Setiap negara, kota, organisasi, atau bahkan orang butuh penanda simbolis untuk merepresentasikan eksistensinya. Bendera adalah salah satu penanda yang umum digunakan. Umumnya berupa kain berbentuk segi empat yang digantung di tiang, dinding, di jendela bangunan, di mobil atau motor.
Pasti kamu pernah kan melihat pawai suporter klub bola kesayangan membawa bendera di jalan, atau bendera partai yang berjejer di jalan kota menjelang masa pemilu? Bendera bisa mengimplikasikan teritori dan peristiwa pada waktu dan tempat tertentu. Bahkan bendera bisa bertransformasi jadi bentuk-bentuk lain seperti emblem, pin, stiker, yang bisa dipakai luas oleh pengguna setianya.
Bendera sudah dipakai oleh peradaban manusia sejak ribuan tahun yang lalu, baik sebagai panji-panji kesatuan militer, penanda kepemilikan kapal, hingga untuk sinyal komunikasi seperti semaphore.
Namun, sebagai penanda yang baik, bendera perlu dirancang juga dengan baik.
Ilmu yang mempelajari sejarah, simbol, dan penggunaan bendera disebut dengan vexilologi. Seorang vexilolog bernama Ted Kaye dari NAVA (North American Vexillological Association), menjabarkan secara singkat prinsip dasar merancang bendera dalam buku yang lebih mirip dengan pamflet 16 halaman berjudul Good Flag, Bad Flag: How To Design a Great Flag.
Di awal buku tersebut mereka memberi catatan bahwa prinsip dasar ini adalah acuan, bukan aturan, yang akan membantu para perancang untuk menciptakan bendera yang efektif, mudah digunakan, dan dicintai pengibarnya.
Apa saja prinsip dasar itu?
Roman Mars, penyiar dan produser 99% Invisible, dalam TedTalk-nya menjabarkan berbagai bendera yang baik dan buruk, menganalisa, dan kemudian bagaimana memperbaiki bendera itu berdasarkan prinsip dasar menurut Ted Kaye.
Menurut Roman, bendera pada level negara lebih sering mematuhi prinsip-prinsip ini, karena mereka ada di tingkat internasional. Ketidakjelasan simbolisasi atau ketidakterbacaan identitas dalam bendera negara bisa berbahaya. Walaupun begitu, bukan berarti semua bendera negara terancang dengan baik.
Setidaknya Indonesia tidak mengikuti prinsip kelima: unik atau berelasi. Ted Kaye menjelaskan, bendera Indonesia mirip dengan bendera Monaco yang sudah lebih dulu berbendera merah-putih sejak 1881, hanya berbeda proporsi. Kalau dibalik, akan mirip dengan Polandia. Tapi kemiripan itu tidak menunjukkan relasi Indonesia dengan kedua negara itu.
Sebagai perbandingan, Ted Kaye mencontohkan Ghana. Warna bendera menggunakan tiga warna dasar merah-kuning-hijau yang sama dengan sebagian besar negara-negara Afrika Barat seperti Benin, Burkina Faso, Guinea, Guinea-Bissau, Mali, Senegal, dan Togo. Namun tetap cukup unik untuk dibedakan dengan negara-negara tersebut.
Roman menekankan bahwa rancangan bendera pada level daerah atau kota memiliki keunikan sendiri, karena tidak punya tekanan besar seperti bendera negara. Roman mencontohkan bendera San Fransisco, California, Amerika Serikat.
Elemen utama dalam bendera San Fransisco adalah Phoenix, yang legendanya lahir dari abu, seperti sejarah San Fransisco yang bangkit setelah berkali-kali kebakaran besar sejak 1849-1851.
Sementara proyek San Fransisco Flag Redesign tidak jelas, beberapa desainer grafis membuat rancangan bendera baru berdasarkan prinsip dasar Ted Kaye. Di antaranya ada Frank Chimero dan Neil Musset.
Tidak seperti kota-kota di Amerika, di Indonesia tidak banyak yang memiliki bendera. Setidaknya yang saya tahu memiliki bendera dan digunakan secara ekstensif adalah Kota Bandung dengan bendera hijau-kuning-biru. Biasanya menjelang ulang tahun Kota Bandung, pohon-pohon di sepanjang jalan akan dibungkus dengan kain berwarna hijau-kuning-biru. Sedangkan kota-kota lain biasanya hanya menempelkan logo di kain bendera saja.
Michael Alexander, co-founder SANROK Studio, juga menonton TedTalk Roman Mars dan kemudian terbersit ide untuk merancang bendera-bendera kota di Indonesia. Karena menurutnya ini adalah proyek iseng sekaligus melatih kemampuan desain, Michael juga menambahkan constraint baru dalam proyeknya: bentuk bendera seperti ketupat. Bentuk yang tidak lazim, dan sepertinya tidak mudah untuk diaplikasikan di dunia nyata.
Prosesnya cukup sederhana, riset simbolisme rata-rata mengambil dari wikipedia, bahkan ada yang dari buku RPUL untuk trace sejarah, monumen, dan simbolisme dari kota-kota terkait. Michael mengaku tidak meriset detail, karena proyek jangka pendek untuk iseng, dalam 1 hari bisa dikebut meriset beberapa kota sekaligus.
Karena Michael mengerjakan ini pada tahun 2017, ada beberapa alasan perancangan yang dia sudah lupa ketika diwawancarai-yang tentu kemudian ingat kembali setelah googling logo aslinya. Sementara dalam prosesnya, ada penambahan dan pengurangan yang diakui Michael karena selera pada dasarnya sangat subjektif.
Lalu, apa urgensi dari bendera kedaerahan ini? Apakah penting? Meskipun proyek bendera ini hanya iseng, Michael mengaku cukup serius untuk mendorong agar kota-kota di Indonesia bisa memiliki emblem tersendiri yang bagus dan diperbarui dengan kebutuhan media sekarang, tidak hanya bendera.
Menurutnya, identitas visual yang baik akan bisa dibawa ke berbagai elemen, entah sebagai identitas formal seperti dokumen, stempel, maupun sebagai dasar kolaborasi dari para penghuni kotanya, seperti merchandise yang diadaptasi dari identitas visual itu.
Sebagai branding, tentu tidak harus berbentuk bendera, tetapi karena bendera bersifat archaic dan punya potensi pembentuk identitas yang kuat, Michael berharap bendera kedaerahan dipertimbangkan untuk diperbaiki.
Sebagai lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Michael percaya bahwa desain adalah solusi, tapi akan jadi naif apabila menyelesaikan problematika branding daerah hanya dengan merancang ulang bendera. Namun ia percaya dengan merancang ulang bendera bisa menjadi keping domino pertama untuk perubahan baik di masa depan.
“Start small,” tutup Michael.