Bagaimana 1% Orang Terkaya di Dunia Makin Kaya Saat Pandemi

1% Orang Terkaya di Dunia Makin Kaya Saat Pandemi
Subtitle: Saatnya memajaki orang kaya kayak Elon Musk yang cuma bayar pajak 3,29% per tahun. 


Banyak dari kita tahu dan menikmati kisah Cinderella, sebuah dongeng yang menurut James Deutsch, kurator di Smithsonian Center for Folklife and Cultural Heritage, tergolong dalam jenis cerita si miskin menjadi si kaya. Salah satu dari jenis cerita paling masyhur di dunia, karena memberi manusia harapan untuk bisa mengubah nasibnya dan percaya selalu ada keajaiban di dunia yang fana ini. 

Sayangnya tak semua orang bisa mengubah nasib, dan keajaiban tak terjadi setiap hari di dunia nyata. Memang ada kisah orang-orang seperti Chairul Tanjung yang menjelma dari anak singkong menjadi konglomerat. Lalu ada Jack Ma yang berangkat dari buruh kasar sampai memiliki Alibaba, perusahaan bernilai jutaan dolar. Tapi, sebanyak apa orang-orang seperti mereka? Tentu saja sangat sedikit. 

Sebaliknya, dunia nyata lebih suka dan sering menyuguhkan kisah muram. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Persis seperti yang terjadi di dunia selama pandemi Covid-19.

Begini kisahnya…

[Scrolly telling]

Teks
Grafik
Sumber
Virus yang muncul di Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019 itu menyebar cepat ke seluruh dunia. Tiga bulan setelahnya, pada Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. 


Negara-negara lantas memberlakukan pembatasan sosial untuk mencegah penularan dan jatuhnya korban yang semakin massif. Perbatasan ditutup. Roda ekonomi melambat. Membuat dunia terjebak ke dalam resesi. 


Bank Dunia mencatat, pertumbuhan ekonomi dunia minus 3,1%, terendah dalam 20 tahun ke belakang. 

Sumber: Bank Dunia 
Pengangguran pun membumbung tinggi. Setidaknya 70% dari total negara dunia mengalami lonjakan pengangguran. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat 114 juta pekerjaan hilang sepanjang 2020. 


Bank Dunia pun mencatat 70  juta bahkan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem selama tahun pertama pandemi, tertinggi sejak 1990 dan dianggap sebagai langkah mundur dalam pemangkasan kemiskinan global. Sehingga, total ada 719 juta orang miskin ekstrem di seluruh dengan 60% di antaranya berada di kawasan Sub-Sahara Afrika. 


Salah satu penyebabnya, adalah golongan masyarakat 40% termiskin kehilangan mencapai 4% pendapatannya. Selama 2020. Pada 2021, mereka pun diperkirakan bakal kehilangan 5% tambahan dari pendapatannya. 


Kondisi itu pun tampaknya bakal terus bertahan mengingat kondisi ekonomi global yang belum tampak pulih. 


Hal itu terlihat dari sejumlah lembaga ekonomi dunia yang masih kesulitan memprediksi pertumbuhan ekonomi global pada 2023. 

Dana Moneter Dunia (IMF), misalnya, tiga kali mengoreksi ramalannya. Pada Januari 2022, IMF meramal ekonomi tumbuh 4,4% (YoY). Mereka berturut-turut memangkasnya menjadi 3,2% (YoY) pada April 2022, dan 2,7% (YoY) pada Oktober 2022.   

Sumber: CNBC 
Apalagi, lonjakan tingkat inflasi sedang sulit dibendung. Berdasarkan data yang dihimpun Visual Capitalist, tingkat inflasi di separuh negara dunia mencapai lebih dari 10% pada 2022. Ini termasuk negara-negara besar seperti Rusia, Jerman, dan Inggris. 

 


Sementara, IMF mencatat inflasi global mencapai 7,2% pada 2022. Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pun meramal inflasi dunia pada 2023 sebesar 5,6%. Masih jauh lebih tinggi dari sebelum pandemi yang sebesar 1,9%. 

Sumber: OECD
Presiden Grup Bank Dunia, David Malpass pada Oktober 2022 bahkan dengan getir menyatakan, “kemajuan dalam mengurangi kemiskinan ekstrem pada dasarnya terhenti seiring dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi global.” 


(foto David Malpass)


So, pernyataan Pak Jokowi ada benarnya bahwa the winter is coming. 

Tapi, itu hanya berlaku bagi 99% masyarakat dunia. Soalnya, 1% orang terkaya di dunia justru makin kaya selama krisis ekonomi ini. 
 


Hasil analisis Oxfam International terhadap data Credit Suisse, menemukan 1% orang super kaya di dunia menikmati 63% dari total pendapatan global yang dihasilkan pada 2020-2021.


Untuk setiap dolar yang didapatkan 99% masyarakat ekonomi terbawah dari total penghasilan global baru, 1% orang super kaya dunia mendapat US$ 1,7 juta. 


Tak hanya itu, ketika 1,7 miliar pekerja di dunia terancam kehilangan pendapatan karena inflasi, kekayaan 1% orang terkaya bertambah US$ 2,7 miliar per hari.

Hal itu karena inflasi meningkatkan harga barang dan sekaligus keuntungan perusahaan produsen serta pemiliknya.


Misalnya, ketika harga pangan dunia meningkat selama pandemi, Oxfam International mencatat, perusahaan makanan Cargill mencetak keuntungan sebesar US$ 5 miliar pada 2021. Angka ini tertinggi sepanjang sejarah perusahaan tersebut. Mereka pun bisa membagi dividen sebesar US$ 1,13 miliar kepada para pemegang sahamnya, yang mayoritas adalah keluarga pendiri perusahaan. 

Kebutuhan akan vaksin, pun turut mengerek keuntungan para pengusaha kesehatan. Pfizer, misalnya, berhasil membagi dividen tahunan sebesar US$ 8,7 miliar kepada para pemegang sahamnya pada 2021. 


Lima dari 21 perusahaan teknologi terbesar di dunia–Apple, Amazon, Tesla, Microsoft, dan Alphabet (Google)--pun merasakan kenikmatan serupa. Pada 2021, secara total mereka meraup keuntungan US$ 271 miliar atau meningkat dua kali lipat dari yang dihasilkan pada 2019.  


Begitulah pada awal 2022 lalu kekayaan Elon Musk dan 10 orang terkaya lain telah meningkat puluhan hingga ribuan persen dibandingkan pada Maret 2020. 

Sumber: The Guardian
Ketika mayoritas masyarakat dunia sedang kebingungan mencari pekerjaan dan kelaparan, mereka tidur di atas tumpukan uang dan beli Twitter. 


Benar-benar cerita yang muram, bukan? 

 

Saatnya Lebih Ketat Memajaki Orang Kaya

Baiklah, sekarang mari kita melihat ke depan. Pada 2030, berdasarkan laporan Oxfam International, total kekayaan para 1% orang terkaya bakal tembus US$ 30 triliun bila kondisi tren saat ini terus berlanjut. Ini adalah kabar buruk lainnya, karena bila benar terjadi berarti ketimpangan kekayaan semakin dalam di dunia ini. Semakin banyak pula orang yang terjebak dalam kemiskinan ekstrem akibat konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. 

Sementara, seperti juga tertulis dalam laporan Oxfam International, hal lain yang membuat kekayaan 1% orang terkaya terus bertambah adalah karena negara gagal memajaki mereka. Beberapa contoh kegagalan tersebut adalah sebagai berikut: 

Untuk setiap dolar kenaikan pajak di negara-negara dunia, ternyata hanya 4 sen yang berasal dari pajak atas kekayaan. Terutama kegagalan memajaki kekayaan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan tingkat ketimpangan ekonomi tinggi. 
Dua pertiga negara di dunia tak punya skema pajak warisan dalam bentuk apapun atas kekayaan dan aset yang diteruskan ke keturunan langsung. Sementara, separuh miliuner dunia tinggal di negara-negara tersebut. Oxfam International pun memperkirakan sekitar US$ 5 triliun kekayaan bakal diwariskan tanpa pajak ke generasi berikutnya dari para miliuner itu. 
Tarif pajak pendapatan di banyak negara kurang progresif. Oxfam International mencatat pajak rata-rata untuk orang terkaya turun dari 58% pada 1980 menjadi 42% pada 2021 di negara-negara OECD. Angka rata-rata di 100 negara lain justru lebih rendah, yaitu hanya 31%. 
Tarif pajak perolehan kapital yang merupakan sumber pendapatan terpenting orang 1% terkaya di dunia, rata-rata hanya 18% di 100 negara. Hanya tiga negara yang mengenakan pajak penghasilan dari modal lebih besar daripada penghasilan dari pekerjaan.

Kondisi tersebut belum ditambah lagi kemudahan bebas pajak yang diberikan sejumlah negara tax haven. Begitu juga masih ditambah lagi orang-orang kaya selalu berusaha menggelapkan pajaknya, seperti pernah terungkap dalam kasus Panama Paper. Belakangan pun laporan investigatif Propublica mengungkap Elon Musk terbukti hanya membayar “tarif pajak sebenarnya” sebesar 3,29%. Sementara Jeff Bezos bahkan hanya membayar kurang dari 1%. 

Padahal, berdasarkan analisis Oxfam International atas data dari Wealth-X dan Forbes, pengenaan pajak kekayaan sebesar 2% pada jutawan dunia, 3% pada orang dengan kekayaan di atas US$ 50 juta, dan 5% pada miliuner dunia bakal menghasilkan total US$ 1,7 triliun per tahun. Nominal ini, menurut mereka cukup untuk mengentaskan 2 miliar orang dari kemiskinan per tahun. Begitu juga cukup untuk memberikan perlindungan perawatan kesehatan universal dan perlindungan sosial untuk 3,6 miliar orang berpenghasilan rendah. 

Agar pemerintah di seluruh dunia bisa lebih “galak” memajaki para orang super kaya dan pada akhirnya mengurangi ketimpangan, menurut Oxfam International, setidaknya ada empat langkah yang bisa dilakukan, yakni: 

Memperkenalkan pajak kekayaan solidaritas satu kali, pajak pendapatan perusahaan, serta pajak yang lebih tinggi atas pembayaran dividen perusahaan. 
Negara secara permanen menaikkan pajak atas 1% orang terkaya, misalnya menjadi minimal 60% dari penghasilan mereka. Baik dari penghasilan tenaga kerja maupun modal dengan tarif yang lebih tinggi untuk multi-jutawan dan miliuner. 
Memajaki orang super kaya dengan tarif yang sangat tinggi agar secara sistematis dapat mengurangi penumpukan kekayaan ekstrem dan ketimpangan penguasaan modal. 
Menggunakan pendapatan dari pajak untuk meningkatkan belanja pemerintah pada sektor pengurangan ketimpangan, seperti kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan, serta untuk mendanai transisi energi yang adil menuju dunia rendah karbon. 

Tentu saja langkah-langkah tersebut sekadar saran. Soal praktik berada di tangan pemerintah. Namun, ketika semakin banyak pengusaha yang masuk ke dalam politik dan memerintah negara, yang ironisnya juga terjadi di negara ini, rasanya itu semua sulit terwujud. Kecuali ada keajaiban dan revolusi sosial. Dan, sayangnya sekali lagi, keajaiban tak terjadi setiap hari di dunia nyata.