Beberapa Kejutan dan Sebuah Harapan

Beberapa Kejutan dan Sebuah Harapan
Mahfud Ikhwan

Ya, kejutan itu memang ada. Dan musti diakui—bagaimana lagi? 
Tak ada tim yang lolos ke 16 besar dengan nilai sempurna. Dengan demikian, tak ada tim yang sempurna atau terlihat sempurna. Mereka bisa dijungkalkan atau setidaknya dibikin mampat. Beberapa hari lalu Prancis dan Brazil kelihatan tak bisa diganggu-gugat. Hari ini kita tahu, mereka toh bisa dibabat. 
Jepang dan Maroko, dengan skuad ala Eropa mereka, lolos sebagai juara grup. Keduanya mengatasi tim-tim seperti Spanyol dan Jerman untuk Grup E, dan Belgia dan Kroasia untuk Grup F. Korea, sementara itu, mengalahkan Spanyol sekaligus menyingkirkan Uruguay dengan drama, baik di lapangan maupun di papan klasemen. Ketika Son Heung-Min dan topengnya membuka pertahanan Portugal bagi gol Hwang Hee-Chan, Luis Suarez menutupi mukanya dengan kaos dan harus melupakan Piala Dunia terakhirnya. Padahal nilai dan selisih gol kedua tim sama. 
Belgia yang jompo dan kegemukan, persis badan Edin Hazard, bahkan sudah menujum nasibnya sendiri sebelum akhirnya mewujudkannya. Generasi emas yang kesekian itu rupanya leleh lebih cepat; telah mencapai puncaknya di Rusia empat tahun lalu, itu membuat mereka tak sempat melampaui prestasi generasi emas sebelumnya. Apa yang didapat Hazard, De Bruyne, dan Courtois akhirnya tak lebih tinggi dari apa yang pernah digapai Pfaff, Scifo, dan Gerets. 
Kamerun memang pulang lebih cepat—seperti yang mereka alami dalam enam edisi Piala Dunia sebelumnya. Tapi, Vincent Aboubakar tak akan sungkan bercerita kepada para tetangga dan kelak anak-cucunya tentang gol yang diciptakannya ke gawang Brazil dan kartu merah yang kemudian didapatnya. Wahbi Khazri barangkali juga demikian; saya bisa bayangkan ia akan bercerita dengan wajah ceria tentang golnya ke gawang Prancis kepada para tetangganya di Ajjacio, meski sambil memegangi tulang keringnya yang masih bengkak.
Tapi, ketaklolosan Jerman dari babak grup (kedua secara berturut-turut setelah Rusia 2018) tetaplah harus diberi cetak tebal setidaknya untuk tiga alasan. Pertama, karena mereka Jerman. Kedua, (karena mereka Jerman) menyingkirkan mereka dari turnamen lebih cepat adalah lebih baik; sebab kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi jika mereka mencapai babak tos-tosan. Ketiga, karena tak ada orang yang menyukai Jerman selain mereka yang menyukai Jerman, jadi kenapa kita tak bergembira di atas kegagalan mereka? Schadenfreude! 
Beberapa kejutan di babak penyisihan, dan terutama tersingkirnya Jerman, membuat Qatar 2022 jadi terasa jauh lebih lumayan dari yang sebelumnya kita bayangkan. 
Tapi, yang terpenting, setelah itu apa?

***

Piala Dunia 1930 Uruguay barangkali adalah Piala Dunia yang tiada duanya. Ia jadi yang pertama dan, untuk satu hal, akan jadi satu-satunya. 
Meskipun disatukan oleh permainan indah yang disebarluaskan para imigran Inggris Raya ke seluruh dunia, pada dasarnya, di Stadion Centenario Montevideo, yang dibangun untuk merayakan 100 tahun Konstitusi Pertama negara mungil tersebut, dua sepakbola dari dua dunia yang berbeda berjumpa. Ketika di final tuan rumah Uruguay jumpa dengan tetangga sekaligus musuh terbesarnya, Argentina (mengulangi final Olimpiade 1928), dan memenangkannya, itu menegaskan kemenangan sepakbola dunia baru dari sepakbola dunia lama; bahwa murid yang kencing berlari telah menang berkali-kali dari guru yang belum benar-benar lurus kencingnya. Futbol rioplatense (sepakbola tepian Sungai La Plata) sudah diperkenalkan dan jadi perbincangan bertahun-tahun sebelumnya di Eropa, tapi Piala Dunia 1930 adalah etalase resminya. 
Tapi itu juga sepertinya menjadi momen terakhir dua jenis sepakbola yang berbeda benar-benar ada dan berhadap-hadapan di Piala Dunia. Pameran futbol rioplatense di hadapan para delegasi Eropa, yang dimulai di Olimpiade 1924 Paris, lalu Olimpiade 1928 Amsterdam, dan diulang lagi dua tahun kemudian di Piala Dunia pertama di Montevideo, mungkin bukan faktor utama migrasi awal bakat-bakat sepakbola dari dua sisi sungai yang memisahkan Montevideo dan Buenos Aires itu ke Eropa. Tapi, jelas sekali, ia menderaskannya. 
Julio Libonatti menjadi sang pemula ketika pada 1925 ketika ia pindah dari Rosario Central ke Torino, dan segera menjadikan klub yang disebut terakhir penguasa Italia. Agnelli Senior, bos FIAT sekaligus direktur Juventus yang iri kemudian mendatangkan orang Argentina berikutnya, Raimundo Orsi. Dan sekali lagi seorang pesepakbola kelahiran Argentina mengubah peruntungan sebuah klub Italia. Sukses dengan Orsi, Juventus kemudian berturut-turut mendatangkan Renato Cesarini dan kemudian Luis Monti. Orsi dan Monti, bersama Attilio Demaria dan Enrique Guaita adalah para pemain kelahiran Argentina yang kelak memberikan gelar Piala Dunia pertama kepada Italia dan kebanggaan politik tak terkira bagi pemerintahan fasis Musollini. 
Diikuti terutama oleh para pemain Brazil dan Uruguay, juga kawasan Amerika Latin lain yang agak kurang menonjol, arus perpindahan itu tak terbendung lagi. Dan semakin hari semakin menghebat saja. Pada akhirnya, migrasi, perang, ketimpangan ekonomi, dan sepakbola profesional (baca: kapitalisme) mengocok semua perbedaan yang sebelumnya kentara, jika bukan sama sekali melenyapkannya. 
(Piala Dunia Antarklub, terutama dalam format lama kandang dan tandang, adalah sebuah upaya untuk mengawetkan yang berbeda. Tapi, kita tahu, ajang ini sudah lama tak lebih sebagai pertandingan eksibisi bagi para juragan yang mampu membayar biaya tanggapan.) 
Kini, setelah seratus tahun, tak ada yang tersisa kecuali sepakbola yang terlihat serupa; dari belahan mana pun, semua tim bermain sama, atau berusaha terlihat sama. 
Di Qatar, misalnya, kita menonton semua kiper terlihat seperti Manuel Neuer di Brazil 2014, atau setidaknya seperti kiper-kiper yang pernah dan sedang dipekerjakan oleh tim asuhan Pep Guardiola yang bisa menyapu dan membagi bola, dengan bek-bek yang terus melakukan back pass di depan mulut gawang sendiri untuk tiba-tiba membuat umpan diagonal jauh ke depan. (Dalam beberapa tahun ke depan, saya bisa bayangkan, sosok seperti Rene Higuita atau Jose Luis Chilavert masih dipercaya pernah ada hanya karena kita bisa menemukan rekaman videonya di Youtube.) 
Ketika semua tampak tidak berbeda, kita tahu siapa yang kemudian menjadi lebih dominan dan berada di depan.

*** 

Kita tak akan bisa mengulang bertemunya dua jenis sepakbola dari dua dunia yang berbeda seperti yang hampir 100 tahun lalu terjadi—dan, demi merayakan sepakbola sebagai milik semua bangsa dari semua benua, sebaiknya memang tak perlu lagi diulangi. Tapi mari kita melihat tim-tim yang kini telah berada di 16 Besar, dan membuat hitung-hitungan yang sedikit lebih optimis. Jika tak lagi melihat sepakbola yang berbeda, setidaknya kita berhak memiliki harapan untuk melihat sepakbola yang mewakili kawasan yang lebih beraneka ragam. 
Sebagai kejutan, lolosnya tiga tim dari Konfederasi Asia (Jepang, Korea Selatan, Australia) dan dua tim Afrika (Maroko dan Senegal) ke 16 Besar bukan hal yang terlalu spektakular; setidaknya kita memiliki preseden pada Ghana (2010), Korea Selatan (2002), Nigeria (1994), Kamerun (1990), dan—dengan tambahan bumbu politiknya—Korea Utara (1966). Tapi, kelolosan para “outsider” itu secara bersamaan menciptakan konstelasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bagan sisi kiri, tempat trio Jepang-Korea-Australia berada, barangkali akan berakhir dikuasai dua raksasa Amerika Latin, Brazil dan Argentina—atau Belanda, jika mereka beruntung. Di sisi kanan, tempat dua tim Afrika berada, kita bahkan sedikit kesulitan untuk memilih empat tim besar Eropa yang semuanya terlihat cocok untuk berada di semifinal. 
Tapi bagaimana jika tidak demikian?
Di babak grup, Korea bisa menahan Uruguay dan mengalahkan Portugal, kenapa tak mungkin mereka menjegal Brazil? Setelah mengalahkan Jerman dan Spanyol, maka menyingkirkan Kroasia akan menjadi kenormalan baru untuk Jepang. Dan itu cukup untuk membuat kita berandai-andai mendapatkan satu semifinalis dari Asia untuk pertama kalinya sejak Korea Selatan melakukannya 20 tahun lalu. 
Sembari kita akan menikmati tim-tim Eropa saling tikam (lihat kolom Prancis vs. Polandia dan Portugal vs. Swiss), tidak berlebihan rasanya membayangkan Maroko mengeliminasi Spanyol. Bono barangkali sedang tampil buruk bersama Sevilla musim ini, tapi ke mana arah tembakan Morata atau Torres atau Asensio ia pasti lebih dari sekadar tahu; sementara En-Nesyri seharusnya tahu bagaimana cara memperdaya Unai Simon. 
Dan siapa bilang Senegal tak akan punya kans atas Inggris? Jika para pemain depan Inggris bisa dicegah-tangkal oleh dua bek AS yang bermain untuk Fulham, kita tentu bisa berharap lebih kepada duo kiper-defender Chelsea di tim Senegal.  

*** 
   
Piala Dunia 2022 Qatar kemungkinan besar hanya akan mengulang apa yang dialami oleh Afrika Selatan, Brazil, dan Rusia: berlangsung, lalu dilupakan. Jika ada yang dibicarakan dan dikenang lebih panjang, barangkali adalah reputasi buruk mereka soal isu-isu kemanusiaan sebelum dan selama turnamen berlangsung. Juga betapa buruknya tim tuan rumah. 
Kecuali … jika Qatar bisa memberi hasil akhir kompetisi yang sedikit berbeda dari biasanya. 
Pasti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi nyata jika kita bisa mendapatkan juara di luar tim dari kawasan Eropa dan Amerika Latin, seperti yang bisa kita dapatkan di ajang sepakbola Olimpiade. Namun, sebuah semifinal yang diisi empat tim dari benua yang berbeda-beda pasti menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar istimewa. Bisa siapa saja. 
Ini jelas bukan prediksi. Ini masih sekadar harapan. Tapi, saya kira, ini harapan yang cukup punya dasar.