Asam Garam Driver Ojol

Saya sudah menggunakan jasa transportasi daring sejak 2016. Dalam lima tahun, saya sudah melakukan perjalanan lebih dari seribu kali. Ada banyak cerita yang saya dapatkan selama duduk di boncengan abang ojol: dari cerita lucu, mengharukan, sampai membuat saya berpikir dan merefleksikan hidup. Walaupun setiap topik yang dibicarakan berbeda, selalu terbesit mood yang sama: kesepian.

Kesepian merupakan bagian dari rasa keterasingan pekerja terhadap pekerjaannya. Konsep keterasingan (alienation) pekerja dicetuskan oleh sosiolog dan ekonom Jerman Karl Marx yang melihat keterasingan sebagai efek samping dari kapitalisme. Pekerja tidak lagi melihat dan merasakan hasil akhir pekerjaan mereka sehingga terjadi diskoneksi. 

Keterasingan ini terutama paling terlihat di mereka yang berkecimpung dalam gig work. Sistem pekerjaan ini awalnya digadang-gadang sebagai masa depan kerja karena menjanjikan jam kerja fleksibel, kebebasan pekerja, tapi dengan bayaran yang mumpuni. Namun penelitian-penelitian terbaru justru menunjukkan gig work malah memperburuk kondisi pekerja. Kesepian, frustrasi, dan rasa cemas adalah sebagian dari masalahnya.

Di Indonesia, gig worker yang paling sering kita jumpai adalah pekerja ojol. Mayoritas waktu mereka dihabiskan di jalanan untuk mencari dan mengantar penumpang. Banyak yang mengakui mereka berangkat dari subuh dan baru pulang sore atau malam hari, tergantung dengan jumlah orderan yang masuk. Ketidakpastian jumlah orderan membuat mereka sering menunggu atau beristirahat di tepi jalan atau warkop. 

Cerita para pengemudi

Kondisi tak menentu dan kesepian inilah yang membuat banyak pengemudi bergabung ke basecamp, sebutan komunitas untuk ojol. Nathmeong* adalah salah satu yang aktif di basecamp. Ibu tunggal ini telah menggeluti pekerjaan ini sejak 2016. Untuk menghalau rasa kesepian dan bosan, ia bergabung dengan basecamp. 

Aktivitasnya di basecamp meliputi berkumpul dan mengobrol bersama pengemudi lain. “Aku kan anak tunggal ya, jadi mau cerita nggak ada yang dengerin. Dari mereka aku jadi nemu istri-istri mereka yang bisa jadi adik, kakak, tutor parenting, tutor biar rada lebih anggun soalnya aku tomboy mampus.” ucapnya.

“Sejak pandemi kami dari yang pendapatannya Rp350.000-800.000 per hari jadi turun sampai Rp50.000 per hari. Orderan anyep, ada yang bunyi saja sudah syukur. Tapi mau pulang juga malu karena nggak bawa uang,” tuturnya sedih. 

Meskipun orderan berkurang drastis, aktivitasnya di basecamp semakin bertambah. Ia membantu membagikan sumbangan sembako, hand sanitizer, dan nasi bungkus ke kawan-kawan ojol lain. Bantuan ini didapatkan dari basecamp-basecamp besar yang memiliki akun Kitabisa.

Terkadang ia membelikan kopi gelasan untuk driver khusus ride yang sudah berangkat dari subuh. “[Aku] bagi apa aja lah kalau ada tenaga dan waktu sedikit karena duit aku tidak punya. Sampai kalau punya duit aku beliin kopi kawan-kawan di beberapa BC (basecamp).”

Aksi ini punya latar belakang pilu. “Anak ride biasanya berangkat dari subuh, sedangkan kami anak food baru sampai mal jam 10-11. Tiap datang biasanya aku pesen kopi hitam. Kutawari driver lain kopi, dia menggelengkan kepala. Dia cuma bolak-balik HP dia, ternyata dia lagi nungguin tip dari konsumen. Nyesek rasanya kak, sampai kita patungan seribu-dua ribu untuk beliin kopi.”

Nathmeong melanjutkan ceritanya soal rasa frustrasinya terhadap pandemi, “Stres banget awalnya kalau mau dibaperin. Tapi kami buat becandaan. Sekarang anak-anak ojol kegiatannya judi sama [ambil] pinjol [pinjaman online, red.]. Kami saling gantian pakai nomor driver lain.” tuturnya sambil menunjukkan deretan nomor debt collector yang menelponnya. “Saya seneng maki-maki debt collector. Tapi baguslah teman-temanku nggak begal atau nyopet. Kami ngelakuin ini karena dapur harus ngebul dan pampers anak mesti kebeli.”

Namun, tak semua driver aktif bergabung di komunitas ojol. Farid salah satunya. Driver yang berdomisili di Surabaya ini memang bergabung dalam komunitas ojol, tapi tidak begitu aktif. “Biar lebih fokus mobile, terus kurang nyaman aja apalagi kebanyakan bapak-bapak beda generasi jadi ada rasa canggung.” ucapnya. 

Efeknya ia sering merasa kesepian. Kesepian terutama paling terasa ketika pandemi pertama melanda. “Saat awal-awal pandemi pendapatan sangat jauh berkurang, terutama setelah isya jalanan sangat sepi. [Apalagi] saat awal pandemi semua seperti kota mati, kendaraan lewat sampai bisa dihitung. Tapi sekarang sudah mulai membaik.” tuturnya.

Kesepian dan frustrasi bahkan sudah ia rasakan sebelum pandemi. “Saya tiap hari di jalan, sering bertemu orang-orang baru. [Saya merasakan] bosen sih, tapi lebih ke sedihnya. Kalau lagi sendiri, capek banget, pikiran jadi kemana-kemana. [Jadi] kadang butuh temen buat ngobrol.” Untungnya ia menemukan driver seumuran selama di jalan. “Ketemuannya kalau ketemu di jalan aja, jadi bisa tetap fokus mobile.” 

Farid juga sering mengajak ngobrol customer yang ia antar. Kadang ia beruntung menemukan lawan bicara yang asik, tapi tak jarang ia menemukan customer yang pendiam. “Ngurangi banget, kalau ngobrol sama penumpang rasanya capek itu berkurang.”

Untuk menutupi pendapatan yang berkurang, ia bekerja sebagai fotografer pernikahan dan desainer. Waktu luangnya ia habiskan untuk mencari pekerjaan tetap. “Saya lebih milih kerja kantor [karena] lebih mudah bagi waktu antara kerjaan dan keluarga. Pusingnya kerja kantor [setidaknya] masih ada gaji tetap, pusingnya ngojol kalau nggak jalan nggak dapat pendapatan.” 

Nasib pengemudi ojol di persimpangan

Kesepian merupakan salah satu penyebab terbesar stres. Tak mengherankan mengingat manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi sosial untuk terus sehat. Sayang, kesepian semakin naik pesat sejak zaman modern dimulai. Kebutuhan untuk terus bekerja dan produksi membuat waktu sosial semakin terkikis. 

Kehadiran gig work yang menekankan otonomi pekerja justru memperparah kesepian ini. Para pekerja gig seringkali bekerja sendirian di rumah. Coworking space datang sebagai solusi agar para pekerja gig bisa berinteraksi dengan pekerja gig lainnya. Namun, bisnis ini juga terpukul sejak pandemi menyerang.

Bagaimanapun, privilese yang sama tidak bisa dirasakan oleh para pengemudi ojol. Basecamp menjadi satu-satunya tempat yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan sesama. Sayang, basecamp tak cukup memenuhi kuota interaksi manusia yang memerlukan komunikasi tatap muka secara reguler. Ditambah lagi, tak semua pengemudi aktif dalam basecamp karena alasan-alasan tertentu.

Interaksi antara pengemudi dan penumpang juga bersifat transaksional. Pengemudi mengantarkan penumpang atau membawakan barang dan konsumen langsung pergi tanpa melakukan kontak mata atau mengucapkan sepatah kata pun. Beberapa bahkan mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari penumpang, seperti yang dirasakan oleh teman Nathmeong dan Farid. Teman Nathmeong mengeluhkan penumpang yang meminta kembalian tip, sedangkan Farid mengalami pelecehan seksual. 

Selain kesepian, pengemudi ojol juga dihantui oleh ketiadaan perlindungan perusahaan. Farid tidak melaporkan kasus pelecehan seksualnya karena takut akunnya dibekukan perusahaan. Ketidakpastian pendapatan juga menyebabkan mereka mencari penghasilan tambahan, seperti Nathmeong yang melakukan pengantaran makanan akun Dari Halte ke Halte.

Faktor-faktor inilah yang membuat mereka rawan mengalami stres. Penelitian yang dilakukan Khoirunnisa, et.al. (2021) terhadap 132 pengemudi ojol Tangerang Selatan menunjukkan 75% responden mengalami stres berat dan 25% responden mengalami stres ringan. Faktor ringan-beratnya stres dipengaruhi oleh umur, status pernikahan, status pekerjaan, lama kerja, jumlah pendapatan, dukungan sosial, dan hubungan interpersonal. 

Penelitian ini menarik karena para responden menyatakan dukungan sosial dan hubungan interpersonal yang mereka terima buruk. Ini mengindikasikan bahwa kesepian juga memperparah tingkat stres pengemudi. Bagaimana tidak, mereka melaju sendiri di jalanan tanpa koneksi sosial yang berarti. Tiap interaksi sosial dari penumpang atau rekan ojol yang tak sengaja bertemu di jalan bersifat sementara. 

Tambah dengan ketidakjelasan penghasilan, ketiadaan perlindungan perusahaan, dan sistem rating yang tak kenal ampun. Kerja gig ojol terasa jauh melenceng dari iming-iming awalnya: kerja bebas yang bisa membuat kita menghabiskan lebih banyak waktu di rumah.