Api di Balkan Bermula dari Lapangan Bola

Harga perdamaian sangatlah mahal di Slavia Selatan. Saking mahalnya, perdamaian di sana tak lagi bisa diukur dengan harta benda dan emas permata, melainkan dengan nyawa. Ribuan, bahkan jutaan nyawa. Wilayah yang lebih luas dikenal dengan nama Balkan ini punya sejarah pertumpahan darah yang amat panjang.

Sebagai wilayah yang menjadi halaman belakang Laut Mediterania, Balkan merupakan salah satu daerah yang paling sering diperebutkan dan berganti tuan dalam sejarah umat manusia. Lokasinya sangat strategis. Dalam perkembangan sejarahnya, ia menjadi titik temu kebudayaan Romawi dan Yunani serta kebudayaan Kristiani dan peradaban Islam. Oleh karenanya, wajar bila di wilayah ini pada akhirnya banyak bermunculan kelompok-kelompok etnis kecil. Dan konflik, berdarah atau tidak, adalah hal biasa. Perang Dunia I bahkan bermula dari sini. 

Milos Obilic adalah salah seorang ksatria yang lahir dari sejarah panjang konflik di Balkan. Ia adalah mitos. Ia adalah legenda. Ia adalah simbol yang mendefinisikan apa arti keberanian, kekuatan, dan kepahlawanan bagi rakyat Balkan, khususnya etnis Serbia. Obilic adalah martir yang amat berjasa dalam peperangan melawan Kekaisaran Ottoman di abad ke-14. Dalam Pertempuran Kosovo, Obilic berhasil memenggal kepala Sultan Murad I sebelum akhirnya dieksekusi mati oleh para serdadu Turki. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama kota tempat peperangan tersebut berlangsung.

Enam abad berselang, nama Obilic kembali menggaung di Balkan. Namun, kali ini, ia tak lagi berwujud manusia. Namanya menjelma menjadi sebuah klub sepak bola. FK Obilic adalah nama klub tersebut. Klub tersebut berlokasi di Beograd, alih-alih di kota Obilic di Kosovo. Didirikan pada 1924, klub ini sama sekali belum pernah merasakan nikmatnya menjadi juara sampai tahun 1998. Gelar juara itu menjadi milik mereka yang pertama sekaligus terakhir.

Kejayaan singkat FK Obilic di akhir abad ke-20 tersebut bisa terwujud atas jasa seorang pria bernama Zeljko Raznatovic, atau yang dikenal luas dengan panggilan Arkan.

Arkan pun seorang panglima. Akan tetapi, pasukan pimpinannya merupakan pasukan paramiliter Serbia yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM khususnya terhadap etnis Serbia dan Albania dalam Perang Balkan pada awal hingga pertengahan dasawarsa 1990an. Arkan, bersama pasukan pribadinya yang bernama Arkan Tigers, dalam situasi kacau tersebut, menjadi salah satu orang paling berkuasa di Yugoslavia.

Arkan lahir pada tahun 1952. Ayahnya, Veljko, adalah seorang perwira tinggi di Angkatan Udara Yugoslavia. Veljko sendiri meraih pangkat tinggi di dinas kemiliteran kurang lebih atas jasa-jasanya di masa Perang Dunia II. Di masa perang tersebut, Veljko tergabung ke dalam kelompok Partisan yang dianggap berjasa membebaskan Yugoslavia dari pendudukan asing. Nasionalisme dan heroisme di keluarga Arkan merupakan santapan sehari-hari.

Sejak berusia belasan Arkan sudah menjadi seorang kriminal. Sudah tak terhitung berapa kali ia keluar masuk tahanan remaja. Di usia belasan tersebut, ia bahkan sudah mulai mengorganisasi geng penjaranya. Karena kesal, ayahnya kemudian mengirim Arkan ke Montenegro untuk bergabung ke Angkatan Laut Yugoslavia.

Namun, Arkan tidak pernah sampai ke Montenegro.

Ia justru memilih untuk kabur ke Eropa Barat untuk meneruskan karir kejahatannya. Di usia 20-an, ia melakukan banyak tindak kejahatan di Eropa Barat. Spesialisasinya adalah perampokan bersenjata. Mengetahui hal ini, pemerintah Yugoslavia sendiri bukannya khawatir. Mereka justru menganggap Arkan sebagai aset untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor, seperti membunuh para ‘pembelot’ dan ‘informan’. Kehidupannya yang selalu berada di bawah tanah ini juga yang memaksanya untuk menggunakan banyak nama samaran dan nama ‘Arkan’ ia ambil dari salah satu identitas palsunya.

Dalam ‘petualangannya’, Arkan tak jarang tertangkap dan diharuskan mendekam di tahanan tetapi, berulang kali, dia mampu kabur dari tahanan dan kemudian berpindah negara. Begitu seterusnya hingga dia kembali ke tanah kelahirannya pada 1983.

Sekembalinya ke Beograd, Arkan langsung membangun imperium bisnis hitamnya. Perampokan demi perampokan dilakukannya. Di setiap perampokan, ia selalu meninggalkan tanda berupa sekuntum mawar di tempat teller.

Keterlibatan Arkan di dunia sepak bola berawal ketika dia mulai menghimpun suporter militan Red Star menjadi semacam kelompok paramiliter. Rumah Arkan yang terletak di seberang Stadion Marakana membuatnya dikenal oleh para suporter. Reputasinya yang mengerikan membuatnya ditakuti di kalangan ultras Red Star, Delije. Dalam Bahasa Serbia, "delije" berarti pahlawan. Sebagian anggota Delije ini kelak juga akan terlibat di pasukan paramiliter multinasional Arkan Tigers.

Dalam mendidik para ultras tersebut, Arkan menerapkan disiplin militer. Mereka dilarang minum minuman keras, diharuskan memiliki potongan rambut cepak, dan tentunya diberi latihan-latihan militer. Mereka memang disiapkan untuk berperang.

Sebelum sungguh-sungguh diterjunkan di medan laga, Delije binaan Arkan sudah terlebih dahulu dimanfaatkan untuk melakukan berbagai provokasi. Salah satu aksi provokasi Delije itu terjadi pada 13 Mei 1990 ketika mereka mendampingi Red Star bertandang ke markas Dinamo Zagreb, Stadion Maksimir. Provokasi tersebut, nantinya, bakal berujung pada salah satu peristiwa terpenting yang menandai awal mula Perang Balkan.

***

Sebagai sebuah negara, Yugoslavia mulai eksis setelah Perang Dunia I berakhir pada 1918. Akan tetapi, ide mengenai keberadaan sebuah negara berdaulat untuk orang-orang Slavia Selatan sudah mulai muncul tiga abad sebelumnya. Ide ini muncul dari kemuakan orang-orang Slavia Selatan yang tanahnya selalu dijadikan rebutan oleh kerajaan-kerajaan masa silam.

Memasuki abad ke-20, sebagian besar Slavia Selatan berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Austria-Hongaria. Pada Perang Dunia I, Kekaisaran Austria-Hongaria tergabung dalam kelompok Poros bersama Kekaisaran Jerman, Turki Usmani, serta Bulgaria. Menghadapi pasukan Sekutu yang berisikan 11 negara, termasuk Serbia, tentara Poros mengalami kekalahan.

Impaknya, Kekaisaran Austria-Hongaria pun bubar. Setelah itu, Kerajaan Yugoslavia didirikan dengan bergabungnya Slovenia dan Kroasia ke dalam Kerajaan Serbia. Mulanya, Kerajaan Yugoslavia itu bernama Kerajaan dari Orang-orang Serbia, Kroasia, dan Slovenia. Nama Kerajaan Yugoslavia (yang berarti “Tanah Orang-orang Slavia Selatan”) baru resmi muncul pada 1929.

Kerajaan Yugoslavia ini tidak bertahan lama karena bubar setelah diinvasi oleh Nazi pada Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II selesai dan Nazi (beserta Italia dan Jepang sebagai anggota Poros) mengalami kekalahan, dibentuklah sebuah negara sosialis baru bernama Yugoslavia. Negara ini dipimpin oleh seorang panglima militer bernama Josip Broz Tito. Dunia mengenalnya dengan nama Marshal Tito.

Selama hampir empat dasawarsa, Marshal Tito berhasil meredam perbedaan-perbedaan etnis di Yugoslavia. Padahal, potensi permusuhan itu sesungguhnya amat besar dan ini disebabkan oleh keberpihakan sebagian orang Kroasia kepada Nazi lewat pasukan Ustase. Pasukan Ustase itu ikut serta dalam membantai orang-orang Yahudi, Romani, serta Slavia. Mereka percaya propaganda Nazi yang menyebut bahwa orang Kroasia adalah bagian dari etnis Jermanik, bukan Slavia.

Tito berhasil meredam semuanya. Semua orang Yugoslavia sudi mengesampingkan segala yang membuat mereka berbeda demi dirinya. Namun, justru itulah yang membuat persatuan Yugoslavia rapuh. Sepeninggal Tito pada 1980, retakan-retakan membesar. Tak jarang, kebencian antar-etnis di Yugoslavia itu ditampilkan lewat sepak bola.

Di antara para penduduk Yugoslavia, etnis Serbia dan Kroasia merupakan yang jumlahnya paling besar. Berdasarkan sensus 1981, 36,3% penduduk Yugoslavia beretnis Serbia dan 19,7% beretnis Kroasia. Sebagai dua etnis terbesar, Serbia dan Kroasia pun jadi yang paling sering  terlibat perseteruan. Di sepak bola, perseteruan ini disimbolkan lewat Red Star (Crvena Zvezda) dan Dinamo Zagreb.

Pada 13 Mei 1990, Red Star dan Dinamo dijadwalkan bersua dalam sebuah pertandingan liga. Pertandingan tersebut digelar hanya beberapa hari setelah pemilu Kroasia dilangsungkan. Fungsi pemilu itu adalah untuk memilih anggota parlemen. Hasilnya, Partai Komunis (SKH-SDP) berhasil digulingkan. Partai Uni Demokrasi Kroasia (HDZ) pimpinan Franjo Tudjman keluar sebagai pemenang.

Tudjman adalah tokoh nasionalis Kroasia yang punya peran besar dalam mengampanyekan kemerdekaan negerinya dari Yugoslavia. Kelak, dia pun bakal jadi presiden pertama negara tersebut. Namun, pada 1990, Kroasia masih berada di bawah kendali Yugoslavia dan Turdjman pun dianggap sebagai musuh negara. Delije, pada 13 Mei, datang ke Zagreb tidak cuma untuk menyokong Red Star tetapi juga untuk memaki-maki Tudjman beserta para pendukungnya. 

Sebagian besar pendukung garis keras Dinamo, Bad Blue Boys, merupakan kaum nasionalis, sama seperti Tudjman. Banyak dari mereka yang di kemudian hari bergabung ke angkatan bersenjata Kroasia, sama seperti Delije yang masuk ke angkatan bersenjata Yugoslavia. Dari situ saja sudah bisa dibayangkan betapa panasnya suasana Stadion Maksimir.

Di ruang ganti stadion, pemain dan staf dari kedua kesebelasan juga memahami bahwa mereka tidak akan memasuki lapangan sepak bola, melainkan medan pertempuran. Di antara mereka terdapat seorang pemuda 21 tahun yang mengenakan kostum biru-putih Dinamo. Nama pemuda itu Zvonimir Boban.

***

Boban bukan orang Zagreb. Dia dilahirkan di kota kecil Imotski yang terletak dekat Bosnia-Herzegovina pada 8 Oktober 1966. Bakat sepak bolanya membawa Boban berkelana sejak masih belia. Pada 1981, kala baru berusia 15 tahun, Boban sudah harus berdomisili di Split sebagai pemain akademi Hajduk Split. Dua tahun kemudian, dia direkrut oleh Dinamo untuk menjalani pendidikan tahap akhir di akademi klub.

Boban masuk tim senior Dinamo pada 1985 dan langsung menjadi andalan. Sebagai seorang gelandang serang, dia tidak cuma berteknik tinggi dan kreatif tetapi juga memiliki etos kerja bagus. Dia tak segan mengejar bola yang hilang dari kakinya serta membantu pertahanan. Inilah mengapa dia bisa bermain di lebih dari satu posisi. Inilah mengapa Boban adalah salah satu talenta muda terbesar Yugoslavia pada paruh kedua 1980-an.

Kendati bukan orang asli Zagreb, Boban tidak bisa dipisahkan dari Dinamo Zagreb. Ada kebanggaan besar dalam dirinya ketika berlaga mengenakan kostum tim tersebut. Perlahan tapi pasti, marwah Dinamo di sepak bola Yugoslavia diangkat oleh Boban. Pada musim 1989-90, Dinamo menjadi pesaing terberat Red Star dalam memperebutkan trofi juara Liga Utama Yugoslavia.

Maka, pada 13 Mei 1990 itu, Dinamo tidak cuma berhadapan dengan Red Star sebagai simbol nasionalisme Kroasia. Mereka juga turun gelanggang sebagai salah satu tim terkuat di Yugoslavia. Sayangnya, Dinamo tidak punya kesempatan untuk menunjukkan kehebatannya karena pertandingan tersebut cuma berjalan selama 10 menit.

Sejak sebelum laga dimulai aksi saling ejek dan lempar sudah terjadi di tribun stadion, mirip apa yang terjadi di Heysel lima tahun sebelumnya ketika Juventus dan Liverpool bersua dalam final Piala Eropa. Saat Dinamo dan Red Star memasuki lapangan, yang terlihat adalah kepulan asap dan ribuan manusia yang tiada berhenti bersumpah serapah.

Setelah sepuluh menit, wasit memutuskan pertandingan tak bisa diteruskan. Lapangan permainan diinvasi. Para anggota Bad Blue Boys berusaha merangsek ke tribun yang diisi sekitar 1.500 Delije, termasuk Arkan sendiri. Namun, upaya ultras Dinamo itu tak berhasil. Sebab, sebelum bisa menyerang para Delije, mereka sudah terlebih dahulu dipukuli oleh polisi.

Pemandangan itu memancing amarah Boban. Rasa tidak suka terhadap Yugoslavia berubah menjadi kebencian. Tanpa berpikir dua kali, Boban pun menendang dada seorang polisi yang dilihatnya sedang mengejar suporter Dinamo. Polisi itu bernama Refik Ahmetovic, orang Bosnia.

Seketika setelah invasi ke lapangan terjadi, sebagian besar pemain dan staf Dinamo serta Red Star sudah tunggang langgang masuk ruang ganti. Namun, Boban adalah kapten Dinamo. Dia punya tanggung jawab terhadap tim, bukan cuma kepada rekan-rekan dan pelatih tetapi juga para suporter yang senantiasa mengelu-elukan namanya. Boban pun bertahan di lapangan.

Boban melihat jelas perbedaan perlakuan aparat terhadap Bad Blue Boys dan Delije. Dia pun berteriak, "Mana polisi?! Mana polisi?!" Dan ketika melihat Ahmetovic mengejar seorang suporter Dinamo, Boban kehilangan kontrol diri.

***

Tendangan Boban ke dada Ahmetovic itu disebut-sebut sebagai "tendangan yang memulai sebuah perang" dan amatlah wajar jika anggapan demikian muncul. Sebelum pelor dimuntahkan dan mortar dilontarkan, kerusuhan di Stadion Maksimir adalah kontak fisik pertama yang terjadi antara orang Serbia dan Kroasia dalam skala besar.

Apa yang dilakukan Boban itu menjadi berarti besar. Boban adalah figur penting di Kroasia dan Ahmetovic. Meski bukan orang Serbia, dia dianggap sebagai representasi penguasa. Seusai melakukan aksinya, Boban berkata, "Di sinilah saya, di hadapan publik, siap mempertaruhkan nyawa, karier, dan segala ketenaran. Semua ini demi sebuah idealisme: demi Kroasia.”

Maka, tendangan Boban pun diartikan sebagai serangan dari Kroasia terhadap Yugoslavia. Politisasi besar-besaran dilakukan baik oleh para politisi Kroasia dan Yugoslavia. Tak sampai setahun berselang, perang berkecamuk. Pada akhir Juni 1991, Kroasia menyatakan kemerdekaan tetapi perang untuk mempertahankannya berlangsung hingga 1995.

Tak lama setelah Kroasia merdeka, Boban angkat kaki dari negaranya untuk membela AC Milan. Sebelum itu, dia mendapat larangan bermain dari Federasi Sepak Bola Yugoslavia selama enam bulan dan harus absen di Piala Dunia 1990. Namun, Boban tak ambil pusing. Toh, dia pun tak sudi berlaga dengan balutan seragam Yugoslavia. Yang Boban inginkan cuma Kroasia dan itulah yang dia dapatkan.

Pada 1998, Boban juga mendapat kesempatan bermain di Piala Dunia sebagai bagian dari kontingen Kroasia. Sayangnya, turnamen itu berakhir dengan kesedihan bagi Boban. Kroasia memang sukses mengakhiri Piala Dunia 1998 di urutan ketiga tetapi semestinya, jika tak ada blunder dari Boban yang berujung pada gol bek Prancis, Lilian Thuram, Vatreni bisa saja lolos ke final. Pada akhirnya, tak semua orang bisa jadi juara dunia, tetapi tak semua orang pula bisa menjadi pahlawan nasional seperti Boban di Kroasia.