Belajar dari Pontianak, Kota yang Menerima Segala Jejak

Belajar dari Pontianak, Kota yang Menerima Segala Jejak
Oleh Akhmad Idris
***
Pluralitas bangsa Indonesia  menjadi lambang kekayaan budaya bangsa, sebab dari keberagaman tersebut muncul pelbagai keunikan tiap suku yang tersebar dari sabang sampai merauke. Variasi bahasa yang terdapat di bumi pertiwi ΜΆ mulai dari bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan sebagainya ΜΆ adalah bukti keunikan pluralitas yang terkadang dan sialnya justru dianggap sebagai ancaman. Isu etnisitas kerap disangkutpautkan dengan masalah etnosentrisme, padahal keberagaman (pluralitas) justru dapat menjadi kekuatan dalam mengukuhkan identitas nasional lewat bingkai persatuan seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan ini telah dibuktikan secara nyata oleh kota Pontianak, kota yang menerima segala jejak. Penggunaan istilah ‘jejak’ merujuk pada fakta bahwa di kota Pontianak terhimpun berbagai jejak suku bangsa, mulai dari suku Dayak; Melayu (Dayak dan Melayu sebagai penduduk asli); Jawa; Sunda; Madura; Bali; hingga keturunan Cina. Senada dengan yang disampaikan oleh Rianawati bahwa meskipun tingkat keberagaman etnis di Pontianak dapat dikatakan cukup tinggi, toleransi kehidupan bermasyarakat justru terjalin dengan baik. Melihat fakta hebat ini, agaknya apa yang membuat Pontianak menjadi kota yang mampu menerima segala jejak?
Penganut Paham Keterbukaan
Hal pertama yang membuat Pontianak memiliki hawa ‘menyenangkan’ bagi para pendatang adalah sikap penduduk asli yang menganut paham keterbukaan. Hal ini disebutkan di dalam buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan artikel hasil penelitian oleh Hasanuddin dan Budi Kristanto. Dalam dokumen-dokumen tersebut disebutkan bahwa suku bangsa Melayu sebagai penduduk asli bersikap secara terbuka dalam menerima pelbagai suku bangsa yang ingin datang hingga menetap di daerah mereka. Oleh sebab itu, di Pontianak terdapat beberapa kampung yang dinamai berdasarkan kelompok etnisnya. Sebut saja Kampung Bugis yang dihuni oleh orang-orang dari suku Bugis, Kampung Jawa yang dihuni orang-orang dari suku Jawa, Kampung Arab yang dihuni orang-orang Arab, Kampung Sunda yang dihuni oleh orang-orang dari suku Sunda, dan masih banyak lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Sejatinya, keberagaman ini mengisyaratkan bahwa Pontianak telah menjadi ‘rumah’ yang menyenangkan bagi siapapun.
Pemahaman yang Baik tentang Konsep Hidup ‘Cukup’
Hal selanjutnya yang menjadikan Pontianak layak disebut sebagai rumah segala bangsa adalah pemahaman yang baik tentang konsep hidup ‘cukup’ oleh suku Dayak sebagai penduduk asli. Rianawati (2016) menuturkan bahwa suku Dayak sebagai penduduk asli Pontianak, tidak pernah memperebutkan kekuasaan dari alam Kalimantan Barat sebagai sumber mencari nafkah. Mereka memilih hidup bersama dan menikmati kekayaan alam yang tersedia dengan kebersamaan pula. Kekayaan alam dinikmati sesuai dengan kebutuhan sehari-hari. Agaknya, konsep hidup ‘cukup’ seperti ini lah yang membuat suku Dayak hidup dengan bersahaja dan ‘kaya raya’. Ketersediaan alam dipergunakan sesuai dengan kebutuhan, bukan sesuai dengan keinginan yang cenderung berlebihan. Merujuk pada ungkapan yang dikatakan oleh Epicurus (Seorang Filsuf Yunani Kuno) bahwa kekayaan tanpa batas adalah kemiskinan yang paling besar. Batasan merasa cukup lah yang membuat orang-orang Dayak layak disebut ‘kaya raya’.
Perbedaan Keyakinan Tidak Menghalangi Hubungan Kemanusiaan
Hal ketiga yang membuat Pontianak dibetahi oleh para pendatang adalah tingginya tingkat toleransi antar umat beragama. Memang benar, agama adalah keyakinan masing-masing orang, namun hubungan kemanusiaan adalah sebuah cerita yang berbeda. Sebagaimana gagasan yang diungkapkan oleh Albert Einstein bahwa manusia itu soliter dan sosial. Menekankan hanya pada aspek yang pertama (soliter) dan mengabaikan aspek yang kedua (sosial) adalah sebuah bencana. Bukti tingkat toleransi yang tinggi antar umat beragama yakni saling memberikan ucapan ‘selamat hari raya’. Hal ini disampaikan oleh Arkanuddin bahwa di hari raya Imlek, suku Dayak (baik yang beragama Kristen Katolik maupun Kristen Protestan) dan suku Melayu (beragama Islam) saling memberikan ucapan selamat dengan bersalaman dan saling menggoncangkan tangan berkali-kali. Jika saling menghargai perbedaan itu indah, mengapa manusia lebih menyukai berpecah belah? 
Pendatang Menghormati Penduduk Asli
Jika sebelum-sebelumnya dipaparkan berdasarkan perspektif penduduk asli, maka hal terakhir yang membuat Pontianak layak menyandang predikat ‘rumah bersama’ juga tak bisa dilepaskan dari sikap para pendatang itu sendiri. Sebagai pihak yang bertamu, para pendatang memiliki sikap sadar diri terhadap tuan rumah. Hal ini ditunjukkan oleh sikap suku Bugis sebagai pihak pendatang yang rela meninggalkan tradisi badik, guna menghormati penduduk asli di Kabupaten Sambas (Rianawati, 2016). Pada dasarnya, perasaan saling menghormati lah yang membuat keadaan terasa damai dan menyenangkan. Keengganan memaksakan ego menjadi faktor kunci keberlangsungan masyarakat yang damai dan sejahtera. Mengutip ungkapan Sujiwo Tedjo dalam novelnya Rahvayana Aku Lala Padamu, bahwa bukankah kehidupan lebih mati jika tanpa didasari cinta? Satu di antara jalan menghidupi kehidupan yang sebentar ini adalah saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi.