Bahas Tuntas Paraben: Kandungan Kosmetik yang Paling Dimusuhi

Kamu pengguna makeup. Kamu mungkin pemula, mungkin juga sudah veteran di dunia kecantikan. Tapi, sudah berapa kali kamu mendengar bahaya paraben dalam produk kosmetik?

Saking seringnya, saya sampai kepikiran untuk membuat tantangan angkat beban setiap kali membaca atau mendengar 'paraben itu bahaya', 'pakai produk ini aja nggak ada paraben-nya', dan 'aduh produknya X bagus sayangnya mengandung paraben'. Setelah menjalani tantangan tersebut selama seminggu, saya yakin perut saya langsung kotak-kotak.

Bahaya paraben biasanya digaungkan oleh jenama kosmetik yang melabeli diri mereka alami, organik, dan tanpa bahan kimia. Jenis jenama kosmetik tersebut sering dikategorikan sebagai “clean beauty”. Namun, penggunaan istilah “clean” ini juga problematik karena tidak ada definisi yang jelas–istilah ini digunakan untuk membicarakan segala hal “hijau” atau ramah lingkungan.

Menakuti masyarakat untuk menggunakan produk yang mengandung zat kimia juga hal yang salah.

Karena…

EVERYTHING IS CHEMICAL.

Zat kimia bukan hal baru yang diciptakan di laboratorium. Atom membentuk ikatan, menciptakan molekul yang membentuk senyawa, yang membentuk segala sesuatu di sekitar kita. Bisa dikatakan, alam adalah The OG Ahli Kimia.

Sebenarnya, paraben itu apa sih? 

Produk kosmetik yang sampai di tangan kita melalui perjalanan yang panjang. Jangan lupa kalau kosmetik bisa kadaluarsa dan jadi tidak aman digunakan. Tentu saja masuk akal menggunakan pengawet agar bahan kosmetik tetap segar, efektif, dan bebas dari pertumbuhan bakteri berbahaya—di situlah peran paraben.

Paraben adalah zat yang berfungsi sebagai pengawet dalam produk kosmetik atau makanan dan sudah digunakan sejak 1950-an. Paraben mencegah timbulnya jamur, bakteri, dan membuat produk lebih tahan lama. Paraben dibentuk dari para-hydroxybenzoic acid (PHBA) yang terdapat di dalam raspberry, wortel, timun, dan lain-lain. 

Lalu, kenapa dianggap berbahaya?

Pada 1998, Routledge dkk. melakukan tes in vitro  pada kultur sel ragi dan tes in vivo pada tikus hidup. Mereka menemukan bahwa paraben adalah estrogenik yang lemah yang bisa mengikat reseptor estrogen dan karenanya dapat bertindak seperti hormon seks perempuan. Paparan estrogen yang berlebihan kemudian dikaitkan dengan perkembangan kanker payudara dan gangguan reproduksi. Namun, paraben yang digunakan pada penelitian tersebut 100.000 kali lebih lemah pada tikus hidup, sedangkan paraben estrogenik paling rendah, methylparaben, 2.500.000 kali lebih lemah secara in vitro dan sama sekali tidak aktif pada tikus. Perlu juga dicatat bahwa penelitian ini menyuntikkan paraben ke bawah kulit tikus, dimana hal tersebut bukan cara yang biasanya kita lakukan ketika menggunakan kosmetik.

Kemudian pada 2004, ilmuwan Inggris menemukan adanya kandungan lima paraben dalam tumor payudara. Setelah hasil penelitian tersebut dirilis, banyak yang menyimpulkan bahwa paraben adalah penyebab kanker payudara. Paraben dianggap dapat menyebabkan kanker payudara karena berperilaku layaknya hormon estrogen melalui proses yang disebut gangguan endokrin. Lalu, pada 2006, ilmuwan Jepang menemukan bahwa methylparaben dapat memiliki efek berbahaya saat terkena sinar matahari. 

Jadi, paraben berbahaya dong?

Begini, ilmuwan Inggris yang menemukan adanya kandungan lima paraben dalam tumor payudara tidak pernah mengatakan bahwa paraben adalah penyebab kanker payudara. Paraben dianggap dapat menyebabkan kanker payudara karena berperilaku layaknya hormon estrogen melalui proses yang disebut gangguan endoktrin, faktanya penelitian ini dilakukan pada hewan dan menggunakan dosis paraben yang sangat tinggi. 

Meskipun tidak ada cukup bukti untuk meyakinkan hubungan antara penggunaan paraben dan peningkatan risiko kanker, penelitian tersebut membuktikan bahwa paraben dapat melewati penghalang kulit dan masuk ke tubuh kita.

Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika, paraben boleh digunakan sebagai pengawet dengan dosis yang sudah dibatasi. Khusus produk kosmetik impor yang mengandung isopropylparaben, isobutylparaben, dan benzylparaben dapat lolos BPOM (kecuali jika bahan-bahan tersebut dilarang di negara asal). Di Uni Eropa sendiri, sejak 16 April 2015, penggunaan butylparaben dan propylparaben dikurangi dalam produk kosmetik dan dihindari penggunaannya dalam produk popok anak di bawah usia tiga tahun. 

Menurut peraturan Uni Eropa dan FDA, paraben secara resmi dianggap aman untuk digunakan, karena produk kosmetik hanya menggunakan konsentrasi yang sangat kecil (sekitar 0,4 persen).

Dengan maraknya anti paraben, banyak jenama kosmetik yang memilih untuk menggunakan pengawet alternatif untuk berjaga-jaga. Tidak cukup di situ saja, dalam banyak situs berisi analisis komposisi produk kosmetik seperti Skin Carisma, paraben masuk ke dalam daftar zat yang berbahaya. Padahal, belum ada basis saintifik kuat dan website sejenis ini juga tidak memperhitungkan konsentrasi dari bahan yang mereka anggap berbahaya tersebut. 

Ketika kamu melihat produk "bebas paraben" yang bisa bertahan selama setahun (masa simpan banyak produk yang mengandung paraben), pasti ada beberapa pengawet lain yang terlibat. Penelitian tentang alternatif paraben sendiri tidak sebanyak penelitian paraben yang sudah teruji efektivitasnya. 

Pada 2019 lalu, Uni Eropa menetapkan aturan baru untuk istilah "bebas paraben" yang menyatakan "bebas dari paraben tidak boleh diterima, karena merendahkan seluruh kelompok paraben". Hal ini dilakukan untuk menghentikan penggunaan istilah “bebas paraben” dalam pemasaran produk kosmetik dan tidak menstigmatisasi jenama yang menggunakan bahan paraben.

Saat melihat jenama kosmetik yang mengiklankan produknya bebas paraben, kita sebaiknya tetap skeptis. Bisa perhatikan komposisi produk dan cara memasarkannya: apa ia sudah terdaftar di BPOM? Apa ia benar-benar menggunakan pengawet alternatif yang aman, atau cuma berusaha meraup keuntungan dari ketakutan masyarakat?