Dear David is about desire
Oleh: Candra Aditya
(tulisan ini mengandung spoiler)
Mari kita mulai artikel ini dengan sebuah disclaimer: ini bukan review Dear David.
However, saya mau nulis soal film ini karena saya tidak menyangka akan melihat diskursus Dear David yang sangat liar di sosial media (baca: Twitter). Ketika saya menonton filmnya beberapa hari yang lalu dan tersenyum super lebar setelahnya karena menurut saya filmnya sangat oke, saya sama sekali tidak menyangka bahwa respons penontonnya akan seheboh ini. Seberapa heboh? Seheboh sampai seorang penulis buku terkenal menulis review singkat yang membuat saya menggumam, “Did we see the same film?”
Tentu saja saya tidak akan mencoba untuk mengatur selera orang. Kalau ada yang tidak suka dengan filmnya ya tidak apa-apa. Namanya juga karya seni. Semuanya tergantung dengan siapa yang melihatnya. Tapi disini saya hanya mau menjelaskan kenapa Dear David tidak seproblematik yang kamu pikirkan.
***
Dear David berkisah tentang seorang gadis SMA bernama Laras (Shenina Cinnamon) yang gemar menulis fan fiction. Kesalahan dia mungkin adalah membuat fan fiction untuk temannya sendiri bernama David (Emir Mahira). So far tidak ada masalah. Yang tahu soal fan fiction ini hanya Laras. Sampai akhirnya dia membuat tulisan tersebut melalui komputer sekolah, gagal log out dan tulisan tersebut tersebar kemana-mana.
One thing for sure, saya sebagai penonton tidak merasa bahwa apa yang dilakukan Laras itu pelecehan. Grey area sure, terutama kalau kita membicarakan tentang fan fiction erotis based on real people. Tapi masalahnya di sini adalah dengan gamblang filmnya menjelaskan bahwa ini semua adalah ranah privat. Laras sama sekali tidak pernah berniat untuk mempublikasikan tulisan-tulisan ini (baca: her desire) untuk konsumsi publik. Mengakui bahwa dirinya naksir David saja Laras tidak mampu apalagi sengaja membuat khayalannya ini menjadi konsumsi publik.
Dari sini kemudian filmnya menjelaskan tema pertama filmnya, tentang teen desire. Dear David menjelaskan ini tidak hanya melalui fan fiction yang dibuat oleh Laras tapi juga melalui konten sosial media yang dibuat oleh mantan sahabatnya, Dilla (Caitlin North Lewis). Tentu saja desire adalah sesuatu yang bentuknya sangat privat. Tidak hanya Laras, saya pun juga tidak mau ada orang yang tahu dengan isi kepala saya. Tapi disinilah Dear David kemudian memberikan pertanyaan: apa yang terjadi jika orang lain mencampuri urusan privat tersebut.
Hal ini menimbulkan diskursus yang sangat menarik antar karakternya, terutama karena Dear David ber-setting di lingkungan sekolah dimana akhlak menjadi tolak ukur baik atau buruknya seseorang. Begitu tulisan fan fiction itu keluar, kata “porno” langsung muncul dari mulut orang-orang dewasa. Saya yakin, ketika Laras menulis fan fiction itu kata itu pasti tidak ada di kepalanya. Yang ada di kepalanya (dan juga orang-orang yang melakukan hal yang serupa) adalah dia ingin mewujudkan fantasinya yang sejujurnya sangat aman karena dari awal semua ini tidak dimaksudnya sebagai konsumsi publik. Dengan label “porno” maka muncul lagi label berikutnya: siapapun yang menulis fan fiction itu adalah orang yang tidak berakhlak yang artinya adalah orang yang tidak baik.
Ini menjadi sebuah dilema yang menarik bagi Laras yang didesain sebagai karakter yang seharusnya “baik”. Dia adalah siswa yang cerdas, panutan sekolah, Ketua OSIS dan dia bisa menikmati fasilitas sekolah karena beasiswa. On paper dia harus baik. Dia tidak boleh tidak baik karena secara tidak langsung apa yang dia lakukan akan berimbas terhadap citra sekolah. Pertanyaannya menjadi semakin menarik: apakah siswa baik-baik yang berprestasi tidak boleh mempunyai desire?
No wonder kalau Laras tidak mau mengaku sebagai penulis asli tulisan fan fiction tersebut.
Disinilah kemudian karakter Dilla mempunyai peran yang spesial terhadap keputusan shitty yang dilakukan Laras dengan tidak mengaku sebagai penulis fan fiction tersebut. Dilla yang sangat free dengan sexuality-nya menjadi martyr secara tidak langsung. Yang dia inginkan hanya mengekspresikan apa yang dia rasakan. Tapi sekali lagi, ini SMA. Anak-anak ini belum berkembang. Melihat Dilla memakai pakaian minim yang mereka pikirkan adalah “pecun”. Kalau pun mereka tidak memikirkan hal tersebut, guru-guru di sekolah sudah memberikan cap tersebut ke Dilla. Dalam satu adegan, seorang guru bahkan bilang dia sudah berjuang agar Dilla tidak dikeluarkan dari sekolah hanya karena di feed Instagram Dilla ia memakai hot pants dan pamer belahan dada. Si guru mengatakan ini seolah-olah dia menemukan obat kanker.
Ditambah dengan rumor yang liar soal bagaimana gampangnya Dilla untuk “dipakai”, tidak mengherankan bagi guru-guru di sekolah Laras untuk menuding Dilla sebagai penulisnya. Meskipun dengan jelas penonton diberi informasi bahwa yang namanya Dilla membuat satu kalimat yang koheren dalam Bahasa Indonesia saja tidak bisa tapi karena Dilla sangat bebas dengan seksualitasnya, pasti dia lah penulis tulisan-tulisan kotor tersebut.
***
“Tapi, Can, yang dilakuin Laras ke sahabatnya itu shitty banget. Gue nggak suka.”
And you’re right. Tapi itu justru mungkin yang membuat karakter Laras di mata saya sangat menarik. Karakternya seperti remaja beneran, sangat flawed dan tidak dipikirkan matang. But let’s face it, kita semua melakukan hal-hal yang bodoh dan mengambil keputusan yang jelek saat kita muda. Hell, bahkan sampai tua.
Laras bisa jadi melakukan blunder tapi semua keputusan yang ia buat ada justifikasinya. Ia tidak bisa mengaku sebagai penulis fan fiction tersebut dan secara tidak langsung menenggelamkan sahabatnya sendiri karena ia terbebani dengan semua target yang ia buat. Melihat sosok ayah yang non-existent (dan ia secara literal mengaku ke David kalau ia merasa bahwa ia adalah penyebab ayahnya pergi) dan ibunya sendirian membesarkannya, Laras tahu bahwa ia tidak boleh menjadi beban. Ia berusaha keras untuk jadi panutan.
Tapi satu hal yang Laras tidak kalkulasikan saat memutuskan menjadi sempurna adalah bahwa dia adalah manusia yang kebetulan masih remaja. Kita semua tahu apa yang terjadi dengan isi kepala kita ketika kita masih remaja. Gairah-gairah itu datang dan pergi tanpa bisa kita kontrol. Ditambah lagi dengan budaya kita yang judgemental dan memandang gairah-gairah ini sebagai tanda-tanda orang tidak berakhlak, konflik yang dihadapi Laras jadi berlipat-lipat sensasi penatnya. Jadi saya sangat mengerti kenapa dia mengorbankan temannya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Apakah ini benar? Tentu saja tidak. Tapi itu membuat Laras menjadi sangat relatable di mata saya.
***
“Bagaimana dengan David? Bukannya dia korban?”
Ya, David memang korban. Tapi menurut saya dia bukan korbannya Laras karena sekali lagi semua fantasi yang dituliskan Laras tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi konsumsi publik. David akhirnya menjadi korban ketika orang-orang yang membaca sesuatu yang harusnya tidak mereka baca memutuskan untuk menggoda David. Disinilah Dear David mengenalkan villain utamanya: Arya (Michael James). Arya tidak hanya menjadi orang yang menyebarkan tulisan Laras tapi ia juga menjadi orang yang terang-terangan harassing David di kamar mandi sampai ia kena panic attack. And in true jamet fashion, Arya hanya mengatakan, “Jangan baper.”
Inilah yang akhirnya membuat ending Dear David menjadi make sense. Laras begitu murka ketika tahu bahwa orang yang bertanggung jawab atas semua kekacauan ini tidak mendapatkan apa-apa. Justru dia, dan kemudian Dilla dan David itu sendiri, yang malah wajib mengucapkan permohonan maaf di hadapan semua orang atas khayalan pribadi yang seharusnya tidak pernah di-publish. Apakah ini terdengar familiar? Ganti fan fiction dengan revenge porn maka Anda akan mendapatkan kasus yang sama. Tidak ada yang peduli ketika Anda membuat video atau foto mesra dengan pasangan Anda. Semua itu akan menjadi problem ketika semua hal yang Anda lakukan secara privat, menjadi konsumsi publik.
Dan itulah kenapa saya sangat menyukai Dear David. Ia sangat paham bagaimana gairah bisa menjadi pisau dua arah. When it’s private, it can be a really beautiful thing. But when it becomes public, it can be a fucking disaster.
Dear David dapat disaksikan di Netflix