Argentina 1985, Indonesia 20XX?

Pada masa peralihan rezim demokratis di Argentina, seorang jaksa diminta Pengadilan Banding Federal untuk bertugas dalam persidangan umum yang akan menuntut sembilan orang mantan pejabat junta militer—termasuk diantaranya Jorge Rafael Videla—setelah persidangan militer gagal untuk melaksanakannya. Di satu sisi, berita yang segera berembus itu serupa angin segar bagi para korban yang hidup tercekik selama diktator berkuasa. Di sisi lain, sang jaksa khawatir para junta dapat mengancam keselamatan keluarganya yang selama ini telah dijaganya. Semasa rezim diktator berkuasa, meskipun dikenal agak “gila”, sang jaksa mencoba bermain aman dengan tidak pernah berurusan dalam persoalan politik, bahkan ia sempat menolak banyak petisi habeas corpus dari para tahanan politik.
Meski begitu, sang jaksa tetap menjalankan tugasnya. Dibantu wakilnya seorang pengacara muda yang tidak berpengalaman dan kawannya pemilik teater, mereka mulai merekrut beberapa anak muda untuk bergabung ke dalam tim pencari fakta. Karena tenggat yang singkat dan karena institusi militer serta kepolisian disinyalir bekerja sama dengan para junta, mereka terpaksa bergerak sendiri: menyisir seluruh arsip CONADEP (Komisi Nasional Orang Hilang), mengunjungi kantor Madres de Plaza de Mayo, mendatangi kampung-kampung terpencil dan pabrik untuk mencari saksi mata, menyiarkan pengumuman di radio, mencatat tiap wawancara para korban penculikan yang datang ke kantor, dan menyusunnya menjadi berjilid-jilid buku sebagai bukti di persidangan yang akan membuat para junta tidak lagi bisa berdalih bahwa kejahatan itu adalah tindakan berlebihan para bawahan. Demikianlah secuplik sinopsis dari film Argentina, 1985 (2022) karya Santiago Mitre yang mengambil latar dari peristiwa sejarah “Pengadilan Junta”.
Sebagai masyarakat awam, tentu saja bukan kapasitas saya membahas film itu dari unsur-unsur artistik atau semacamnya. Yang jelas, sepanjang menyaksikan adegan demi adegan di film tersebut, saya tak bisa mengenyahkan pikiran tentang sejarah panjang kekerasan di Indonesia selama periode Orde Baru. 
Dua Jagal di Dua Negeri yang Berbeda
Jauh sebelum Videla berkuasa, dengan bantuan mesin pembunuh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) bentukannya, Soeharto telah lebih dulu melakukan penghilangan paksa. Sepanjang tahun 1965-1966, hampir satu juta orang diburu, dijemput dari rumah mereka, digorok bagai hewan kurban, lalu mayatnya dibuang begitu saja ke aliran sungai, atau dikubur dalam satu liang besar tanpa upacara dan doa, karena dianggap terlibat dalam peristiwa Gestok (Gerakan 1 Oktober) yang terjadi di Jakarta. Bagi sebagian yang lain, mereka akan dijebloskan dari satu penjara ke penjara lain, disiksa, dipaksa mengakui keterlibatan, untuk kemudian ikut dalam kerja paksa sebagai tahanan politik. Atau, beberapa yang sedang berada di luar negeri terpaksa menggelandang dari satu negara ke negara lain untuk mencari suaka setelah kewarganegaraannya dicabut.
Setahun setelah diangkat menjadi Menpangad (Menteri/Panglima Angkatan Darat), Soeharto juga berhasil memanfaatkan keadaan politik yang kalut untuk mengambil alih kekuasaan resmi dari Presiden Sukarno, dan menciptakan sebuah pemerintahan baru bernama Orde Baru. Sepuluh tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1976, pola yang sama terjadi di Argentina. Setelah sebelumnya didapuk sebagai Panglima Tertinggi di dalam pemerintahan Presiden Isabel Perón, Videla malah melakukan kudeta dibantu kedua rekannya yang kelak akan menemaninya duduk di kursi pesakitan: Orlando Ramón Agosti dari Angkatan Laut, dan Emilio Eduardo Massera dari Angkatan Udara.
Segera setelah diangkat sebagai Presiden Argentina, Videla mulai mengeluarkan beberapa kebijakan yang kontroversial, di antaranya menempatkan para perwira militer pada jabatan-jabatan penting dan melancarkan sebuah operasi kontra-terorisme yang dikenal dengan nama “Perang Kotor”. Videla berdalih, operasi itu bertujuan untuk memberangus kelompok gerilyawan subversif sayap kiri yang hendak mengganggu keamanan nasional. Kelak, kesaksian para korban yang dihadirkan di persidangan akan menyangkal semua omong kosong itu, dan menelanjangi seluruh kekejian Videla yang membuat para hadirin di persidangan hanya bisa termenung, menghela napas berat, dan menahan air mata.
Para Ibu Memulai Perlawanan Nyata
Pada hari pertama sidang terbuka, Jaksa Julio César Strassera dan Wakil Jaksa Luis Moreno Ocampo sempat menghampiri sekelompok ibu-ibu yang duduk di bangku penonton dan menyuruh mereka untuk melepas kerudung putih yang mereka kenakan karena dianggap sebagai atribut politik. Sebelumnya, dua orang anggota tim pencari fakta juga sempat menghampiri kantor organisasi ibu-ibu tersebut untuk mengumpulkan bukti. Salah seorang ibu yang berhadapan dengan mereka sempat menitip harap: semoga jaksa penuntut yang bertugas sekarang lebih baik, sebab selama diktator berkuasa sang jaksa tidak pernah melakukan apa-apa. Meskipun tidak mendapati banyak sorotan di dalam film, para ibu itu merupakan kelompok pertama yang secara terang-terangan menentang rezim Videla, di mana kebanyakan orang memilih untuk diam.
Bila kalian pernah membaca novel 1970 karya Henrique Schneider yang belum lama ini diterbitkan oleh Marjin Kiri, kalian akan mendapati tokoh Irene yang mendatangi berbagai tempat—dari mulai kantor polisi hingga gereja—hanya untuk satu tujuan: mencari Raul, anaknya yang hilang. Meskipun dengan latar negara yang berbeda, tetapi dengan keadaan demikianlah para ibu di Argentina memulai perlawanan mereka. Ketika menyadari salah seorang anak atau kerabat mereka hilang, dengan menekan rasa takut, para ibu itu mendatangi kantor polisi—meski belakangan yang didapat tak lebih dari cemoohan mulut para petugas yang mengecap mereka sebagai “ibu teroris” dibanding petunjuk keberadaan sang kerabat. Seiring berjalannya waktu, satu per satu dari mereka mulai dipertemukan dengan nasib yang sama, dan hanya dalam setahun setelah rezim Videla berkuasa mereka sepakat untuk membentuk “Madres de Plaza de Mayo” atau Para Ibu Plaza de Mayo.
Tiap Kamis, di depan Plaza de Mayo, alun-alun yang menghadap ke Istana Kepresidenan, dengan kerudung putih membalut kepala, mereka menggelar aksi sembari membawa foto anak-anak yang hilang. Hal itu menjungkirbalikkan citra mereka sebagai ibu-ibu tua yang bergelut dengan urusan rumah tangga menjadi sebuah kekuatan politik nyata. Tak sekali-dua kali mereka mendapati ancaman dari aparat kepolisian saat sedang mengadakan demonstrasi. Tak sekali-dua kali anggota mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi. Bahkan, setelah rezim Videla runtuh dan Pengadilan Junta menjatuhkan hukuman pada Videla dan para kroni, mereka masih terus mengobarkan api perlawanan. Barulah, setelah dua puluh sembilan tahun yang melelahkan, tepatnya pada tahun 2006, akhirnya para ibu yang sudah sedemikian tua dapat beristirahat, setelah Presiden Néstor Kirchner mencabut amnesti yang melindungi para jagal, dengan efektif menyeret mereka ke pengadilan.
Sementara itu, setahun setelahnya, terilhami oleh aksi Para Ibu Plaza de Mayo, lahir sebuah aksi yang mengambil tempat di salah satu gerbang masuk Monumen Nasional, persis di seberang Istana Negara. Mereka adalah sekumpulan keluarga korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) selama Soeharto berkuasa dan pasca kejatuhan Orde Baru ketika pihak militer berusaha mempertahankan pengaruh di pemerintahan. Beberapa tahun menjelang rubuhnya Soeharto—diiringi krisis ekonomi yang menerpa beberapa negara di Asia Tenggara—adalah masa-masa yang sarat akan kekerasan. Pada tahun 80-an, masyarakat dikejutkan dengan mayat para preman yang bergelimpangan darah di muka umum. Sementara itu, Pancasila digunakan sebagai alat untuk memberondong orang-orang di Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Papua dan Timor Leste, dengan peluru. Menjelang Pemilu 1997, aparat pemerintah menyerbu kantor pusat PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang pada saat itu bertindak sebagai oposisi, menyusul penculikan dan penghilangan paksa aktivis, Tragedi Trisakti, dan Kerusuhan Mei. Setelahnya, aparat kembali menembaki massa yang berdemonstrasi di sekitar kawasan Semanggi.
Sayangnya, setelah sekian tahun, pemerintah yang baru masih saja kesulitan menjerat para pelaku yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan itu, bahkan beberapa pelaku malah asyik terjun ke dunia politik. Ambil contoh: Prabowo yang merupakan pelaku penculikan dan penghilangan paksa aktivis malah kabur ke Yordania pada saat anak buahnya sedang menjalani persidangan di Jakarta, dan setelahnya dibiarkan bebas mendirikan partai politik. 
Oleh sebab itu, para keluarga korban memutuskan untuk berjejaring dan menjalankan Aksi Kamisan. Dengan mengenakan pakaian hitam dan payung hitam sebagai tanda duka, di tiap Kamis sore, mereka akan berkumpul sembari membentangkan spanduk bergambar beberapa perwira tinggi—lengkap dengan nama dan kasus kejahatan HAM yang perwira itu perbuat. Hingga hari ini, Aksi Kamisan tidak hanya diisi oleh keluarga korban tetapi juga anak-anak muda, tersebar di beberapa kota besar, melewati 814 Kamis, dan mungkin akan terus bertambah—mengingat Prabowo belum lama ini terpilih menjadi Presiden Indonesia periode 2024-2029, dengan cara curang.
Jalan Terjal Menyeret Para Jagal ke Pengadilan
Meski semula ragu dengan batas waktu yang diberikan oleh pengadilan, pada akhirnya Jaksa Strassera dan timnya berhasil mengumpulkan bukti sebanyak 16 jilid, 4000 halaman, 709 kasus, dan lebih dari 800 saksi. Tetapi, para fasis yang berlindung di ketiak institusi militer tidak akan membiarkan persidangan berjalan lancar begitu saja. Setelah melakukan ancaman selama enam bulan lamanya kepada para saksi, para fasis menguntit Wakil Jaksa Luis Moreno Ocampo yang baru saja pulang dari pertemuan keluarga. Bahkan salah seorang fasis datang ke persidangan pada hari pertama sidang terbuka sebelum sidang dimulai. Dan tak lama setelah fasis itu pergi, pengadilan mendapati panggilan telepon anonim yang mengabarkan ada bom di ruang persidangan. Dalam diskusi tertutup antar petugas persidangan, Jaksa Strassera bersikukuh persidangan tidak dapat ditunda-tunda, sementara Basile, salah satu pengacara pembela para junta, berkata sebaliknya dengan dalih prosedur keamanan. Untungnya, Hakim Ketua León Carlos Arslanián memutuskan sidang tetap dilaksanakan pada hari itu juga. Dan sampai sidang hari itu ditutup, nyatanya panggilan telepon itu tak lebih dari muslihat para fasis belaka, agar pihak pengadilan mengundur-ngundur sidang dan tidak adanya kemajuan.
Berangsur-angsur, ketika pers sibuk mengabarkan perihal hari-hari persidangan ke penjuru Argentina, banyak dari masyarakat mulai membicarakan apa-apa saja yang sebelumnya tidak berani mereka katakan selama rezim diktator berkuasa: penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan dan penghilangan paksa. Dan banyak dari mereka juga berharap persidangan dapat menggiring para jagal membusuk di dalam penjara. Bahkan, ibunda Wakil Jaksa Luis Moreno Ocampo—yang semula menentang keputusan anaknya karena keluarga mereka berlatar belakang militer—pada akhirnya mengharapkan hal yang sama, setelah mendengarkan kesaksian Nyonya Adriana Calvo de Laborde yang diculik dalam keadaan hamil enam setengah bulan. Tetapi, sekali lagi, para fasis bekerja dua kali lebih keras daripada para iblis yang hendak menjerumuskan manusia ke dalam kubangan dosa.
Di kantornya, Jaksa Strassera kembali mendapati panggilan telepon anonim dari seorang fasis yang mengaku sebagai anggota Komando Triwarna. Bila dahulu, ketika ia baru ditunjuk sebagai jaksa, fasis di ujung telepon itu mengancam akan membunuh kedua anaknya, kali ini fasis itu mengancam akan membunuhnya. Di kemudian hari, sebuah mobil—yang berisi ribuan lembaran bergambar Presiden Alfonsín dan Jaksa Strassera disertai tulisan ancaman—meledak di pusat kota. Puncaknya, Jaksa Strassera terpaksa mengungsikan keluarganya setelah putrinya mendapati secarik amplop berlogo Angkatan Laut dan sebutir peluru di atas meja di dalam apartemennya yang terkunci. Ketika ia membuka amplop itu, Jaksa Strassera mendapati selembar surat berisi ancaman eksekusi dalam waktu hitung mundur 48 jam.
Setelah genap hampir enam bulan, sidang akhirnya ditutup dengan pembacaan argumen penutup oleh Jaksa Strassera yang di akhir pembacaannya mengutip frasa yang menurutnya sudah menjadi milik seluruh rakyat Argentina: “Nunca Más” atau Jangan Ada Lagi. Dan pada awal Desember, para hakim resmi menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Jorge Rafael Videla dan Emilio Eduardo Massera, tujuh belas tahun pada Roberto Eduardo Viola, delapan tahun pada Armando Lambruschini, empat setengah tahun pada Orlando Ramón Agosti, sedang Omar Domingo Rubens Graffigna, Leopoldo Fortunato Galtieri, Jorge Isaac Anaya, Basilio Arturo Lami Dozo dibebaskan. Terlepas dari amnesti yang diberikan oleh Presiden Carlos Menem yang akan membebaskannya lima tahun kemudian, pada titik inilah jalan yang ditempuh Videla dengan Soeharto mulai berbeda arah.
Pasca runtuhnya Orde Baru, mengadili Soeharto dan kroninya merupakan salah satu tuntutan reformasi dan berbagai pihak terus berusaha mengupayakan itu. Yang terealisasi tentu saja terkait kasus korupsi Yayasan Supersemar. Selain dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin, Soeharto juga dikenal sebagai pribadi yang tamak. Bila Indonesia diumpamakan seekor ikan, Soeharto dan para kroninya adalah sekumpulan lintah yang terus-menerus menyedot darah ikan itu sampai tubuh mereka menjadi gemuk. Namun, kasus itu sempat terhenti karena upaya menyeret sang jagal terhalang kondisi kesehatannya yang terus memburuk. Dan pada akhirnya, setelah Soeharto meninggal, pengadilan malah menyasar pada yayasan sebagai organisasi.
Memang, fasis yang baik adalah fasis yang mati. Tetapi, sebelum disiksa di lapisan neraka paling bawah, seharusnya sang fasis mempertanggungjawabkan seluruh kejahatannya terlebih dahulu di hadapan masyarakat.