Bandung Lautan Rusuh 1963

Malam di kota kembang telah beranjak larut ketika sunyi-senyap dipecah kerasak bunyi siaran Radio Republik Indonesia. Di depan corong, Gubernur Jawa Barat Mashudi berbicara. Sang pejabat tertinggi di Tatar Pasundan kala itu menyangga beban berat di pundaknya untuk menyampaikan penyesalan, kekecewaan, sekaligus permohonan maaf atas malapetaka pada Jumat pagi itu: amuk yang mulai terjadi di jantung kota Bandung, sebelum kemudian merebak sampai beberapa hari berikutnya di kota-kota lain di Jawa Barat dan perbatasan Jawa Tengah.

“Sangat saya sesalkan kejadian ini, bukan saja akibat kerugian dari anasir-anasir yang tidak bertanggung jawab, tetapi justru karena belum lama kita dapat berkata bahwa keamanan dan ketenteraman telah pulih di Jawa Barat,” ujar Mashudi sebagaimana dikutip dalam berita utama Pikiran Rakjat edisi 11 Mei 1963. 

Mashudi berusaha menyampaikan sejumlah petunjuk kepada orang-orang Tionghoa, korban terbesar dari kerusuhan pagi itu, antara lain agar mereka “menaati petunjuk alat negara serta menghindari sikap gegabah”. Mashudi juga memastikan agar pemulihan keamanan didukung sepenuhnya. “Terhadap mereka yang menderita langsung, dari tempat ini, saya mengharapkan maaf,” tutup Mashudi dalam pidato radio yang kemudian disiarkan ulang sebanyak tiga kali.

Tentu, permintaan maaf Mashudi tidak mampu mengubah keadaan. Nasi sudah jadi bubur, pertokoan dan harta benda orang Tionghoa sudah jadi abu. Tak seorang pun berani menyatakan bertanggung jawab mendalangi kerusuhan, seakan-akan kejadian pagi itu adalah pekerjaan lelembut.

Lewat radio, Mashudi menyatakan kerusuhan itu adalah pekerjaan “anasir2 jang tak bertanggung djawab”, sementara Dewan Mahasiswa ITB yang bergantian pidato sesudah Mashudi menyebut “tidak didalangi organisasi tertentu, tetapi merupakan akibat adanja kontradiksi2 antara minoritas dan bangsa Indonesia”.

Satu hal yang pasti: lautan rusuh yang terjadi di Bandung pada Jumat pagi, 10 Mei 1963, bukan sebuah epos yang jatuh dari langit. Ia menjadi satu mata rantai dari sejarah panjang akar pahit diskriminasi dan letupan-letupan anti-Tionghoa yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia, baik sebagai wilayah jajahan maupun sebagai republik.

Sejak Aturan Itu Terbit

“Kontradiksi” yang dipersalahkan Dewan Mahasiswa ITB sebagai akar kerusuhan bisa jadi ada benarnya. Sejak orang-orang keturunan Tionghoa diperalat Belanda menjadi pemungut pajak yang mempunyai privilese di berbagai bidang, kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk menganakemaskan warga Tionghoa dalam perniagaan telah menciptakan ketimpangan sosial di antara orang-orang keturunan Tionghoa dan orang-orang ‘asli’ yang dikategorikan sebagai inlander.  

“Tanda keunggulan dalam ekonomi ini merupakan perkembangan dari toko-toko yang dimiliki orang Cina di sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota-kota kecil dan besar di Indonesia,” tulis Ong Hok Ham dalam artikel “Akar-Akar Sentimen Anti Cina” yang termuat dalam kumpulan Migrasi Cina, Kapitalisme Cina, dan Anti Cina (2017, hal. 19).

Kebijakan Belanda ini menghasilkan kecurigaan kalangan bumiputera terhadap orang-orang Tionghoa. Sentimen ini tak serta-merta terhapus bahkan setelah berdirinya republik. 

Dalam buku Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok, dan Etnik Tionghoa 1945-1967 (2019), misalnya, Taomo Zhou mencatat empat masalah yang harus dihadapi oleh orang-orang Tionghoa-Indonesia, baik totok maupun peranakan, dalam dua dekade pertama sejak Indonesia merdeka: keberpihakan dalam Perang Saudara Tiongkok antara kubu Komunis yang dipimpin Mao Tse-tung dan kubu Nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-shek; masalah status kewarganegaraan; dilema asimilasi atau integrasi dengan penduduk ‘asli’; serta intervensi pemerintah untuk menekan dominasi perekonomian terhadap pengusaha bumiputera.

Masalah terakhir agaknya menjadi yang paling kompleks. Pemerintah Republik Indonesia berusaha meningkatkan kecakapan para pengusaha ‘asli’ agar mampu menyaingi keunggulan orang-orang Tionghoa dalam perniagaan, antara lain dengan program insentif Benteng oleh Soemitro, model kemitraan “Ali-Baba” oleh Iskaq Tjokroadisoerjo, pemberian izin lisensi untuk pengusaha pribumi, hingga larangan orang Tionghoa memiliki usaha penggilingan padi. 

Tak satupun dari kebijakan-kebijakan ini yang membawa efek signifikan. Walhasil, muncullah Peraturan Presiden No. 10/1959 yang melarang aktivitas “pengusaha asing” di daerah pedalaman.

Kebijakan yang diteken Sukarno pada 16 November 1959 ini, sekalipun memuat konteks “pengusaha asing”, dalam praktiknya tetaplah menjadi aturan sapu-jagat yang, “[....] menandai dimulainya gerakan ekonomi besar-besaran dan sistematik, dipimpin oleh pemerintah dengan minoritas Tionghoa sebagai sasaran,” catat Zhou (2019, hal. 238). 

Siauw Giok Tjhan, yang saat itu menjabat Ketua Umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan anggota DPR mengecam keras peraturan ini, bahkan sejak masih berbentuk Peraturan Menteri Perdagangan. Alasannya, para pedagang Tionghoa mempunyai legalitas usaha yang jelas dan dampak peraturan ini juga sangat besar untuk perekonomian nasional. 

Siauw meragukan jika aturan ini direstui Sukarno, yang notabene masih berada di luar negeri saat Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno mengeluarkan peraturan tersebut pada Mei 1959. “Menurut Siauw, Sukarno ditekan oleh pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai Islam yang berpendapat bahwa sosialisme memerlukan proses yang menjamin perpindahan pemilikan usaha dari tangan asing ke tangan orang Indonesia ‘asli’ di pedalaman,” tulis Siauw Tiong Djin dalam biografi Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Patriot Indonesia Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika (1999, hal. 316).  

Segera sejak aturan ini bergulir, orang-orang Tionghoa di berbagai daerah mulai diusir. Kantor Berita Xinhua memperkirakan sekitar 300.000 orang Tionghoa akan dipaksa pindah dari pedalaman, sementara 83.793 bisnis di pedesaan akan tutup dan diambil alih orang-orang ‘asli’. 

Menurut catatan J.A.C. Mackie dalam artikel “Anti-Chinese Outbreaks in Indonesia, 1959-68” yang dimuat dalam bunga rampai The Chinese in Indonesia, pengusiran pedagang Tionghoa dari pedalaman berlangsung dengan cara yang berbeda-beda.

Contoh paling keras ditemukan di Jawa Barat, di mana pengaruh partai-partai Islam sangat kuat. Hal ini berbeda dengan kasus Jawa Tengah atau Jawa Timur, di mana pemaksaan terhadap penduduk Tionghoa tidak terjadi secara vulgar (1976, hal. 95-96). Zhou mencatat pula, di daerah-daerah lain, seperti Bangka Belitung, penambang-penambang muda yang memprotes PP-10 memutuskan angkat kaki dan berakibat merosotnya hasil produksi timah. Di Nusa Tenggara Timur, orang-orang Tionghoa miskin membanjiri Kupang karena pengusiran. Sementara di Bali, para petani kopi terpaksa kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka karena diusir secara semena-mena (2019, hal. 253)

Praktik pengusiran paksa ini menghadirkan efek domino yang tidak kalah besar: orang-orang Tionghoa semakin tidak yakin mereka bisa hidup aman di Indonesia. Inilah yang merepotkan bagi Siauw dan Baperki, karena usaha mereka untuk mempertahankan kepercayaan orang Tionghoa pada pemerintah Indonesia terancam sia-sia. Bukan hanya karena perjuangan Baperki terancam dianggap omong-kosong, melainkan juga karena kesempatan ini tidak disia-siakan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok yang mulai mengirim kapal-kapal untuk membantu repatriasi orang Tionghoa ke Tiongkok. Jumlahnya pun tak kepalang tanggung: nyaris 136.000 orang Tionghoa memilih kembali ke tanah leluhur, sementara sejumlah lain yang lebih mapan memilih pindah ke Eropa atau Amerika Serikat.

Gerombolan Menerjang

Orang-orang Tionghoa yang memilih bertahan di Indonesia menyaksikan menjalarnya ketegangan dan letupan antara orang-orang ‘asli’ dengan kalangan Tionghoa. 

Siauw mengingatkan, dua bulan sebelum Peristiwa 10 Mei, kejadian serupa di Cirebon pada 13 Maret 1963. Penyebabnya? Massa yang marah karena seorang anak dokter ‘asli’ divonis bersalah karena menabrak seorang pelajar Tionghoa hingga tewas di jalan. Eskalasi yang kemudian pecah di Bandung ditengarai Siauw sebagai efek terusan dari kejadian Cirebon.

Wartawan Pikiran Rakjat berhasil merekonstruksi bagaimana kerusuhan itu bermula. Dalam reportase bertajuk “68 Kendaraan Dimakan Api, Ratusan Djuta Musnah” yang dimuat dalam edisi 11 Mei 1963, gerombolan perusuh mulai berarak dari Kampus ITB pada pukul 08.00, meluncuri jalan-jalan protokol di Bandung, mulai dari Dago, Merdeka, Braga, dan Asia-Afrika, sebelum terus ke Banceuy, Dalem Kaum, Kebonjati, Dipatiukur, hingga Ciumbuleuit. Di sepanjang jalan-jalan itu, rumah, pertokoan, dan kendaraan bermotor orang-orang Tionghoa dirusak. Berbagai peranti elektronik seperti radio, televisi, dan lemari pendingin juga digasak dan dihancurkan. 

Petugas keamanan baru bisa mengendalikan situasi pada pukul 15.00. Menurut laporan, dalam sebuah upaya pengamanan, tembakan peringatan seorang petugas justru mengenai tiang kawat listrik yang seketika putus dan menimpa dua orang hingga tewas di tempat. 

Satu batalyon “Kudjang II” dikerahkan untuk pengamanan dalam kota, ditambah dua regu Brigade Mobil dan satuan-satuan Perintis. Kendati demikian, pembakaran-pembakaran terus berlangsung sampai malam hari. Tidak kurang dari 42 mobil dan 26 sepeda motor dibakar massa. Mobil-mobil dijungkirbalikkan dan puluhan rumah tinggal kosong-melompong karena dijarah dan dibakar. 

Mulai tengah malam, Bandung menjadi kota mati. Jam malam diterapkan mulai pukul sembilan malam hingga enam pagi. 

Efek sosial yang sangat kentara adalah warga Bandung sulit mengakses transportasi. Sejumlah jalan ditutup sehingga kendaraan seperti oplet dan becak berhenti beroperasi. Pikiran Rakjat edisi 13 Mei 1963 melaporkan, selama satu hari, empat moda transportasi utama di Bandung, yakni oplet, becak, dan bemo sulit didapatkan mengingat juragan pemilik kendaraan tersebut rata-rata adalah orang Tionghoa. 

Toko-toko ditutup dan ditempeli plakat “Milik Bangsa Indonesia” dan para pemiliknya  mengibarkan bendera merah putih di depan bangunan toko.Praktik dokter tidak beroperasi selama seharian, begitupun dengan bioskop yang hanya memutar satu layar untuk satu kali jam tayang. Banyak laki-laki mengendarai mobil dan sepeda motor dengan mengenakan kopiah semata agar tidak menjadi sasaran perusuh yang menganggap orang berkopiah sebagai “saudara pribumi”.

PPKK Bergerak

Guncangan kerusuhan rasial di Bandung yang menjadi porsi berita utama Pikiran Rakjat selama beberapa hari dengan cepat menjadi headline nasional. Harian Warta Bhakti edisi 12 Mei 1963 memasang judul besar di halaman satu yang menegaskan sikap pemerintah pusat yang menyesali terjadinya peristiwa itu. Koran yang berafiliasi dengan Baperki ini juga memuat penjelasan Roeslan Abdulgani, Menteri Penerangan Kabinet Kerja III yang menjelaskan betapa buruknya efek destruktif konflik komunal ini bagi keutuhan dan keberlangsungan revolusi. 

Puncaknya, pada 19 Mei, Presiden Sukarno mengutuk peristiwa 10 Mei sebagai gerakan kontrarevolusi yang sengaja direkayasa oleh sisa-sisa partisan PSI, Masjumi, dan PRRI/Permesta untuk merusak reputasi Indonesia dalam perjuangan melawan imperialisme. 

Dalam mengambil sikap terhadap 10 Mei, perseteruan antara Baperki dan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa menjadi tidak terelakkan. Yang terakhir disebut ini adalah organisasi serupa Baperki yang disponsori Angkatan Darat, cenderung antikomunis dan menjadi penganjur gerakan asimilasi.

Baperki, dengan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan, menuding LPKB telah mengipasi kemarahan massa dengan menciptakan narasi miring tentang orang-orang Tionghoa yang secara keseluruhan dianggap menolak asimilasi. Sebaliknya, LPKB menuding Baperki yang berpendirian pro-integrasi sebagai biang ketegangan antara orang-orang ‘asli’ terhadap orang-orang Tionghoa, yang menjadi bahan bakar kerusuhan ini. 

Gontok-gontokan berlangsung sampai Baperki mengambil langkah konkret dengan membentuk Panitia Penolong Korban Kontrarevolusi (PPKK) bersama PKI dan Partai Indonesia (Partindo). Pembentukan panitia yang bersedia memberi pertolongan nyata kepada orang-orang Tionghoa yang terimbas kerusuhan ini termasuk langkah berani. Simpati dan kepercayaan orang-orang Tionghoa kepada pemerintah Indonesia secara umum dan pamor Partindo secara khusus pun meningkat.

Partindo dihidupkan kembali pada 1958, sesudah vakum dari kancah politik sejak dibekukan pemerintah kolonial pada 1931. Tokoh-tokoh teras Partindo umumnya adalah loyalis Sukarno seperti Asmara Hadi (suami Ratna Djuami, anak angkat Sukarno), A.M. Hanafi, Winoto Danu Asmoro, Oei Tjoe Tat, dan Armunanto (pemimpin redaksi harian Bintang Timur). “Banyak aktivis Sin Ming Hui, yang sebenarnya adalah perkumpulan sosial, berbondong-bondong masuk Partindo, yang makin meningkat setelah pecahnya kerusuhan rasial di Bandung, kemudian diikuti beberapa wilayah di Jawa Tengah,” tulis Oei dalam Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Sukarno (1995, hal. 96). 

Kelincahan aktivitas PPKK turut menarik perhatian Sukarno, yang berusaha merangkul golongan Tionghoa ke dalam pemerintahan. Mula-mula, Sukarno berencana menarik Siauw, yang sudah ia kenal dan bolak-balik dipanggilnya untuk berkonsultasi soal kebijakan yang berdampak pada orang-orang Tionghoa. Siauw memilih menolak tawaran ini, dan sebagai gantinya, ia memajukan Oei Tjoe Tat sebagai menteri. Oei mengenang pertimbangan Sukarno ketika itu, “Kamu tak tahu, sepak terjangmu aku ikuti sejak Mei dalam PPKK. Berani benar kamu, ya. Masa kamu masih mau sembunyi terus?” 

Begitulah Oei seterusnya “diperbantukan” di Presidium yang dijabat triumvirat Wakil Perdana Menteri Subandrio, Johannes Leimena, dan Chairul Saleh sampai kekuasaan Sukarno mulai dicabik-cabik Angkatan Darat setelah angin berganti pada 1 Oktober 1965.