Di bulan Mei 2015, Lia Eden pimpinan Komunitas Eden, mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk meminta izin mendaratkan UFO di area Monas.
"Untuk itu, kami mengharapkan perkenan Presiden Jokowi bersedia memberi izin pendaratan UFO kami. Adapun pendaratan UFO Jibril sudah pernah kami sinyalkan melalui penampakan UFO kami itu di atas Monas dan terekam oleh ponsel 2 pemuda di Monas," tulisnya.
Surat yang dikirim bersama sebuah box biru berisi tujuh pucuk surat dan beberapa keping DVD itu bocor ke media dan menjadi bulan-bulanan publik selama beberapa hari.
Sebelum kematiannya di tahun 2021 mungkin Lia Eden, yang mendaku sebagai titisan Bunda Maria dan juru bicara Jibril, sudah kenyang menjadi bahan tertawaan publik. Foto Lia Eden dengan pose majestik di kursi tahta, berjubah biru putih dan memegang trisula berlonceng, mungkin membuatmu tertawa. Kamu mungkin menganggapnya mengidap skizofrenia, melabeli pengikutnya sinting, atau mencap mereka penista agama. Sekedar pemasok kabar lucu di media massa.
Namun Indonesia punya sejarah panjang mengalami panik yang tidak lucu ketika menghadapi kabar-kabar sumir seputar komunitas yang dianggap pengikut aliran sesat.
Pada 1998 di Banyuwangi, terjadi pembunuhan berantai yang dipercaya dilakukan oleh sejumlah “ninja berpakaian hitam-hitam”. Korban pembantaian adalah orang-orang yang dipercaya sebagai dukun santet, juga beberapa kyai dan ulama NU. Teror mulai terjadi pada Februari 1998, dan memuncak hingga Agustus dan September. Saat itu masyarakat sedang tegang di tengah krisis ekonomi dan politik dalam bayang-bayang Reformasi.
Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik sempat meminta para camatnya mendata para penduduk yang mengaku memiliki kekuatan magis atau berprofesi sebagai dukun. Pendataan yang diperintahkan pada Februari 1998 ini dilakukan dengan tujuan menyelamatkan orang-orang tersebut dari pembantaian. Sayangnya, radiogram berisi daftar nama tersebut bocor pada September 1998, dan akhirnya diduga dimanfaatkan oleh pembantai untuk menyisir para ‘dukun santet’ di kota tersebut.
Penduduk yang diterkam ketakutan mulai berubah menjadi ganas dan berbalik memburu para ‘ninja’ di Banyuwangi dan kota-kota sekitarnya. Korban-korban yang dituduh ninja berjatuhan dengan leher terbelek atau babak belur dirayah massa. Bahkan ada ‘ninja’ yang setelah dipenggal, kepalanya diarak keliling kampung oleh warga yang marah. Menurut perkiraan Komnas HAM, total korban tewas dengan label dukun santet, ninja, dah bahkan ulama di Banyuwangi, Jember, dan Malang berjumlah lebih dari 300 orang.
Santet atau bukan santet, kasus ini adalah salah satu pelanggaran HAM terheboh di Indonesia. Namun pemerintah Indonesia terkesan enggan melakukan investigasi yang lebih mendalam untuk segera mengungkap para pelaku pembantaian tersebut. Hingga 24 tahun berlalu, Pembantaian Banyuwangi 1998 hanya dianggap catatan kaki di lembar sejarah Indonesia tentang Reformasi.
Selain itu, ada kelompok Ahmadiyah dan Gafatar yang dilabeli sesat oleh para pemuka agama Islam juga kerap mendapatkan persekusi publik, dilarang beribadah, dan harus hidup terasing dari masyarakat.
Histeria massa
Ketakutan kolektif akan hal-hal spiritual atau supranatural yang dianggap sesat terjadi sepanjang sejarah manusia, di berbagai belahan dunia.
Di Eropa, diperkirakan 60,000 orang dibakar hidup-hidup dalam perburuan penyihir pada abad pertengahan. Sejarah mencatat kebanyakan korban pembakaran penyihir adalah perempuan berusia di atas 40 tahun.
Puncak perburuan penyihir (witch-hunting), diperkirakan terjadi pada periode 1580-1630an seiring tajamnya konflik antara Gereja Katolik dan Protestan. Pembakaran penyihir didukung oleh para pemuka agama yang memproklamirkan tenung sebagai residu-residu klenik kaum pagan yang mesra dengan iblis.
Abad Pertengahan memang zaman edan, tapi bukan berarti setelah itu orang-orangnya makin waras. Setelah zaman perburuan penyihir selesai, sosok Setan masih gentayangan di berbagai karya literatur dan seni.
Pada era Renaissance di Jerman, Johann Georg Faust, seorang pengembara sekaligus alkemis dan ahli astrologi, menjadi tokoh legendaris yang diabadikan dalam berbagai cerita rakyat sebagai orang yang menjual jiwanya kepada iblis demi kemasyuran dan kenikmatan duniawi. Namanya menjadi asal-usul istilah faustian pact atau perjanjian dengan iblis, tuduhan yang kerap dijatuhkan pada musisi-musisi yang tiba-tiba menelurkan karya ciamik.
Virtuoso biola asal Genoa, Niccolò Paganini (1782-1840) disebut-sebut bersekutu dengan iblis untuk menelurkan karya fenomenal, salah satunya Le Streghe (Penyihir). Desas-desus yang mengiringi kemasyurannya cukup heboh, salah satunya rumor bahwa senar biolanya dibuat dari usus perempuan korban pembunuhan. Banyak penonton bersumpah melihat Setan mendampinginya di atas panggung. Orang-orang membuat tanda salib dengan panik setiap kali berpapasan dengan Paganini. Rumor ini makin santer ketika ia meninggal di umur 57 tanpa sempat mendapatkan sakramen minyak suci saat sakaratul maut. Gereja sampai menolak menguburkannya di pemakaman Katolik di Genoa.
Di Amerika, pionir delta blues, Robert Johnson (1911-1938), malah menyebarkan sendiri rumor bahwa ia menawarkan jiwanya kepada Iblis di sebuah persimpangan di Mississippi, untuk ditukar dengan kemampuan memainkan gitar yang tak tertandingi. Ia meninggal misterius di umur 27 sebagai seorang seorang rock star, dan dianggap menjadi orang pertama yang masuk Club 27.
Geger Aliran Setan
Pada 1980an, Amerika dilanda geger aliran setan (satanic panic), sebuah paranoia kolektif berlebihan terhadap okultisme. Akarnya macam-macam, terutama banyaknya pembunuhan seperti yang dilakukan oleh sekte Charles Manson pada akhir dekade 1960an, juga pembunuhan berantai oleh lone-wolf seperti Zodiac Killer dan Alphabet Killer di tahun 1970an. Pembunuhan-pembunuhan dengan pola khusus ini ditengarai dilakukan sebagai tumbal upacara satanis. Di era ini banyak pula penggerebekan perkumpulan yang ternyata melakukan ritual tidak wajar termasuk orgi, inses, dan menggunakan anak-anak untuk seks dan penyiksaan. Istilah RSA (Ritualistic Sexual Abuse) muncul dari sini.
Pada 1980an, kasus-kasus perkosaan terhadap anak membuat banyak keluarga semakin waspada. Tingkat kehadiran di gereja juga meroket. Terlebih lagi, Amerika di bawah pemerintahan Reagan mengalami ledakan populasi dan economic shock therapy yang menghasilkan pengangguran dan kemiskinan. Banyak orang bingung dan butuh pegangan. Pada masa inilah banyak kelompok pengajian Kristen memutar rekaman berbagai lagu populer secara terbalik karena bersikeras ada pesan terselubung di musik itu untuk merekrut anak muda menjadi pemuja setan.
Puncaknya pada 1985 kelompok ibu-ibu konservatif membentuk Parents Music Resource Center (PMRC) untuk membatasi akses anak-anak kepada musik populer yang dianggap menyeret anak muda kepada kesesatan. Warisannya yang paling langgeng adalah stiker “Parental Advisory”, “Explicit Lyrics” dan semacamnya yang ditempelkan ke sampul musik-musik populer dengan lirik kontroversial. Mereka mengajukan 15 musik populer yang ditengarai berlumur pesan-pesan amoral termasuk single dari band-band cadas Judas Priest, Def Leppard, Black Sabbath, juga musisi-musisi pop Prince, Madonna, dan Cyndi Lauper. Lagu-lagu ini disebut “The Filthy Fifteen”.
Pada awal dekade 1990an geger aliran setan mulai mereda. Banyak yang merasa paranoia terhadap Setan dan pengikutnya mulai tidak masuk akal. Banyak persidangan menemukan mereka yang tertuduh pemuja Setan ternyata orang biasa saja, dan persekusi terhadap orang-orang yang hidupnya tidak sesuai tatanan sayap kanan mulai gagal menuai simpati. Banyak anak muda yang sedang mencari musik baru untuk didengar malah menggunakan stiker “Parental Advisory” sebagai indikator musik bagus. Semakin sesat semakin keren.
Film-film horor tentang okultisme seperti Rosemary’s Baby (1968), kerasukan setan seperti The Exorcist (1973 dan sekuelnya 1977), dan soal manusia titisan setan seperti The Omen (1976), tetap laris di pasaran dan menginspirasi berbagai film-film horor baru tentang sekte sesat.
Sihir Dibalas Sihir
Gelombang satanic panic memang surut dan dianggap lebai, namun tidak pernah hilang sepenuhnya. Malah, kecurigaan terhadap okultisme kerap digunakan untuk mendiskreditkan karya-karya para seniman sukses.
Musisi seperti Beyonce, Rihanna, Jay Z, sampai Michael Jackson sempat dituduh sebagai anggota sekte bawah tanah Illuminati. Lagu hits Beyonce, “All the Single Ladies” (2003) dikatakan memiliki pesan kutukan terselubung. Ada sebuah video viral yang menunjukkan video klip lagu tersebut diputar terbalik, dan liriknya menjadi
“People are scared, people are scared
The world will bow to Lucifer
The world will not have fun
The world will bow to me
People’s tears falls
Fades into darkness”
Yang kalau dipikir-pikir cocoklogi banget.
Namun, kebanyakan musisi yang dituduh menjadi anggota sekte pemuja setan seperti yang disebutkan di atas adalah musisi-musisi kulit hitam. Cocoklogi dengan target khusus ini adalah manifestasi rasisme institusional yang membuat publik tidak percaya para musisi kulit hitam bisa mencapai kesuksesan tanpa pakai pesugihan.
Paranoia terhadap okultisme juga sempat digunakan sebagai jurus untuk memenangkan Donald Trump dengan teori konspirasi QAnon. Menurut teori ini, para politisi Demokrat dan beberapa seleb liberal adalah anggota sekte pemuja setan yang melakukan ritual kanibalistik, menggunakan anak-anak untuk disiksa dan dijadikan budak seks, serta mengoperasikan sindikat penjualan anak. Para pengikut QAnon percaya Donald Trump selama ini diam-diam telah melakukan misi rahasia untuk memberantas kelompok sesat itu, dan misinya akan makin sukses jika ia lolos jadi presiden.
Dari maraknya pembakaran penyihir di abad pertengahan, sampai pembantaian dukun santet di Banyuwangi, hingga kampanye Trump, paranoia kolektif terhadap okultisme terbukti mampu menyetir massa untuk melakukan hal-hal ekstrem.
Ketakutan terhadap sekte bisa menjebloskan Lia Eden ke penjara, mengasingkan Ahmadiyah dan Gafatar, menggerakkan pembunuhan terhadap penyihir Eropa abad pertengahan dan dukun santet Banyuwangi, dan membawa Robert Johnson pada kemasyuran.
Namun yang pasti, ternyata desas-desus adalah guna-guna mujarab untuk menyebar teror. ‘Pelet’ teori konspirasi punya daya pikat untuk membuatmu terpedaya untuk mencoblos atau tidak mencoblos di pemilu mendatang. Jampi-jampi kampanye lewat media massa bisa membuatmu membawa seluruh keluargamu berdemo mendukung seorang politisi. Sihir echo chamber membuatmu tweetwar dengan seorang asing di Internet, atau bahkan dengan keponakanmu di grup chat keluarga.
Sebelum kamu sadari, ternyata kamu sudah tersesat dalam sebuah sekte.