Argentina-Belanda dan Hal-hal di Kepala

Argentina-Belanda dan Hal-hal di Kepala
Mahfud Ikhwan

Untuk inilah kita menunggu Piala Dunia setiap empat tahun sekali: untuk satu-dua pertandingan yang akan kita bicarakan dengan bersemangat begitu ia selesai, dan masih kita bicarakan dengan geleng-geleng kepala berhari-hari setelahnya, dan masih akan kita bicarakan pada waktu yang lebih lama dengan nada penuh nostalgia; untuk pertandingan yang belum tentu akan kita dapat pada tiap even besar; untuk pertandingan seperti Argentina vs. Belanda di perempat final Qatar 2022. 
Inilah pertandingan yang membuat orang macam saya digulung gelimang dilema: di satu pihak ingin berlama-lama menikmatinya, tidur sangat panjang atau tetap melek dengan rasa senang yang masih terus tersisa manisnya, membaca setiap tulisan baik atau buruk tentangnya, menertawakan analisis-analisis yang dangkal dan gampangan, menggerutui analisis-analisis sok dalam yang dakik-dakik, membaca dan memelototi lagi (dan lagi) statistik dan terkejut dengan hal baru  yang menarik (yang sebenarnya tak baru-baru amat), atau cukup hanya dengan senyam-senyum dan tak melakukan apa pun; di pihak lain ingin menulis dengan nada menggebu-gebu, emosional, penuh ungkapan perasaan, dan panjang, atau sangat panjang, dan tak akan bisa tenang sebelum benar-benar melakukannya. (Barangkali karena itu, Anda mungkin akan membaca tulisan ini sedikit terlambat dari seharusnya.) 
Di Twitter saya menyebutnya hanya dengan satu kata (yang saya tiru dari orang Barat berbahasa Inggris): Klasik! Tapi, di kepala, tentu saja berjejalan ribuan kata Indonesia, dan saya yakin akan berbusa-busa begitu mulai menuliskan kata pertama.
Sebagai penggemar Argentina, keinginan saya sangat  sederhana: Argentina memenangkan setiap pertandingan dan menjadi juara. Tapi sebelum jadi penggemar Argentina, saya pertama-tama lahir sebagai penggemar sepakbola. Dan sebagaimana kebanyakan penggemar sepakbola, saya selalu menginginkan menikmati sebuah pertandingan tos-tosan yang seru selama 90 menit, diwarnai 4 atau lebih gol, intens sejak awal, keras di beberapa kesempatan, sedikit kasar (agak banyak juga tak apa, asal tak sampai mengganggu pertandingan), penuh drama, penuh kejadian yang mengocok perut dan mengentak dada, dan diakhiri adu penalti yang mendebarkan. 
Semua itu ada di pertandingan Argentina-Belanda.  

***

Sejujurnya, saya bahkan merasa sedikit menyederhanakan. Gambaran tersebut sebenarnya jauh dari cukup untuk menerangkan semua yang kita saksikan di lapangan. Lebih-lebih apa yang saya pikirkan dari apa yang saya saksikan di lapangan.
Itu, misalnya, tak menggambarkan bagaimana Argentina, tim yang selalu terkesan rapuh di babak tos-tosan terutama karena biasanya menumpu pada kharisma dan kemampuan (dan seringkali harapan yang berlebihan) kepada pemain bintangnya (mulai dari Maradona, Ortega, hingga kini Messi), masuk lapangan dan mendekati pertandingan. Argentina, sebagaimana selalu digambarkan oleh para penulis yang lebih kredibel dan paham, tak pernah dan tak perlu bermain indah. Mereka juga masih saja ceroboh—gol-gol Weghorst, terutama yang kedua, adalah penjelasannya. Tapi mereka jelas sekali penuh keinginan. Juga keyakinan. Saya tak melihat sedikit pun kekhawatiran. 
Bahwa mental korban yang dibawa skuad Argentina dari Perang Malvinas di Piala Dunia ’86 menghasilkan gelar juara, tentu saja. Tapi mental itu juga yang membuat Argentina, mewarisi insiden Antonio Rattin yang diusir di Wembley pada Piala Dunia ’66, selalu merasa ada di bawah bayang-bayang plot konspirasi. Bayang-bayang itu makin menggelap ketika mereka merasa “dikalahkan” di Final Piala Dunia ’90, yang berpuncak pada pengusiran Maradona dari Piala Dunia ’94. Tak peduli walaupun di sepanjang sejarah sepakbola Argentina juga adalah si tertuduh dalam beberapa teori konspirasi (final Piala Dunia ’78 yang penuh skandal, kisah “keracunan” tim Brazil di Piala Dunia ’90, hingga biang keladi pengusiran sang megabintang David Beckham di Piala Dunia), tim Argentina—dan terutama pendukungnya—selalu berlaga dalam keadaan kepala waspada dan pikiran “jangan-jangan”. Pada pertandingan ini, Argentina adalah tim yang ingin menang dan tahu mereka bisa menang, bahkan setelah berada di posisi yang biasanya kalah—setelah unggul dua gol dan kemudian tersusul.  
Jonathan Wilson, si paling tahu sepakbola Argentina, dalam tulisannya di Guardian menyebut bahwa secara genealogis, juga secara historis, tim ini adalah timnya Jose Pekerman. Sebaliknya, di kepala saya, ketika menonton dan mencermati beberapa sekuen di sepanjang pertandingan (lebih-lebih pada tindak-tanduk songong Emi Martinez yang sekarang mulai menjadi cap dagangnya), saya justru bisa melihat kehadiran Bilardo, dengan wajah yang lebih muda, mungkin sedikit lebih tampan, pada diri Scaloni. Mungkin Wilson tak setuju dengan cara saya melihat tim yang sangat dikenalnya itu, tapi ia pasti bersepakat dengan saya bahwa tim ini bekerja sangat keras. 
Orang mungkin akan membicarakan De Paul, Romero, Lisandro Martinez, dan Alexis Mac Allister ketika membicarakan kerja keras Argentina. Tapi saya mau menyebut Marcos Acuna. Barangkali saya pengamat bakat yang buruk (dan karena itulah saya hanya menulis sepakbola, tidak lebih), tapi saya selalu merasa bahwa Marcos Acuna adalah pemandangan ganjil di sisi sayap timnas Argentina. Selalu terasa seperti itu. 
Meski catatan kariernya jauh dari buruk, ia bukan orang yang akan masuk bahasan ketika kita menyusun daftar panjang para bek sayap terbaik satu dekade terakhir. Ia tidak ada dalam komparasi jika kita bicara tentang pemain macam Trent Alexander-Arnold atau Theo Hernandez. Ia mungkin sangat cocok dengan kriteria “Angels with The Dirty Faces” (Malaikat Buruk Rupa) dalam mitos sepakbola Argentina, kecuali di kriteria utama: bahwa ia pemain belakang dan dengan skil yang kelihatan pas-pasan. 
Berasal dari wilayah Patagonia yang jauh lebih dekat dengan perbatasan Cile ketimbang Buenos Aires, tempat ia mengawali karier sepakbolanya bersama Ferro Carril Oeste, ia seperti sepupu jauh Gary Medel. Tapi, bahkan bukan Medel yang hebat itu yang saya pikirkan setiap menemukan Acuna di layar kaca, termasuk dalam pertandingan melawan Belanda; saya selalu melihatnya sebagai Edy Gunawan dengan kaos Argentina. (Jika Anda tahu tentang Edy Gunawan, Anda mengerti apa yang saya maksud; jika tidak, maka perbandingan itu justru lebih tepat lagi.) Tapi, ia, untuk saya, adalah gambaran sempurna dari Argentina yang bekerja sangat keras. 
Acuna sepenuhnya tentang otot dan tenaga—dengan sangat sedikit elegansi, kalau bukannya sama sekali tak ada. Ia terlihat ngotot bahkan ketika dalam kondisi santai. Ia tidak bergaya, karena ia seperti tahu bahwa tak ada yang akan membahasnya; juri dari Budweiser toh tak akan meliriknya. Ia hanya menunaikan tugasnya: menyorong bola ke depan, sejauh mungkin, lalu menyeberangkannya ke kotak penalti lawan. Bahwa ia memberikan Argentina (dan Messi) satu penalti dalam pertandingan semalam, itu hanya bonus.     
Selain bekerja sangat keras, Argentina juga bermain dengan pikiran jelas. Tidak seperti yang kita lihat semisal di pertandingan pertama, saat kalah dari Saudi Arabia, semuanya terlihat terencana. Setiap benturan badan, terjangan kaki, dan luncuran tekel, juga ketika diperlukan tukar-menukar kalimat verbal, semua dilakukan dengan kepala yang terang. Mereka tahu, Belanda akan sangat terganggu dihadapi dengan cara seperti itu. Pun efektif. Menguasai bola bukan hal yang terlalu menarik bagi Argentina, kecuali ia berujung pada peluang atau gol. Gol pertama dari Molina adalah contoh bagaimana penguasaan bola diperlukan ketika ia memberikan hasil.
Gol Molina banyak dibahas para pandit untuk menunjukkan betapa (tetap) hebatnya Messi di Piala Dunia yang kemungkinan menjadi yang terakhir baginya. Tapi saya ingin bilang, ini justru menunjukkan betapa Messi di Qatar adalah Messi yang berbeda dari Messi di Piala-Piala Dunia sebelumnya. 
Hingga empat tahun lalu, Messi tetaplah pemain Barcelona yang membela Argentina dan bukan sebaliknya. Di Rusia, ketika Messi tampil dengan tato dan janggut merahnya, ia terkesan memaksa untuk mematutkan dirinya di tim nasional negara yang menjadi tempat kelahirannya, karena ia jauh dari cocok dengan apa pun yang diidealkan selama berdekade-dekade oleh publik sepakbola Argentina. Ia memang pemain hebat, yang terhebat, tapi ia selalu terkesan terlalu lembut untuk menjadi kapten tim Argentina; dibanding para kapten macam Passarella, Maradona, hingga Mascherano yang mengayomi, Messi justru harus dilindungi. Messi selalu terlihat sebagai tunas asing yang dicangkokkan paksa pada proses okulasi yang berakhir gagal atau tumbuh tanpa buah.
Messi di Qatar, dalam usia 35, adalah pemain Argentina yang tak lagi punya banyak kesempatan untuk memenuhi misi tertinggi seorang pemain sepakbola: trofi Piala Dunia. Barcelona, bahkan jika Messi benar-benar akan kembali seperti yang masih banyak dibayangkan oleh para Cules yang belum menerima kenyataan, kini tinggal masa lalu baginya; di PSG, ia tak lebih dari tentara bayaran atau biduan cabutan (yang dibayar mahal karena masa lalunya di Barcelona). Masa kini yang masih relevan untuknya tinggal tim nasional Argentina. Ia mungkin tampak jalan-jalan saja di tengah pertandingan (seperti dengan nyinyir disinyalir Louis van Gaal sebelum pertandingan), tapi setiap langkahnya diberikan kepada negaranya, kepada seragam bergaris-garis biru muda yang disandangkan, kepada dua bintang di emblem kostumnya yang ingin ia jadikan tiga.
Para penulis yang mengulang-ulang akan bilang, seluruh tim Argentina bekerja untuk Messi. Di pertandingan melawan Belanda, saya dengan yakin, tanpa membesar-besarkan, lebih memilih untuk mengatakan: Messi bekerja bersama-sama dengan seluruh rekan setimnya, baik saat kalah dari Saudi Arabia atau saat tampil sangat menonjol di pertandingan melawan Meksiko. Ia jelas lebih banyak mendapatkan sorot kamera dibanding rekan-rekannya, karena FIFA selalu butuh untuk menjual bintang terbesarnya, tapi ia menonjol justru karena ia begitu menyatu dengan timnya. Ia jelas lebih santai dibanding para gelandang bertahan yang bekerja di belakangnya, tapi ia akan rela mati di lapangan jika ia sedang ambil bagian dalam permainan. Ia melakukan tekel, membuat pelanggaran, mendapatkan kartu kuning karena memprotes wasit, dan—yang sangat jarang kita lihat—menatap Edgar Davids dan memintanya diam.
Messi telah sampai di final Piala Dunia saat Argentina kalah dari Jerman pada 2014. Di Qatar, Argentina masih di semifinal, dan bisa saja disingkirkan Kroasia di pertandingan berikutnya, dan pada akhirnya Messi mungkin akan pensiun dengan tujuh Bola Emas-nya tapi tidak dengan trofi Piala Dunia. Namun, bagi saya, baik sebagai fanatikus Argentina maupun sebagai penggemar sepakbola, inilah Piala Dunia terbaik yang pernah dijalani Messi. 
Berbeda dari Messi (dan mungkin Argentina), ini jelas bukan Piala Dunia terbaik Belanda—seperti kebanyakan Piala Dunia yang pernah mereka ikuti. Tapi sebaiknya mereka mengambil pelajaran dan hikmah yang diberikan Qatar untuk mereka, tapi terutama untuk Van Gaal. Jika ia ingin pragmatis, seperti yang dulu dilakukannya (dan lumayan berhasil) di Brazil 2014, dan dengan jelas dilakukannya (dan lagi-lagi berhasil) sepanjang babak kedua melawan Argentina setelah tertinggal dua gol, maka sebaiknya pragmatislah secara lebih kaffah. Total Football toh tinggal cerita di buku-buku—dan Bert van Marwick (dengan memakai kaki Nigel de Jong) telah meratakannya dengan tanah di Johannesburg 12 tahun lalu. Lalu kenapa tim Van Gaal yang jauh dari bergaya itu masih sok-sokan menumpu pada dua winger untuk menjadi pencetak gol, sementara ia membawa dua penyerang tengah berbadan panjang yang siap meneror gawang lawan? 
Wout Weghorst dan Luuk de Jong adalah jenis penyerang yang dulu pasti dimiliki setiap tim. Mereka menjulang di kotak penalti lawan di antara para bek yang khawatir ketika sebuah sepak pojok dilambungkan atau umpan tarik dikirim. Mereka dipuja karena memasukkan banyak gol ke gawang lawan, bukan karena berhasil melewati tiga bek dan memutari kiper yang terkapar. Mereka mungkin sesekali membuat gol dengan tendang voli atau sepakan salto, tapi itu sama saja nilainya dengan sepakan pendek jarak dekat atau sundulan dengan pundak. Sejauh yang bisa saya ingat, Piala Dunia juga dipenuhi nama dari jenis pemain seperti ini. Para penyerang Jerman (Barat) jelas ada di puncak kepala, mulai dari Gert Muller, Karl-Hein Rummenige, Jurgen Klinsmann, hingga Miroslav Klose. Italia adalah tim lain yang menghiasai sejarahnya dengan para pemain sejenis ini: Paulo Rossi, Salvatore Schillaci, hingga Luca Toni. Bahkan Argentina yang selalu dibayangi oleh kebesaran dan mitos Maradona juga tak asing dengan pemain berkarakter seperti Kempes, Valdano, Canigia, Batistuta, hingga Crespo. Namun, munculnya tim seperti Barcelona dengan tiki-taka dan penguasaan bolanya, dan kemudian hadirnya kekuatan baru dunia pada tim nasional Spanyol yang kelihatannya tak memerlukan pencetak gol, membuat para penyerang itu tiba-tiba jadi spesies langka. Atau, kalau tidak, seperti dalam kasus Weghorts, turun kasta. Bagaimana bisa seorang penyerang yang punya rerata gol di atas 20 di Liga Belanda dan Bundesliga Jerman tiap musimnya tercatat sebagai pemain Burnley di kasta kedua liga Inggris (sebelum dipinjamkan ke Besiktas awal musim ini)?
Gol pertama Weghorst membawa saya kepada salah satu gol yang paling saya kenang di Piala Dunia, yaitu gol Yordan Letchkov ke gawang Jerman di AS 1994. Tapi seluruh sosok Weghorst juga membuat saya mengingat Kennet Andersson dan Oleg Salenko di ajang yang sama—para raksasa penyundul bola yang bisa menyeruak di antara para bintang pujaan seperti Romario, Baggio, dan Stoichkov. Pada diri Weghorst saya juga mengingat nama-nama seperti Pierre van Hooijdonk, Jan Vennegoor of Hesselink, atau (yang lebih belakangan) Bas Dost, para penyerang Belanda yang punya catatan gol hebat di level klub namun tak mendapat tempat yang layak di tim nasional. Pada Weghorst (dan Luuk de Jong), saya juga mengingat lagi apa yang telah saya tulis di kolom ini di awal berlangsungnya Piala Dunia Qatar: bahwa nyaris semua tim memainkan jenis sepakbola yang sama.
Van Gaal memang diejek Messi karena menurunkan dua pemain jangkung dan memainkan umpan-umpan lambung setelah tertinggal dua gol. Tapi itulah inti sepakbola: membuat lawan Anda jengkel. 

***   
Tulisan ini dikerjakan setelah kita sudah mendapatkan empat tim di semifinal. Melihat tiga tim lainnya, Argentina jelas menjadi salah satu yang terfavorit. Kroasia akan jadi lawan sangat alot di pertandingan berikutnya; mungkin sebuah gol buruk dari Acuna atau tendangan jarak jauh Mac Allister yang membelok akan bisa memperdaya Livakovic. Jika bertemu di final, Prancis akan tetap menjadi batu kriptonit bagi Argentina, seperti yang terjadi di Rusia empat tahun lalu. Tapi, siapa tahu, Prancis akan dicegah ke final oleh tim yang telah mengalahkan Belgia, Spanyol, dan Portugal. Maroko tidak hanya akan mewakili Afrika dan dunia Arab, tapi juga seluruh pecundang yang mencari penebusan. Juga, sepertinya, para penggemar Argentina. 
Namun, seperti kebanyakan pendukung Argentina, saya tak akan pernah yakin Argentina memenangkan Piala Dunia sampai mereka benar-benar menang di final dan mengangkat piala. Jadi, jelas, Argentina belum tentu menjadi juara. Tapi saya sudah menyimpulkan: jika bukan tim terbaik setelah sekian lama, ini adalah tim Argentina yang akan lebih dikenang lebih indah dari tim-tim sebelumnya. Messi mungkin akan kembali gagal, tapi ia akan berhenti sebagai kapten Argentina tanpa perlu lagi membuktikan apa-apa.
Qatar akan menjadi Piala Dunia terbaik bagi saya jika bintang di emblem Argentina bertambah menjadi tiga. Tapi tidak buruk-buruk amat jika Qatar memberi kita juara dunia baru. Seperti apa yang terjadi setelah Spanyol juara, munculnya juara baru barangkali memberi kita kemungkinan akan lahirnya cara berbeda bermain bola di Piala Dunia berikutnya.