Saya pengguna paylater, Gopaylater lebih tepatnya. Kebetulan saya termasuk salah satu pengguna beruntung yang mendapat akses awal. Pendaftarannya pun mudah, hanya butuh foto diri dan KTP. Hanya dalam waktu dua hari kerja paylater-nya bisa digunakan. Meski punya, saya terhitung sangat jarang menggunakannya. Rata-rata saya menghabiskan Rp200.000 dari batas kredit Rp1.000.000.
Namun banyak peminjam paylater yang memaksimalkan limit mereka sampai berakhir buntung. Fenomena ini sering terlihat di pengguna paylater e-commerce sampai melahirkan “galbay” alias gagal bayar.
Fenomena galbay meningkat pesat di tengah pandemi. Banyak orang kehilangan mata pencaharian, sementara biaya hidup terus membengkak. Paylater dan pinjol dianggap sebagai mata air di tengah gurun; sebuah sumber kredit yang mudah dan murah.
Tapi kenyataannya tidak seindah itu. Banyak pinjaman daring ternyata lintah darat yang mematok bunga tinggi dan tenor pendek. Data debitur juga disebar kemana-mana. Keluarga, teman, bahkan kenalan ikut diteror. Pinjol legal pun tak luput dari kemungkinan kebocoran data jika debitur tak mampu membayar hutang.
Mereka yang galbay berkumpul di grup-grup Facebook. Ada yang gagal bayar karena tertipu pinjol ilegal, ada juga yang terjerat hutag pinjol legal. Grup-grup Facebook ini menjadi “ruang aman” bagi mereka untuk membagikan tips cara menghindari teror debt collector, cara mencicil tagihan yang belum terbayar, meminta bantuan melunasi hutang, sampai mencari dan membagikan nama aplikasi pinjaman online (pinjol) yang cepat “lumer”.
Kenapa fenomena ini merebak di mana-mana?
Sulap utang agar keren
Mudah bagi kita untuk menyalahkan mereka yang terjebak pinjol sebagai orang-orang bodoh yang tak tahu batasan. Namun akar dari permasalahan galbay bukan hanya soal ketidakmampuan untuk berhemat dan menahan diri supaya tidak berutang, melainkan juga soal cara-cara paylater dan pinjol mendorong orang-orang rentan untuk terus berutang.
Orang-orang rentan ini tak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, mulai dari disabilitas, ibu rumah tangga, pekerja kontrak, dan gig worker. Mereka tidak stabil secara ekonomi dan tidak dilindungi jaring pengaman.
Di sinilah paylater dan pinjol bertindak sebagai jaring pengaman. Mereka punya kelebihan seperti syarat pinjaman yang mudah (debitur harus berusia dewasa, memiliki e-KTP, dan smartphone—atau dalam kasus paylater, calon debitur harus punya rekam jejak pembelian di platform yang bekerja sama dengan paylater), penyetujuan aplikasi dan pencairan dana yang cepat.
Dibandingkan dengan bantuan pemerintah dan pinjaman bank yang harus melewati ruwetnya sistem birokrasi, paylater dan pinjol jauh lebih menggiurkan. Apalagi keduanya terkadang memiliki batasan kredit (limit) yang lebih tinggi daripada kartu kredit tradisional.
Itu baru mekanisme pendaftarannya. Belum lagi kerja paylater dan platform e-commerce yang begitu erat. Keberadaan paylater meningkatkan volume transaksi di platform e-commerce. Ekosistem ini merupakan lahan basah bagi orang-orang untuk berbelanja sekaligus berhutang. Paylater menawarkan kemudahan pendaftaran, limit besar, tenor panjang, dan bunga kecil, sementara marketplace menawarkan promo yang hanya bisa digunakan via paylater.
Tak hanya itu, pemasaran marketplace dan paylater sangat jor-joran dan bisa dilihat dimana saja. Setiap membuka aplikasi marketplace, para pengguna akan dihidangkan push dan pop notification soal promo paylater yang menggiurkan. Acapkali promo paylater jauh lebih tinggi dibanding promo bayar tunai, sehingga semakin mendorong konsumen untuk mendaftar ke paylater.
Ketika menonton TV atau video Youtube, penonton dihadirkan dengan iklan paylater dengan target yang berbeda. Traveloka Paylater menargetkan anak muda yang punya segudang mimpi (wishlist) untuk diri sendiri dan keluarga. Sementara Spaylater menargetkan bapak-ibu di kampung yang butuh kredit cepat untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Iklan-iklan ini tak hanya menggambarkan jasa paylater sebagai cara baru untuk membeli barang. Tapi juga mewajarkan orang untuk berhutang, bahkan untuk barang tersier yang terlihat menggiurkan karena iklan. Tentu ini juga berkaitan dengan mewujudkan mimpi untuk naik kelas sosial, seperti yang ditunjukkan oleh Kredivo.
Dari sini kita bisa melihat paylater menarget kelompok rentan: anak muda yang kemungkinan belum cukup mapan untuk mengambil hutang besar atau orang tua yang tidak begitu paham bagaimana pinjaman daring bekerja. Banyak dari mereka hanya tahu cara menggunakan, tapi tidak paham resiko di baliknya.
Risiko tak tertulis
Rendahnya literasi finansial adalah salah satu penyebab terbesar kenapa banyak orang terjebak hutang paylater dan pinjol. Banyak dari kita yang “kaget” dengan cepatnya transisi finansial. Dari yang dulunya terbiasa membayar semuanya dengan uang tunai, sekarang harus membiasakan diri transfer atau menggesek kartu. Yang dulunya memegang langsung barang di toko, sekarang harus mengandalkan foto, deskripsi barang, dan ulasan pembeli tak berwajah di marketplace.
Pinjaman yang dulunya terbatas ke keluarga, teman, atau bahkan bank dengan ruwetnya birokrasi perbankan, sekarang bisa didapatkan lewat pinjol. Serba digital, serba cepat, tapi dengan risiko yang tak jelas.
Risiko terbesar bukan hanya kelalaian pengguna dalam membedakan pinjol legal dan ilegal serta tidak membaca syarat dan ketentuan dengan cermat. Tapi juga rendahnya edukasi dan literasi finansial. Pihak pinjol dan paylater tidak serius mensosialisasikan cara kerja, pembayaran, dan denda. Atau lebih parah lagi, justru menjebak debitur dengan iklan bodong.
Kelalaian lainnya, media dan pemerintah baru berbondong-bondong menghimbau dan memberitakan soal bahaya meminjam di pinjol ilegal setelah banyak orang menjadi korban. OJK sendiri baru mengumumkan daftar pinjol legal di Februari 2019, padahal 404 pinjol ilegal sudah memangsa masyarakat rentan sejak tahun 2018. Masyarakat juga baru dihimbau paylater bukan sumber uang gratis setelah banyak konsumen curhat terjebak hutang bernominal jutaan di paylater.
Tentunya hal seperti ini tidak akan berhenti selama pemerintah dan OJK tidak mencabut masalah dari akarnya. Perlu ada edukasi finansial yang merata dan dimulai sejak dini, aturan tentang iklan konsumsi, pinjol, dan paylater yang tidak predator, serta aturan perlindungan data yang ketat.