Apakah Sekarang Kematian Kurang Menakutkan?

Kenapa Banyak Orang Merasa di Ambang Kematian?

Di era modern, tekanan hidup semakin tinggi. Banyak orang merasa mati-matian menghadapi masalah, entah karena tekanan pekerjaan, ekonomi, atau hubungan sosial. Beberapa bahkan sampai mencari kalkulator kematian untuk menghitung berapa lama mereka akan hidup. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

Tanda-Tanda Kematian yang Harus Diketahui dalam Kesehatan Mental

Bukan hanya fisik, tetapi kesehatan mental juga bisa menunjukkan tanda-tanda kematian yang harus diwaspadai, seperti:

  • Merasa kehilangan harapan dan tujuan hidup
  • Tidak lagi menikmati hal-hal yang dulu disukai
  • Menjauh dari keluarga dan teman
  • Perubahan drastis dalam pola tidur dan makan

Jika kamu atau orang terdekat mengalami tanda-tanda ini, segera cari bantuan. Ada banyak orang yang peduli dan siap membantu!

Mengapa Bunuh Diri Bukan Solusi?

Banyak orang berpikir bahwa cara bunuh diri adalah jalan keluar dari penderitaan. Padahal, ada banyak cara lain yang jauh lebih baik untuk mengatasi masalah. Seorang psikolog atau terapis bisa membantumu menemukan solusi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Bagaimana Cara Menghadapi Pikiran Negatif?

  1. Bicara dengan Orang yang Dipercaya
    Jangan diam sendiri! Buka percakapan dengan keluarga, sahabat, atau profesional kesehatan mental.

  2. Jangan Percaya dengan Kalkulator Kematian
    Hidup bukan soal angka. Kamu masih bisa mengubah segalanya dan menemukan kebahagiaan.

  3. Cari Kegiatan yang Membantu Mental Lebih Sehat
    Olahraga, meditasi, atau sekadar berjalan-jalan di alam bisa membuat pikiran lebih jernih.

  4. Dapatkan Bantuan Profesional
    Jika kamu merasa di ambang kematian secara emosional, cari bantuan segera. Banyak organisasi dan layanan hotline yang bisa membantumu.

Kesimpulan: Hidup Itu Berharga!

Jangan biarkan pikiran negatif menguasaimu. Ingat, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Kamu tidak sendiri, dan masih banyak orang yang peduli padamu. Jika merasa terpuruk, segera cari bantuan dan percayalah bahwa hidup bisa berubah menjadi lebih baik!

Angka bunuh diri di Indonesia menukik tajam dalam 5 tahun terakhir. Apa memang sekarang kematian jadi tak lagi menakutkan?

Kematian memang peristiwa fisik, namun ia juga fenomena kemasyarakatan yang maknanya dikonstruksi secara sosial. Lihat saja, misalnya, masyarakat Toraja. Riset Ismail (2019) menyebutkan bagi orang Toraja, orang yang sudah meninggal belum sepenuhnya pergi sebelum diadakan upacara kematian Rambu Solok. Jasad dilihat sebagai orang yang “sakit” dan perlu diantar menuju alam Puya (akhirat) dengan ritual pengorbanan beberapa ekor sapi atau babi yang disesuaikan dengan kelas sosial. Contoh lain adalah masyarakat Jawa. Bagi mereka, roh masih ada di dalam rumah sampai 100 hari setelah kematian. Maka dari itu mereka melakukan peringatan (ritual) selamatan untuk menghormati roh dalam beberapa tahap: 3 hari, 7 hari, 40 hari, dst. Perbedaan ini disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing.

Masyarakat di berbagai tempat di dunia pun menganggap kematian sebagai sesuatu yang sakral yang perlu “dihormati” (Uberman, 2018). Di belahan Afrika, masyarakat Zulu melihat kematian tidak hanya sebagai penghormatan untuk yang orang yang meninggal tapi juga perlindungan terhadap diri dan keluarga yang ditinggalkan. Menurut penelitian Gluckman (dalam Norbeck, 1963) atas masyarakat Zulu, kematian yang tidak diantarkan dengan baik dipercaya akan menimbulkan malapetaka dan kesialan bagi yang ditinggalkan. 

Masuknya pengaruh agama ternyata juga menyuburkan pemikiran sakral tentang kematian. Di Islam misalnya, ada tradisi ziarah kubur yang bertujuan menjadi pengingat akan kehidupan akhirat, bahwa kematian adalah pintu yang membawa manusia menuju kehidupan kekal sehingga penganutnya harus selalu mempersiapkan diri.

Kematian dengan demikian tidak dianggap sebagai garis finish atau pintu exit, melainkan ruang tunggu untuk sesuatu yang lain–entah untuk reinkarnasi, berkumpul di alam barzah, menuju alam Puya, dsb. Kematian dijamu dengan baik, termasuk dengan memberikannya tempat yang layak entah itu dalam bentuk makam atau kolumbarium. 

Tapi bukan berarti masyarakat dahulu tidak kepikiran untuk bunuh diri. Tradisi Jahuar di India misalnya, memperlihatkan bagaimana perempuan menjaga kehormatannya dengan melemparkan diri mereka ke kobaran api. Bunuh diri dalam urgensi menjaga kehormatan juga dilakukan laki-laki Jepang lewat tradisi harakiri.

Lantas, bagaimana caranya memahami seorang yang gantung diri karena terlilit pinjol, atau pelajar yang terjun bebas setelah diputuskan oleh pacarnya?

Setelah Perang Dunia Kedua, kita memasuki era modern yang dielu-elukan sebagai zaman “pencerahan”. Meskipun wacana ini khas dan condong ke Barat, tetapi pemikiran modern telah merasuk ke budaya masyarakat di berbagai belahan dunia. Modernitas telah memaksa segala hal menjadi masuk akal, termasuk kematian. Apa yang ditakutkan dari kematian kini mulai berusaha dicerna dari kacamata rasionalitas modern. Jika tidak ada kasus mendadak seperti kecelakaan, manusia akan menemui ajal karena permasalahan fungsi biologis tubuh. Namun yang terjadi sekarang, kemajuan teknologi dan canggihnya alat-alat kedokteran menciptakan kesan bahwa kematian seakan bisa ditunda, dicegah, atau “ditipu” (lihat Vincent, 2003). Hal ini beriringan dengan semakin tingginya harapan hidup, yang berdampak pada menurunnya wibawa kematian sebagai sosok yang meneror seseorang dan orang-orang dekat.

Aries (dalam Teodorescu & Jacobsen, 2019) menyebut situasi ini sebagai ‘tamed death’ atau kematian yang dijinakkan. Istilah ini menjelaskan kematian di era modern yang bukan sekadar fenomena teknis ketika mana organ tubuh tidak lagi berfungsi dan tidak bisa ditolong oleh alat-alat medis. Kita tidak tahu mana yang bisa disebut dengan “mati” yang sebenarnya: jantung yang tidak berdetak? Kematian otak? Atau sejak pasien masuk ke ruang ICU dan dokter berkata pada keluarga “maaf, hidupnya tidak lama lagi”?

Selain kecanggihan teknologi, modernitas juga membawa kita dunia yang serba kapitalis. Dalam kasus masyarakat Zulu, semakin sempit dan mahalnya lahan membuat masyarakat mau tidak mau mencari jalan tengah agar tetap bisa memakamkan keluarganya dengan layak. Masyarakat mulai mengadakan pemakaman yang lebih sederhana. Di sisi lain, upacara Rambu Solok juga mendapat kritikan dari kaum muda karena pemborosan yang mereka anggap bisa dikurangi.

Mediasi-mediasi semacam ini hadir karena adanya tuntutan material yang semakin kentara, hingga lambat laun mengkurasi tradisi-tradisi yang panjang, rumit, dan memakan biaya. Belum lagi dengan adanya fenomena besar yang mengubah sistem sosial seperti wabah HIV di Afrika atau Covid-19 di hampir semua negara, membuat masyarakat lebih berhati-hati melakukan ritual dan lebih realistis memandang berbagai hal termasuk kematian.

Dalam masyarakat adat, kematian adalah urusan komunal karena apa yang terjadi pada individu adalah bagian dari urusan kelompok –I am because we are, and since we are, therefore I am (Selin & Rako, 2019). Perubahan situasi sosial dan masifnya intrusi kapitalisme membuat kelompok tidak lagi mampu mempertahankan semua anggotanya, hingga pada akhirnya mereka akan mencari jalannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, individualisme menjadi survival mode, sehingga kematian menjadi musuh yang harus dihadapi sendirian.

Tapi apakah dengan berkurangnya bobot pemaknaan terhadap kematian akan melemahkan sosoknya? Ritual terhadap kematian sejatinya menjadi pengingat tentang kehidupan lain yang abadi. Lunturnya nilai-nilai ritual tampaknya juga melemahkan pengetahuan ini. Kematian lantas dilihat sebagai wujud keputusasaan, sebuah lubang yang akan menghisap segala penderitaan. 

Apa yang dipikirkan Thanos di seri Avengers dengan begitu bisa dipahami. Kematian bertugas melenyapkan diri dan membawanya pada ketiadaan—bukan alam baka, alam Puya, atau apapun yang tidak bisa dijangkau dengan akal dan logika. Kematian bahkan bisa menjadi solusi, karena hidup terlalu serba sebab-akibat dan butuh jawaban konkret.