SPOILER ALERT
Kalau diibaratkan sepotong pakaian, Pengabdi Setan 2: Communion terbuat dari bahan-bahan premium yang ditenun oleh pengrajin terbaik, tapi digunting-gunting serampangan dan dijahit asal-asalan oleh penjahit yang kehilangan kertas pola jahitannya. Bahannya berkilau, tapi hasil akhirnya rombeng.
Siapakah penjahit itu? Tentu saja Joko Anwar, penulis dan sutradara.
Joko Anwar punya segalanya ketika menggarap film ini. Dia punya sisa-sisa kemasyuran Pengabdi Setan (2017), yang tentu saja menjadi motor penggerak terbesar masyarakat untuk berbondong-bondong menonton sekuelnya. Selain itu dia punya banyak materi menarik yang ditampilkan di sepanjang film, seperti rujukan sejarah Konferensi Asia Afrika di tahun 1955 dan teror penembakan misterius 1980an. Joko Anwar punya akses ke aktor-aktor kawakan, referensi luas soal pembantaian penyihir Eropa abad pertengahan, referensi ke film-film horor lawas dan folklor lokal, dan masih banyak lagi. Namun, hasil akhirnya adalah film yang keropos dengan jalan cerita yang bolong-bolong.
Mari kita telusuri jelujur Pengabdi Setan 2: Communion yang ditisik serampangan:
Pocong sujud rame-rame di Bosscha
Pertama-tama kita harus mengapresiasi opening act di film ini. Ruangan observatorium bintang dibuka dan isinya puluhan pocong busuk yang bersujud ke suatu entitas misterius di ujung ruangan? Visually striking. Ciamik. Fotografi yang jenius.
Tapi apa makna dari gambar yang keren itu untuk keutuhan cerita? Enggak ada.
Dari sini, jalan cerita sudah terasa ditulis dengan malas. Tanpa usaha serius dari aparat berwajib ditemukan seonggok tanah gembur bertabur biji-biji merah jambu beberapa meter dari pintu masuk observatorium. Sepasang jejak kaki terlihat dari gundukan tersebut ke arah pintu masuk. Lalu jurnalis Budiman Syailendra (Egi Fedly) bersuara, “Apa mungkin mayat hidup berjalan sendiri?”, membuat penonton membatin “Oh iya ya pocongnya jalan sendiri, hhe.”
Terus, kenapa harus di Bosscha?
Merasa warisannya tercoreng, Observatorium Bosscha melemparkan pernyataan di akun Instagram resminya bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dengan pembuatan film dan “...menyesalkan pemunculan gambar yang segera orang kenali sebagai ikon Observatorium Bosscha yang memberi kesan tidak benar tentang Observatorium Bosscha.”
Joko Anwar juga menggunakan sejarah nasional secara sia-sia. Konferensi Asia Afrika, teror penembak misterius, serta hukuman sadis quartering berpotensi jadi materi yang sangat apik jika dipilih salah satu, diperdalam, dan dijadikan tulang punggung film. Malahan, Joko Anwar —yang punya resume cemerlang menjadikan pemilu presiden dan korupsi politisi sebagai tulang punggung A Copy of My Mind —memutuskan untuk menggunakan semua nukilan sejarah ini sekaligus dalam satu film sehingga bahan-bahan bagus ini terasa mentah dan jadi tempelan belaka.
Rusun terisolasi
Di sekuel ini, keluarga Suwono diceritakan baru saja pindah dari rusun mereka yang lama ke rusun yang baru, gedung bobrok yang dibangun asal-asalan oleh pemerintah di sebidang tanah murah di area pesisir Jakarta Utara. Bangunan itu berdiri sendiri tanpa tetangga sekitarnya.
Memindahkan keluarga Suwono ke rusun yang jauh dari mana-mana adalah strategi tanpa kebaruan. Banyak film horor meletakkan para tokohnya ke tempat yang terisolasi sehingga mudah terjebak teror dan jauh dari bantuan. Terlebih lagi, dalam satu malam laknat yang menjadi bagian besar dari film ini mengamuklah badai yang mengurung penghuni rusun dengan banjir rob disertai mati listrik. Sudah tidak bisa ke mana-mana, gelap-gelapan pula. Lengkap sudah setting rumah hantu pasar malam ini.
Namun, memindahkan Rini (Tara Basro) dan keluarganya ke rusun di Jakarta Utara mengkhianati epilog Pengabdi Setan 1, di mana tokoh misterius Darminah (Asmara Abigail) dan Batara (Fachri Albar) bertetangga dengan keluarga Rini dan diam-diam berupaya supaya keluarga itu tidak pindah rusun sehingga tetap berada dalam cengkeraman mereka. Tapi toh mereka pindah juga demi plot. Lalu, dari semua rusun yang ada di Jakarta, mereka memilih rusun tempat berkumpulnya sekte Ibu. Terlalu banyak kebetulan di film ini.
Sekte segala macam
Di Pengabdi Setan 1, disebutkan Mawarni bergabung dengan “sekte kesuburan” untuk bisa mendapatkan anak. Perjanjian dengan iblis itu punya kontrak berat: anak bungsu harus diserahkan kembali ke sekte.
Namun, di Pengabdi Setan 2, disebutkan Mawarni juga bergabung dengan sekte untuk memoncerkan karirnya menjadi penyanyi. Jadi sebenarnya ini sekte apa? Kesuburan? Pesugihan?
Selain itu, bisa dilihat bahwa penganut sekte ini cukup banyak. Dari sekian banyak bayi yang lahir dari para penyembah setan, mengapa harus Ian yang mewarisi tampuk kepemimpinan sekte?
Oke, mungkin nanti ada penjelasan mengapa Ian ditunjuk menjadi Raminom’s Baby di sini. Namun, kenapa di rusun yang sama juga kebetulan tinggal nemesisnya, Wisnu, yang kebetulan fasih berbahasa isyarat ala sekte yang kebetulan ia pelajari lewat buku yang kebetulan ia temukan di tukang loak? Apakah Wisnu memang dipasang sebagai Mesias di sini? Apakah karena itu ia dinamai Wisnu?
Character decision yang tidak masuk akal
Toni (Endy Arfian) si anak tengah digambarkan sebagai pemuda yang selalu sigap menolong, tidak bisa menolak permintaan apapun yang diminta orang lain kepadanya. Ia tidak bisa berkata tidak walaupun permintaan itu disampaikan secara tidak sopan (perintah Tari untuk membetulkan radio rusak), diminta oleh orang yang tidak ia sukai (desakan Dino untuk mengambilkan garpu di unit tetangga), atau melampaui batas (permintaan Pak Ustaz Mahmud menemaninya menengok keadaan mayat-mayat di setiap unit ketika keadaan rusun sedang sepi dan mati listrik). Bahkan, ketika Pak Ustaz (Kiki Narendra) memintanya berjalan sendiri ke lantai 13 dan memilih antara membawa senter atau korek, Toni menyanggupi dan memilih membawa korek kayu karena tidak tega membiarkan Pak Ustaz gelap-gelapan pakai korek.
Orang baik juga ada batasnya.
Ngomong-ngomong soal Pak Ustaz, karakter yang dipasang sebagai punakawan alias comic relief ini juga enggak masuk akal. Ketika Tari (Ratu Felisha) ketakutan dikejar-kejar setan di sepanjang lorong rusun dan menabrak Pak Ustaz, ia malah menceramahi perempuan yang sedang panik tersebut dengan fafifu teologi. Tapi kasihan juga Pak Ustaz tewas mengenaskan karena lehernya diantup pocong. Innalillahi.
Tari dan matinya sang pelacur
Keputusan Joko Anwar untuk membunuh Ustaz Mahmud (dan Ustaz di Pengabdi Setan 1), menunjukkan posisinya yang menolak agama dijadikan solusi absolut untuk semua gangguan supranatural seperti yang umum dilakukan oleh film-film horor Indonesia lainnya.
Joko Anwar juga menyelipkan pesan-pesan feminis lewat tokoh Tari yang digambarkan seksi dan tangkas membalas catcall kurang ajar dari abang-abang rusun. Diselipkan juga social commentary tentang pilihan berpakaian dan stigma profesi. Good job, Joko.
Namun kemajuan pikir ini dinihilkan oleh keputusan Joko Anwar untuk membunuh Tari. Perempuan yang tidak takut preman ini ternyata takut setan. Ketika terpojok ia malah nyemplung ke lubang sampah. Sekali lagi Joko Anwar malah memilih terjerumus ke klise “girls in horror movies hide in the wrong places”.
Keberadaan Tari sebenarnya adalah kesempatan brilian Joko untuk mendobrak trope “the whore” di film-film horor, di mana perempuan-perempuan yang mempraktikkan kebebasan seksual niscaya mati duluan.
Alangkah indahnya jika akhirnya kita punya final girl yang seksi dan badass.
Malahan, Tari dieksekusi dengan badan terlipat-lipat di dalam lubang sampah yang sempit dan bau, dikejar-kejar pocong dan hantu bayi (apakah ini maksudnya Tari kualat karena pernah melakukan aborsi?), sambil diteror suara radio yang menyatakan bahwa ia akan mati disiksa di neraka. Kematian Tari adalah salah satu keputusan terburuk Joko Anwar di sini.
Pengungkapan backstory yang ditulis dengan malas
Elemen fotografi banyak digunakan di film ini, bukan hanya untuk menambah unsur seram namun juga untuk mengungkapkan latar belakang cerita pada penonton. Namun sayangnya, foto-foto ini ditemukan oleh para tokoh dengan plot jalan pintas.
Dino mencongkel batako untuk nyolong di unit sebelahnya dengan garpu? Bondi dan teman-temannya ngubek-ubek unit Pak RT dan menemukan foto-foto lawas area rusun yang diambil setiap 29 tahun sekali? Penonton pantas diberi penjelasan backstory dengan cara yang lebih baik dari itu.
Sebenarnya penjelasan bisa dibeberkan oleh jurnalis Budiman Syailendra di akhir film, tapi kita hanya diberi janji bahwa penjelasan akan diberikan, entah kapan. Kita malah lagi-lagi diberi epilog tanpa arti berupa dansa mesra Darminah dan Batara, serta hasil photoshop yang tidak rapi untuk menjelaskan pada penonton bahwa pasangan misterius ini sudah ada dan tetap awet muda sejak KAA tahun 1955.
Teror yang malas, kematian yang malas
Teror adalah bagian integral dari Pengabdi Setan 2. Sayangnya, visual horor dar der dor terlalu ditonjolkan di sini sehingga usaha menulis cerita yang kokoh dan believable dikesampingkan. Akibatnya, adegan-adegan hantu yang ditampilkan jadi kosong walau visualnya jempolan.
Contohnya, adegan teror hantu saat sholat. Hantu makmum adalah jenis hantu yang sering muncul di cerita horor yang ditularkan dari mulut ke mulut oleh orang Indonesia. Adegan diteror hantu saat sholat sudah muncul di Pengabdi Setan 1, dan kemudian diulangi lagi di Pengabdi Setan 2. Sejujurnya ini merupakan adegan hantu makmum terbaik yang pernah saya tonton, dengan efek visual keren pindah dunia serta hantu yang makin lama makin bertambah dan merapat. Sayangnya, adegan ini muncul ketika trik adegan hantu makmum sudah basi dan terlalu banyak muncul di film seram—bahkan sudah sering jadi meme.
Kematian Dino juga terkesan ditulis secara malas. Hantu berubah jadi kain dan bisa terbang ketika dibuang? Berbalik mencekik Dino dan menjatuhkannya tepat ke cagak yang menembus lehernya? Gimmick visual doang sih kalau kata saya.
Epilog: pengarang menolak mati
Untuk menemani rilisnya Pengabdi Setan 2, Joko Anwar membuat utas khusus demi menjelaskan easter eggs yang ada di film ini. Easter eggs biasanya ditemukan oleh penonton dan dilempar ke forum untuk memantik diskusi lebih lanjut. Namun, companion thread yang dibuat oleh sutradara/penulisnya sendiri ini mengesankan seolah-olah Joko Anwar enggan mengikhlaskan interpretasi dilakukan oleh penonton tanpa bisa ia kontrol. Tapi, bisa juga sih dia melakukan ini sebagai gimmick marketing.
Namun gimmick marketing seperti apapun akan sia-sia jika cerita yang dijual tidak utuh, menyisakan terlalu banyak pertanyaan, menghadirkan terlalu banyak kebetulan, tapi tidak cukup murah hati untuk memberi penonton katarsis. Cerita tambal sulam ini hanya bisa diterima sebagai jembatan supaya kita nanti beli tiket untuk nonton Pengabdi Setan 3 atau spin off lain yang digadang-gadang akan dikembangkan dari semesta ini.
Sutradara sekaliber Joko Anwar harusnya sudah tidak berada di level “namanya juga film” untuk membela penulisan yang malas.
Lagipula, apa sih yang seharusnya terjadi ketika ada kecelakaan lift yang menyebabkan kematian massal di rusun? Mayat akan dikumpulkan di satu unit, warga akan takziah dan tirakatan bareng, sementara banyak bansos dan petugas SAR yang datang. Akan ada dapur umum yang ramai dan terang, sementara warga terdampak akan menunggu pagi dan banjir surut sambil seru membicarakan kejadian naas tadi sore.
Dan tentu ada gerombolan wartawan yang bertanya: “Apakah ada firasat sebelum kejadian?”