Artefak Museum Terus Dicuri, Apa Solusinya?

Sub: Sudah susah-susah jalan, barangnya hilang digondol maling.
Antara masa kini dengan tiga jilid kunjungan ke Jawa oleh Raja Chulalongkorn dari Siam, yakni 1871, 1896, dan 1901, sudah terentang jarak satu setengah hingga satu seperempat abad. Museum Nasional  di Jakarta, kompleks bangunan yang dihiasi gajah perunggu hadiah sang raja, menjadi tetenger sekaligus etalase penting ikhtiar bangsa dan negara Indonesia dalam menelusur maupun merawat sejarahnya. Bangunan eks Bataviaasch Genootschap ini terbilang sebagai penyimpan dan pemamer benda-benda peninggalan sejarah Nusantara dalam jumlah terbanyak maupun dalam mutu terbaik.
[Infografis: Bataviaasch Genootschap didirikan pada 1778 tersebut dan kini memiliki koleksi benda bersejarah lebih dari 19.000 barang. Sumber: https://www.museumnasional.or.id/tentang-kami/profil]
Perampokan dan Pencurian di Museum 
Namun, antara 1961 hingga 2013, Museum Nasional tercatat pernah lima kali menjadi korban perampokan serta pencurian. Koleksi yang pernah digondol maling meliputi sebelas butir berlian, koleksi koin kuno, keramik senilai sekitar Rp1,5 miliar, beberapa lukisan karya maestro seperti Raden Saleh, Basoeki Abdullah, dan Affandi, juga empat artefak emas berkisaran lebar maupun panjang antara 3,5 centimeter hingga 10,5 centimeter. 
Total kerugian kolektif ditaksir dapat mencapai antara Rp50-270 miliar. Median taksiran sebesar Rp 120-170 miliar. Angka ini didapat dari tingginya nilai lukisan Raden Saleh dan Affandi. Salah satu lukisan Raden Saleh, “Berburu Banteng” (1855) pernah terjual di angka Rp120 miliar. Lukisan Raden Saleh lainnya, “Diengplateu” (1872), pernah dijual di salah satu balai lelang di Hong Kong seharga Rp4 miliar. Lukisan Affandi dan Basoeki Abdullah juga dihargai ratusan juta-miliaran, sehingga tak mengagetkan taksirannya bisa di angka itu. 
Untungnya, di antara lukisan yang diketahui hilang dari Museum Nasional pada 1996, ada dua yang berhasil dipulangkan ke Indonesia, pasca dibatalkan lelangnya oleh Balai Lelang Christie, Singapura. Dua lukisan tersebut adalah “Gubernur Jenderal Van Den Bosch” berukuran 16,5 x 67,3 centimeter karya Raden Saleh pada 1867, juga “A Nude” berukuran 132,5 x 98 centimeter karya Basoeki Abdullah. Kisah pemulangannya dituturkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, Wardiman Djojonegoro, dalam halaman 401-403 memoarnya yang bertitel Sepanjang Jalan Kenangan dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2016.
Raibnya benda-benda koleksi museum terjadi juga di dua museum tertua Indonesia, yaitu Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang didirikan tahun 1935 dan Museum Radya Pustaka Surakarta yang didirikan tahun 1890. 
Kehilangan koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta baru teridentifikasi pada 11 Agustus 2010. Koleksi yang hilang tak tanggung-tanggung, barang-barang masterpiece yang mayoritas berbahan emas. Termasuk diantaranya topeng emas temuan sekitar 1960-an di Desa Nayan, Kabupaten Bantul. 
Semula media massa mengabarkan koleksi yang hilang berjumlah 87 barang. Namun, merujuk hasil evaluasi tim khusus bentukan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Museum Sonobudoyo mengumumkan bahwa koleksi mereka yang hilang adalah 75 barang. Belakangan, pendataan koleksi yang hilang mengerucut di angka 54, atau 33 lebih sedikit dari pendataan pertama dan 21 lebih sedikit dari pendataan kedua.
Penyelidikan polisi mengidentifikasi 15 staf yang diduga saling bersekongkol dalam kasus ini. Diantaranya, 4 staf diduga sebagai pelaku utama. Ada dugaan kasus ini melibatkan jaringan internasional. Namun, setelah satu setengah windu kasus ini terkuak, kejelasan kasus ini masih belum terungkap. 
Sementara kasus pencurian koleksi Museum Radya Pustaka terjadi tahun 2007, 2008, dan 2011. Tahun 2007-2008, 6 arca batu bercorak Hindu dan 34 arca perunggu dinyatakan palsu dan 18 arca perunggu lainnya diduga palsu. Kejadian pencurian berulang lagi di tahun 2011; kini giliran 14 koleksi wayang purwa dan wayang gedhog peninggalan yang hilang dan dipalsukan. 
Kasus ini menyeret kepala museum KRH Darmodipuro, dua bawahannya bernama Suparjo dan Jarwadi, serta warga lokal bernama Heru Suryanto. Keempatnya diadili atas tuduhan pemalsuan dan penjualan koleksi museum. 6 arca yang dicuri itu dijual kepada peminat seharga Rp80 juta–Rp270 juta per arca yang ditotal sebanyak Rp600 juta.
Tragisnya, rangkaian pengungkapan serta peradilan pencurian koleksi Museum Radya Pustaka memakan korban jiwa. Arkeolog Lambang Babar Purnomo selaku saksi ditemukan tewas secara misterius di selokan salah satu gang dekat Jalan Lingkar Utara Yogyakarta. Jasadnya ditemukan di hari Sabtu, 9 Februari 2008. Meninggalnya Lambang menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan baru terhadap kasus Radya Pustaka. Pasalnya, ada dugaan beliau melakukan penyelidikan independen soal arca yang dinyatakan hilang, tapi juga soal pemalsuan dan raibnya 52 koleksi arca perunggu, yang nilainya bisa mencapai angka Rp 1 triliun. 
Menunjukkan Tiga Hal
Deretan kasus perampokan dan pencurian koleksi museum ini setidaknya menunjukkan tiga hal. 
Pertama, museum tak berfungsi secara semestinya. Tempat yang semestinya menghadirkan perlindungan bagi koleksi benda antik bersejarah malah menjadi tempat permufakatan jahat jual-beli benda-benda bernilai sejarah. Sedihnya, hal ini melibatkan staf yang seharusnya berperan sebagai pelindung. Semata karena mereka rakus—baik rakus untuk uang maupun rakus memiliki benda-benda menarik, unik, serta bersejarah.
Kedua, kita harus mengakui bahwa pasar gelap benda-benda bersejarah itu nyata. Ada orang-orang berduit maupun berpengaruh besar yang gemar benda-benda antik, entah dengan prestise, atau bahkan dengan alasan berkenaan okultisme. Permintaan ini terus disambut oleh orang-orang licik. Rangkaian pencurian ini juga menandakan lemahnya integritas para oknum museum. Pun alasan mereka melakukan hal ini tak jauh-jauh dari sengaja mencari keuntungan di jalan tak halal, terkena bujuk rayu, atau karena terdesak tekanan ekonomi.
Ketiga, perlunya solusi untuk meminimalisir atau bahkan sepenuhnya membasmi pencurian. Negara dan masyarakat perlu lebih peduli terhadap sejarah dan cagar budaya. Setiap ada kasus pencurian artefak museum, muncul diskursus soal perlunya perbaikan sistem keamanan di lembaga-lembaga itu, perlunya perbaikan tingkat kesejahteraan para pekerja, lalu tak ketinggalan wacana pemberlakukan aturan hukum dengan sanksi pidana yang lebih keras untuk tindakan pencurian maupun perusakan benda-benda bersejarah dan cagar budaya. 
Terlalu Optimistik, Terlalu Berprasangka baik
Sebagai periset museum, saya ingin mengusulkan solusi tambahan. Yaitu dengan membuat kebijakan yang melonggarkan atau bahkan memfasilitasi individu, lembaga, atau bahkan perusahaan yang memiliki keinginan serius untuk meminjam dan memamerkan benda-benda cagar budaya. Toh perihal ini sebenarnya memang diakomodasi dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang bunyinya:
“Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini.”
Pasti akan ada yang bertanya, bukankah hal ini justru riskan karena memunculkan peluang rusak dan hilangnya benda cagar budaya? 
Risiko demikian tentu ada. Namun, negara sebagai regulator sebenarnya bisa meminimalisasinya. Cara paling mendasar dan tak bisa ditawar adalah memastikan bahwa pihak-pihak yang diizinkan meminjam benda cagar budaya memiliki cukup sumber daya dalam memberikan pengamanan dan perawatan secara layak. Untuk itu, negara wajib membantu dan mengawasi pengamanan dan perawatan benda cagar budaya tersebut. Benda cagar budaya yang dipinjamkan mestinya yang berasal dari surplus yang dimiliki negara, bukan adikarya yang sangat langka. 
Lalu, apa manfaatnya kebijakan demikian?
Manfaat utama terletak di semakin banyak orang yang sadar akan kekayaan cagar budaya Indonesia. Orang-orang juga bisa lebih menghormati dan mengapresiasi kebudayaan lokal karena mudah diakses. Pameran cagar budaya nantinya tak lagi dimonopoli oleh museum besar, tapi oleh pameran atau galeri mini di tempat-tempat semacam pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel, perumahan, dan seterusnya. 
Konsep ini mungkin dianggap terlalu optimistik dan terlalu berprasangka baik soal peminjaman cagar budaya. Namun saya pikir konsep ini mungkin bisa mendisrupsi pasar gelap jual-beli barang antik karena ada jalur peminjaman legal dan bersifat jangka panjang. Tentunya skema ini bisa lebih murah ketimbang melakukan pembeliaan, apalagi pembelian ilegal. Terbuka pula kemungkinan menekan praktik penggunaan jual beli barang antik sebagai modus penyuapan maupun pencucian uang.

Yosef Kelik