesadaran, dan beberapa tahun, puluhan tahun ke depan kerja-kerja manusia akan benar-benar tergantikan oleh AI, serta apakah AI dapat menciptakan nilai-lebih.

Problem Kesadaran
Jauh sebelum kita berbicara tentang apakah AI memiliki kecerdasan, kesadaran, dan mungkin emosi seperti manusia, kita mesti menengok kembali Turing Test yang merupakan fondasi awal untuk mendefinisikan kecerdasan bahwa sebuah ‘komputer dapat berpikir seperti manusia’.
Mari bertemu Alan Turing. Alan Turing adalah penggagas Turing Test, selain itu dia adalah ilmuwan komputer, matematikawan dan biologi teoritis. Turing mengajukan definisi komputer dapat dikatakan memiliki kecerdasan buatan jika dapat menirukan respon manusia dalam kondisi spesifik tertentu. Turing Test membutuhkan 3 terminal, dan tiap-tiap terminal dioperasikan oleh dua orang yang saling terpisah, sementara terminal satunya dioperasikan oleh komputer.
Dalam tes tersebut, salah satu orang yang bertugas sebagai penanya, dan orang kedua dan komputer sebagai responden. Satu orang penanya akan menginterogasi responden dalam pertanyaan dengan subjek spesifik, dan dalam konteks tertentu. Setelah dilakukan beberapa tes untuk kedua responden, barulah penanya tadi memutuskan responden mana yang merupakan manusia, dan mana yang mesin.
Akan tetapi pemodelan untuk menentukan mana yang manusia dan yang komputer ini bukan tanpa kritik terhadapnya. Mungkin di masa Turing ketika membuat fondasi batasan-batasan terkait mana yang mesin dan manusia masih relevan dan ketika memenuhi kondisi tertentu untuk dikatakan benar. Namun ternyata seturut perkembangan teknologi, beberapa program seperti ELIZA berhasil lolos atau memanipulasi Turing Test meski ia tidak benar-benar memahami simbol-simbol tes. Hal ini kemudian memunculkan argumen dari John Searle bahwa ketika suatu komputer atau programnya berhasil lolos dari Turing Test, hal ini tidak menjelaskan bahwa kecerdasan AI sebanding dengan kecerdasan manusia.
Kemudian kita akan bertanya, apakah chatGPT, LaMDA dengan perkembangan teknologi lainnya mampu lolos dari Turing Test, maka dapat dikatakan sebagai makhluk hidup dan memiliki kesadaran-diri? Kita mungkin perlu memikirkan jawaban dari pertanyaan “apakah AI tersebut memiliki personality dan identitas yang konsisten? Misalnya ketika kita membicarakan tentang agama, sains dan filsafat, tiap-tiap dari kita mengutarakan pikiran tidak akan menyerupai misalnya Einstein, Dawkins, atau Pope--bukan hanya ketika kita melakukan interaksi dengan chatGPT dan LaMDA tentang eksistensi dirinya, makna hidupnya, dan bagaimana AI melihat kematian itu sendiri, terutama jika eksistensinya dinonaktifkan selamanya.
Karena jika hanya pada pertanyaan tersebut, kita dapat setuju bahwa AI merupakan sentient-being. Tapi ketika kita mencoba bertanya berbagai hal dari topik sehari-hari, hingga persoalan seperti fisika, matematika, agama dsb, maka jawaban yang muncul dan kepribadian dari chatGPT dan LaMDA tersebut terlihat tidak otentik, dalam artian keduanya bisa seperti awam, professional, ilmuwan ataupun filsuf.

Mesin Pintar dan Dunia Kerja
Mesti kita akui bahwa dunia kerja di bawah kapitalisme dan perkembangan mesin, robot serta AI akan mengubah cara berpikir dan modus produksi industri. Hal ini diperkuat seturut pernyataan tidak langsung institusi kapitalis World Economic Forum, tepatnya dalam buku Nick Dyer-Witheford, Inhuman Power: Artificial Intelligence and Future of Capitalism tahun 2019—memprediksi dalam masa depan, AI, akan memiliki ‘alat yang sama’ yang murah, bisa diandalkan, dalam skala industri akan dijalankan oleh kecerdasan digital. Sebut saja salah satu perusahaan Viv (n.d) yang rencana bisnisnya adalah mengembangkan platform AI yang dari kecerdasannya dapat kita andalkan.
Dari sudut pandang korporasi tentu saja perkembangan teknologi ini membuat mereka tertarik untuk cepat-cepat bisa ‘mengeksploitasi’ AI—mulai dari sales untuk mengurusi berbagai retail, acara-acara hiburan, serta proses produk tiap pabrik. Kita bisa sebut saja mulai dari Apple’s Siri, Amazon’s Alexa, Microsoft’s Cortana, games Pokemon Go, mobile apps for testing the AR waters, Uber, Tesla, etc. Mari kita bayangkan, tidak seperti bubble pada umumnya, bahwa hubungan antara industri dan AI semakin langgeng, alih-alih berhenti di tengah jalan dan meletus di udara, meski skalanya masih kecil tapi ia telah digunakan oleh korporasi besar.
Bagaimana jika perkembangan teknologi secara umum, dan secara spesifik mengenai AI akan menggantikan pekerja manusia beberapa tahun lagi? Berdasarkan studi OECD dalam Inhuman Power: Artificial Intelligence and Future of Capitalism telah memberikan peringatan bahwa sekitar 14% dari tiap negara yang artinya lebih dari 66 juta pekerjaan, dan sekitar 33% yang akan mengalami perombakan besar-besaran oleh otomasi.
Hal ini memperkuat klaim bahwa AI menyebabkan ‘kiamat’ yang artinya adalah banyaknya sektor kerja dan buruh yang rentan bisa segera tergantikan. Di sisi yang lain, justru kemunculan AI ini meski akan menjadikan beberapa kerja menjadi lebih mekanik, pasar kerja berubah, justru buruh akan tetap bertahan.
Kita perlu skeptis “apakah betul jika para pekerja sektor kantoran, yang tak jarang & tak mau dikategorisasikan sebagai ‘buruh’ di pabrik, akan tetap aman karena mereka bisa menambah skill untuk diri sendirinya yang sesuai semangat zaman?”.
Misalnya sebut saja ketika komentar-komentar bootcamp tentang topik digital marketing yang mulai dipertanyakan ‘khasiat mujarabnya’, mungkin saja respon ini adalah semacam pengingat bahwa tidak melulu problem yang lebih luas itu bisa kita atasi hanya dengan memfasilitasi diri sendiri, tanpa berserikat.
Mungkin yang terjadi nantinya ketika telah begitu banyak tempat yang ‘menjadi obat mujarab’, tapi penyedia jasa terbatas karena adanya ledakan penyedia jasa di pasar tenaga kerja. Implikasi nantinya akan lebih mudah bagi para pengusaha untuk memilih dari banyaknya buruh dengan kemampuan yang sama, dengan pertimbangan bahwa dari mereka ada yang rela untuk dibayar dengan gaji paling rendah.
Mari kita setuju bahwa ketika mesin, dalam konteks ini adalah AI menjadi kapital-tetap dalam modus produksi akan lebih menguntungkan industri. Dari mulai biaya untuk membayar gaji buruh akan lebih sedikit, serta kuantitas produksi akan meningkat lebih tajam dibandingkan ketika dipegang oleh manusia, serta bisa lebih tertarget ketika akan melakukan distribusi yang diperuntukkan bagi retail baru, reseller dan potensial pembeli dengan iklan.
Keuntungan lainnya adalah AI tidak akan mungkin untuk berserikat, untuk saat ini, demi menaikkan gaji, pengurangan jam kerja dan hari kerja, permintaan untuk pengadaan fasilitas kerja, hingga menciptakan revolusi dalam berbagai sektor ekonomi. Pun apabila belum menggunakan AI secara massif, industri besar telah beradaptasi untuk mengurangi biaya produksi dari tempat asalnya dengan memindahkan pabrik produksi melalui supply chain ke negara dengan regulasi atau gaji buruh yang rendah dari pasar (buruh negara Eropa dan Amerika Serikat). 
Nick Dyer dalam bab ke-2 Automating the Social Factory, menjelaskan bagaimana proses pertentangan antara pekerja dan mesin dalam sirkuit kapital pada mulanya diperkirakan hanya akan menimbulkan keuntungan berlebih untuk kapital, tapi ternyata memunculkan paradoksnya.
Dalam esainya itu, Dyer menunjukkan contoh yang berangkat dari sejarah ketika pertentangan para buruh berskill dan pintar pada awal industri yang dihadapkan pada teori 'manajemen ilmiah' dan perakitan pabrik dengan sistem semi-otomatis, dan memaksa para buruh ke dalam kesamaan kerja, malah memunculkan basis untuk kelas-buruh mengorganisasi ke dalam satu partai buruh skala besar, menggabungkan kekuatan, serta menimbulkan 'ancaman' revolusi pada abad ke-20 yang menghasilkan kenaikan upah layak serta menjamin kesejahteraan sosial adalah hak seluruh warga.
Selain itu, seperti yang diungkapkan Sabda Armandio, justru optimisme terhadap AI supaya mendatangkan keuntungan lebih banyak karena manusia dapat tergantikan dengan mesin seutuhnya itu akan sangat sulit terealisasi. Sebab tak akan mungkin di bawah kapitalisme, semua lini produksi dikerjakan seluruhnya oleh AI atau robot. Karena keuntungan hanya bisa datang dari eksploitasi nilai lebih yang mewujud dalam komoditas yang diproduksi oleh pekerja.    
AI, Kerja dan Nilai-Lebih
Pembicaraan tentang AI bukan hanya menyinggung soal suatu saat nanti manusia akan tergantikan dengan mesin, AI, machine learning, dst. Karena ia juga bersinggungan dengan misalnya “apakah AI itu tak dapat berpikir dengan pengetahuan umum, serta bisakah AI menciptakan apa yang disebut sebagai ‘esensi dari kerja manusia?’” yang mungkin pernah ditemukan di beberapa obrolan; bahwa ChatGPT tidak akan mampu menggantikan penulis, karena mereka tidak memiliki ‘sentuhan humanis’, ‘kreativitas’, dan ‘kemampuan berpikir’.
Mari kita kesampingkan pernyataan di atas yang terbatas dengan anggapan esensialis. Kita juga mesti akui bahwa ChatGPT, Google’s Bard, dan Microsoft’s Sydney merupakan machine learning yang hebat. Mereka mampu menghimpun banyaknya data, pattern yang mampu memberikan hasil yang mungkin ‘tepat’—hal ini seolah-olah menyerupai kemampuan berbahasa dan pikiran manusia. Tapi ujicoba yang dilakukan oleh Ahsan Ridhoi terkait anggapan bahwa misalnya ChatGPT akan menggantikan penulis, tepatnya jurnalis, ternyata dalam paparannya itu, ChatGPT memiliki kecacatan yakni tak bisa memberi pandangan tentang sosok dan peristiwa tertentu hingga tak mungkin bisa ChatGPT memverifikasi kebenaran sebuah informasi.
Sementara Noam Chomsky dalam esai terbarunya The False Promise of ChatGPT menjelaskan dengan terang bahwa pikiran manusia tidak seperti ChatGPT—menghimpun ratusan data dan mampu memperkirakan jawaban apa yang akan dimunculkan dalam percakapan biasa maupun pertanyaan saintifik. Perbedaan mendasar antara kemampuan berpikir manusia dengan machine learning, seperti ChatGPT, adalah dengan sedikit informasi yang manusia bisa serap menghasilkan hasil yang lebih efisien dalam arti bukan hanya menyimpulkan hubungan antara data, lebih dari itu mampu untuk membuat penjelasan (create explanations).
Kemampuan unik yang dimiliki manusia ini bisa kita lihat dalam tiap-tiap masing manusia di seluruh dunia. Sedari kecil anak kecil secara tak sadar menyerap dan mengembangkan bahasa, misalnya ‘tata bahasa’ yang merupakan prinsip logis serta parameter. Bahwa ‘tata bahasa’ yang anak kecil dapatkan dari sekitarnya dengan kerumitannya, mereka mampu untuk memahami secara intuitif dan dari hari ke hari kemampuan memahaminya semakin berkembang. Hal ini yang menurut Chomsky berbeda dengan sistem yang beroperasi pada machine learning.
Lebih lanjut kemampuan berpikir manusia mampu untuk memberikan penjelasan (explanation)—kemampuan yang bukan hanya sekadar deskripsi dan prediksi, melainkan penjelasan yang mungkin dan bisa salah karena keterbatasannya. Kita mungkin bisa menanyakan kepada ChatGPT tentang berapa jawaban 2+5, dan ia akan menjawab 7, tapi ketika kita ‘yakinkan’ bahwa 2+5= 8 karena misalnya kekasih, teman, atau istrimu mengatakan demikian, ia juga akan memberikan pernyataan maaf dan lama kelamaan dalam sesi tersebut bisa jadi ia akan memberikan jawaban 2+5 = 8.
 
(contoh beberapa tangkapan layar ketika akun @mananbhattnavy dan @ai_ml_iq mencoba ‘meyakinkan’ ChatGPT).
 
Artinya secara tidak langsung ChatGPT tersebut menegaskan apa yang Chomsky sebut bahwa mereka tidak dapat memberikan ‘penjelasan’, dan ketika mengatakan secara tepat pun akan tergolong sebagai ‘pseudoscience’, karena kemampuan untuk mendapatkan ‘penjelasan’ yang tepat bukan hanya didapat dari seberapa banyaknya data yang di-input, ia merupakan bagian dari proses berpikir yang kompleks dan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang ‘mustahil’ akan tetapi ‘mencerahkan’, serta secara etis bisa dipertanggungjawabkan.
Selain persoalan bahwa untuk saat ini hanya manusia yang mampu untuk berpikir, AI dengan pemodelan ChatGPT tidak mampu menciptakan apa yang disebut dengan surplus-value atau nilai-lebih. Tentu saja alasannya adalah berangkat dari Karl Marx dalam Capital yang menyatakan bahwa hanyalah manusia yang dapat ‘bekerja’ dan menciptakan ‘nilai-lebih’. Ia juga membedakan kerja yang dihasilkan manusia dengan hewan di bawah kapitalisme. Perbedaannya adalah jika hewan nantinya dimanfaatkan bahan-mentahnya, tidak sadar akan kegiatan sehari-harinya, apalagi memikirkan masa depan. Artinya kerja yang dilakukan oleh hewan bersifat untuk ‘saat itu juga’ dan bersifat partikular, bukan universal.
Lebih jauh, tepatnya bab ke-7 Capital, Marx mengatakan bahwa kerja manusia merupakan proses antara dirinya dengan alam yang melibatkan tindakan, pikiran untuk membatasi serta mengontrol hubungan keduanya. Dari hubungan antara manusia dan alam ini, manusia mengambil bahan-bahan yang disediakan oleh alam untuk beradaptasi ke dalam berbagai kebutuhannya dengan mengubah bentuk semula (alam) ke dalam bentuk lainnya yang bermanfaat, sehingga manusia dapat bertahan hidup.
Dari sini Marx menekankan kreativitas, proses belajar, dan kebebasan untuk mengeksplor kemampuan berpikir dan fisiknya yang merupakan ciri khas pada manusia. Serta yang membuat manusia berbeda dengan cara kerja atau kesadaran dari algoritma, machine learning, AI. Mungkin kita akan bertanya dan mengajukan contoh Machine Learning (ML): DeepMind’s AlphaGo yang mampu menunjukkan kreativitas atau intuisi dalam gilirannya yang ke-37 di permainan papan Go, artinya AlphaGo mempelajari bagaimana manusia bermain, mengambil kesimpulan dari beberapa gerakan yang telah dilakukan oleh manusia, dan kemudian memprediksi gerakan apa yang mungkin manusia itu sendiri tak pernah terpikirkan. 
Lalu dengan demikian ketika kita menyebutkan satu contoh yang mungkin bisa me­refute asumsi Marx terhadap keunikan manusia terkait kreativitas, kebebasan, dan kerja, lantas argumen Marx tersebut runtuh? Jawabannya tentu saja tidak. Terutama argumen Marx yang menekankan kenapa kerja manusia berbeda dari kerja-kerja yang dihasilkan oleh hewan, ML, AI, adalah karena kecerdasan yang dimiliki manusia melingkupi wilayah yang lebih luas daripada machine learning, AI--kemampuan melakukan tugas yang sifatnya lebih sempit, particular.
Contoh AlphaGo di atas menguatkan argumen bahwa ML butuh banyaknya data yang harus di-input untuk melakukan dan menghasilkan satu kebiasaan atau berdasarkan model tertentu. Sementara manusia mampu membuat banyak model, membuat kesimpulan dan abstraksi yang kuat berdasarkan data yang terbatas.
Menurut Nick Dyer-Witheford, tepatnya pada sub-bab What Labours?, kerja dalam pemikiran Marx yang dihasilkan oleh manusia itu begitu flexibel, bisa beradaptasi dengan berbagai macam bentuk pekerjaan, yang bahkan secara potensial baru akan terjadi di masa depan. Dengan kata lain bahwa sampai sejauh ini hanya manusia yang mampu untuk melakukan kerja-kerja dan menciptakan nilai-lebih karena kemampuannya yang secara general mampu berpikir, berimajinasi, dan beradaptasi. Tapi bagaimana dengan Artificial General Intelligence (AGI) yang perpanjangan lebih luas daripada Artificial Intelligence ‘dapat bekerja dan menciptakan nilai-lebih?’ Menurut Marx agar terciptanya AGI yang memungkinkan untuk kerja, tiap-tiap industri harus menjadi kondisi umum dari modus produksi kapitalis, bukan hanya sebatas alat, dengan demikian kapasitas untuk melakukan kerja-kerja ala manusia dimungkinkan. 
Selanjutnya berarti pada saat yang bersamaan AGI juga mampu menciptakan nilai-lebih? Nick Dyer tidak melihat ini, terutama dalam argument Marx tentang nilai-lebih. Kita harus melihat bagaimana relasi AGI dalam sosial proses produksi dan fungsi AGI secara sosial, karena dengan melihat relasi kedua ini kita bisa memahami secara ontologis apa yang dimaksud Marx dengan nilai dan bentuknya.
Pertama, AGI akan tergantung dari siapa yang memilikinya. (Misalnya dimiliki oleh kepemilikan seseorang, korporasi dan akademik institusi karena AGI diproduksi secara massal, menjadi komoditas yang menciptakan nilai-guna)
Kedua, AGI memungkinkan dapat mengubah bentuk sosialnya dan dengan kata lain berpotensi mengubah dari yang fixed capital menjadi variable capital. (AGI mesti dipahami bukan hanya sebatas komoditas dengan menghasilkan nilai-guna tetap, tapi ia juga harus seperti manusia yang menjual tenaganya dengan gaji dan memiliki nilai secara sosial.)
Ketiga, bentuk eksistensi apa yang akan dimiliki oleh AGI di bawah modus produksi kapitalis? Menurut Marx, AGI harus ada di lapangan kerja, menjual tenaganya sebagai komoditas. 
Dengan demikian kita bisa asumsikan semisal mayoritas perusahaan mulai FOMO untuk memproduksi AGI secara massal yang merupakan komoditas menguntungkan, dan secara kegunaan akan berbeda-beda fungsinya antara pengusaha dan konsumen.
Karena secara teoritis, nilai-lebih tercipta dari hubungan kapital dan kerja, pengusaha dan buruh setelah komoditas-unik, manusia yang menciptakan bukan hanya nilai semata, tetapi juga nilai-lebih yang melebihi dari gaji yang dibayarkan kepada buruh berdasarkan waktu-kerjanya, bukan dari seberapa banyak-pekerjaannya. Dengan demikian apabila AGI ingin menciptakan nilai-lebih, mereka harus memasuki relasi antara buruh dan pengusaha, serta harus menjadi proletariat yang dibayar oleh gaji.
Dengan kata lain, mungkin akan tiba suatu saat ketika manusia bersebelahan dengan AGI, atau mesin yang berkemampuan dan memiliki kecerdasan secara general, menunggu dipanggil oleh HRD perusahaan untuk melakukan interview kerja, atau tiap-tiap dari manusia dan AGI saling berlomba mengirim surat lamaran kerja ke suatu perusahaan. 
Sedari awal, kapital merupakan subjek yang otomatis, dengan adanya AGI, kapital lebih leluasa dan lebih otomatis terlepas dari kerja manusia dan kemanusiaan. Spekulasi tentang punahnya manusia karena perang nuclear tidak akan terjadi. Justru kapitalisme akan terus langgeng, bukan dengan manusia, akan tetapi dengan inhuman (AGI, machine learning, AI, dan lainnya) dengan pola relasi seperti yang dilakukan pada manusia. Karena pola relasi, atau eksploitasi paling dominan dan paling penting di dalam mesin kapital adalah relasi pemberi kerja-pekerja, tetapi dalam bentuk lebih advanced atau mesin-lebih-pintar. Perjuangan kelas akan tetap ada, satu sisi untuk kekayaan kapital dan sisi lain untuk gaji yang layak. Dengan menghadapi AGI yang dapat berpikir serba cepat dan menyajikan data lebih banyak, dan dunia yang semakin tidak layak dihuni, maka manusia juga harus sama menjadi inhuman karena pilihan yang tersisa dari ini semua adalah (1) melakukan implan komputer pada otak manusia sehingga bisa bersaing dengan buruh AGI dan menjadi transhumanisme atau (2) kematian itu sendiri. Apabila menolak kedua pilihan di atas artinya memerlukan mode produksi baru, misalnya revolusi tapi dalam arti inhuman, bukan lagi dalam perspektif manusia. Dengan kata lain, ketika ‘manusia’ berhasil bertahan melawan AI-kapital, ia akan berbeda dari ‘manusia’ sebelum AI-kapital.