Ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengatakan bahwa "Manusia yang tak pakai AI akan dikalahkan oleh manusia yang pakai AI", apa yang sebenarnya ia maksud? Apakah ia sedang merujuk pada pengalaman personalnya di pilpres lalu ketika tim kampanyenya menggunakan AI untuk menghasilkan gambar-gambar ilustrasi yang berhasil memoles citra di hadapan pemilih dari generasi Z dan milenial? Atau kemungkinan lainnya? Bagaimana dengan manipulasi gambar yang digunakan untuk mengobjektifikasi perempuan dan anak? Jelas, ia tidak pernah sekalipun mempertanyakan atau membayangkan imaji dunia yang penuh sensor dan manipulasi AI, di mana misinformasi dan disinformasi bertebaran di ruang digital dan membahayakan kelompok-kelompok rentan. Sebab, sensor dan manipulasi adalah logika berpikir mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan. Dan dunia yang penuh sensor serta manipulasi AI bukan lagi distopia; ia sudah terjadi hari-hari ini.
Teknologi—terutama infrastruktur termutakhirnya seperti AI—bukan takdir yang turun dari langit begitu saja. Kita tidak bisa dan tidak cukup hanya menggunakannya. Sebab internet bukan cuma soal AI, Wi-Fi, atau platform media sosial, melainkan tentang kedaulatan, keadilan, dan siapa yang punya suara di balik layar digital. Internet bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga arena politik dan perebutan kekuasaan. Sebagai publik yang menginginkan demokrasi tetap tumbuh, tentu kita tidak bisa membiarkan hasrat besar atas dominasi ruang digital oleh mereka yang merupakan bagian dari kekuasaan, seperti pengawasan siber oleh TNI dalam UU TNI dan logika penyensoran yang digunakan dalam RUU Penyiaran. Namun, kita juga tidak bisa bergantung sepenuhnya pada mekanisme pasar, yakni pada perusahaan-perusahaan teknologi. Kita perlu membayangkan arah masa depan teknologi dan eksplorasi solusi yang adil bagi manusia melalui tata kelola digital yang demokratis, sebagai sistem yang paling memungkinkan dan menjamin pemenuhan hak-hak individu sebagai publik. Internet mestinya adalah senjata baru yang bisa kita gunakan untuk perubahan sosial dan politik.
Dalam definisinya yang paling sederhana, tata kelola digital dapat dimengerti sebagai aturan main yang wajib dipatuhi oleh seluruh pemangku kepentingan, baik dari aspek teknis maupun non-teknis, seperti aspek ekonomi, hukum, keamanan, pendidikan, hingga pembangunan infrastruktur. Tata kelola digital adalah arena politik. Sebab, tantangan dalam meregulasi internet adalah mengatasi tarik-menarik antara kepentingan sektor privat terhadap profit, kepentingan negara dalam pengawasan, dan kepentingan masyarakat sipil dalam melindungi hak-hak fundamental. Represi di internet yang mencederai hak asasi manusia (HAM) di ranah digital, khususnya di Indonesia, adalah makanan sehari-hari. Ia terjadi secara horizontal maupun vertikal. Pembungkaman terhadap band Sukatani, pemadaman internet di Papua, atau penurunan konten-konten di X yang bernuansa kritik terhadap pemerintah atas permintaan Komdigi terhadap platform adalah contohnya. Padahal, hak digital adalah hak asasi manusia. Termasuk diantaranya menyampaikan pendapat. Prinsip utama tata kelola digital mestinya mencegah konten berbahaya dan menjaga kualitas demokrasi, termasuk kebebasan berekspresi, akses informasi, dan pemenuhan HAM.
Dalam Universal Declaration of Human Rights, setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hak ini mencakup kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, serta untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta ide melalui media apa pun tanpa memandang batas-batas. Pada Juni 2011, PBB melalui Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank William La Rue, menyatakan bahwa "internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai HAM, memerangi ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan serta kemajuan manusia. Maka, memastikan akses ke internet harus menjadi prioritas bagi semua negara." Masalahnya, kita justru juga menghadapi pelanggaran HAM di internet melalui represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebanyakan oleh negara atau pemerintah. Oleh karena itu, memperluas pemahaman HAM ke ranah digital punya tantangan tersendiri.
Dalam kontestasi global, regulasi internet atau tata kelola digital yang menjunjung HAM dan demokrasi idealnya bisa dicapai dengan pendekatan multi stakeholder, di mana aktor seperti pemerintah, sektor privat, dan masyarakat sipil terlibat dalam penyusunan, pengawasan, dan penegakan aturan. Pendekatan multi stakeholder adalah satu dari empat variasi sistem tata kelola digital, selain co-regulation, self-regulation, dan state regulation. Pengakuan terhadap aktor-aktor di luar pemerintah dan sektor privat seperti masuknya masyarakat sipil dalam urun rembug tata kelola digital baru dimulai sejak World Summit of Information society pada 2003 dan 2005. Pada saat itu, internet masih dilihat sebagai sarana pembangunan yang berguna bagi hajat hidup manusia namun kesenjangan akses antar negara masih sangat timpang.
Dengan kompleksitas tata kelola digital yang mencakup infrastruktur, protokol, konten, dan aplikasi, aturan main tidak lagi mungkin didominasi oleh satu pihak. Meski internet awalnya dilihat sebagai ruang yang bebas dari intervensi pemerintah, pengaturan lebih lanjut dibutuhkan saat ini. Namun, meregulasi internet juga dipengaruhi oleh jenis rezim yang berlaku serta budaya hukum dan politik yang ada di suatu negara. Dalam laporan Cathamhouse 2024, ada kecenderungan bahwa bentuk regulasi negara yang nilai demokrasinya tinggi menurut Freedom House, memiliki bentuk regulasi yang mengutamakan kapasitas dan hak pengguna.
Gagasan multi stakeholder pada dasarnya adalah upaya pembagian kewenangan tak hanya pada negara dan sektor privat, tapi juga pada aktor lain seperti masyarakat sipil. Pendekatan ini mensyaratkan kesetaraan antar pemangku kepentingan. Sayangnya, tiap aktor dalam pendekatan multi stakeholder memiliki daya tawar yang tidak seimbang. Masyarakat sipil nyaris kerdil di hadapan korporasi dan negara, terutama dalam konteks negara yang belum sepenuhnya demokratis. Akibatnya, pendekatan ini berisiko menjadi simbolik semata, tanpa pengaruh nyata.
Selain dari pendekatan regulatifnya, tata kelola digital terdesentralisasi (decentralized governance - DGov) adalah bentuk spesifik dari tata kelola multi-stakeholder (multi-stakeholder governance). Dalam tata kelola digital yang terdesentralisasi, pemanfaatan kecerdasan artifisial (AI) ter-distribusi (distributed/decentralized-AI) akan berbasis komunitas (community-based). Artinya, ini akan berpotensi menggoyangkan relasi kekuasaan yang telah mapan dalam spektrum teknologi. Makna desentralisasi di sini adalah pengaturan teknologi tidak hanya ditentukan oleh satu pihak saja, tapi oleh banyak orang atau kelompok secara bersama-sama. Pendekatan ini menjadi penting untuk bersama-sama memastikan bahwa pengembangan kecerdasan buatan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, transparansi, dan non-diskriminasi.
Dalam sistem ini, masyarakat, misalnya melalui komunitas yang bersama-sama membangun dan mengelola sistem teknologi, bisa ikut terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan teknologi. Misalnya, komunitas pengembang open-source software, atau komunitas pengguna akan menyumbang data untuk sistem AI. Sebab, sistem AI dibangun dan dikontrol oleh perusahaan-perusahaan besar karena butuh data dan sumber daya yang besar seperti OpenAI, Google, Meta, Deepseek atau NVIDIA. Saat ini, perusahaan-perusahaan seperti itu memang seperti sedang melakukan perlombaan pengembangan AI dengan teknologi dan hasil termutakhir.
Sebenarnya, praktik-praktik tata kelola ter-desentralisasi telah dimulai dari gerakan Free/Open Source Software. Platform digital yang dimiliki perusahaan besar seperti Meta, Google, atau X telah mendominasi ruang digital yang digunakan pengguna di seluruh dunia. Intervensi negara terhadap korporasi besar ini, terlebih pada negara yang demokrasinya buruk seperti Indonesia, seringkali menggunakan pendekatan yang melanggengkan otoritarianisme digital.
Gerakan Free/Open Source Software memiliki dua pendekatan: pertama, perangkat lunak bebas yang menekankan kebebasan etika dan pengguna; kedua, perangkat lunak sumber terbuka yang menekankan keuntungan teknis dan praktis. Keduanya bertujuan menyediakan perangkat lunak yang dapat digunakan, dimodifikasi, dan didistribusikan secara bebas oleh siapa pun. Gerakan ini mendorong keterbukaan, kolaborasi, dan inovasi.
Untuk membuat tata kelola digital yang terdesentralisasi (decentralized governance / DGov) bisa terjadi dan dijalankan dalam konteks pengembangan AI, pertama-tama setelah mekanisme Tata Kelola yang terdiri dari Multi-Pemangku Kepentingan, regulasi yang dihasilkan haruslah tidak terlalu pro-korporasi atau mengunci akses teknologi hanya untuk pemain besar. Tata kelola digital yang terdesentralisasi juga bisa terealisasi jika gerakan free/open source software tadi juga berhasil mengembangan platform AI yang bersifat open-source. Artinya kode dan model AI bisa diakses dan digunakan oleh siapa saja dan harus ada insentif agar para gerakan open source mau berpartisipasi, misalnya lewat pendanaan publik, hibah riset, atau pengakuan formal. Sebab, tanpa itu semua, hanya Big Tech yang punya akses untuk membangun AI.
Pada akhirnya, internet bukan sekadar ruang tempat kita hadir, tapi juga ruang yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bergerak. Jika ia terus dikelola oleh segelintir aktor yang tak bisa dimintai pertanggungjawaban, maka ruang digital akan berubah menjadi labirin gelap—dipenuhi algoritma yang tak kita mengerti dan kebijakan yang tak bisa kita lawan. Kita mesti mulai mendorong kelola digital yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada publik. Dalam dunia yang semakin terkoneksi, kita bukan hanya menjadi pengguna, tapi juga penentu arah masa depan ruang digital.
Bhenageerushtia adalah Partnership dan Advokasi Manager di Remotivi, lembaga pemantau isu media dan komunikasi dan kebijakan publik yang mempengaruhinya. Ia aktif mengawal isu-isu kebebasan berekspresi, regulasi digital, dan hak-hak sipil di ruang daring. Ia aktif terlibat dalam kerja-kerja advokasi kebijakan, kampanye publik, serta membangun kolaborasi strategis dengan organisasi masyarakat sipil, media dan warga. Ia juga merupakan fellow di Indonesian School of Internet Governance (ID-SIG) SAFEnet 2024, sebuah program penguatan kapasitas untuk para pembela hak digital di Indonesia.