Berapa Duit yang Harus Dikeluarkan Untuk Punya Kamar Kos Berjendela di Jakarta?

Mencari kamar kos layak di Jakarta—yang artinya minimal punya ventilasi baik, lebih bagus lagi kalau ada jendela yang bisa dibuka—adalah sebuah petualangan tersendiri. Makanya banyak yang bilang mencari kosan layaknya mencari jodoh. Mungkin ada benarnya, karena semakin bagus calon pasangan/kosannya, semakin naik juga harganya.

Sejauh ini pengalaman ngekos saya selama di Jakarta Selatan tak buruk-buruk amat. Kos pertama saya sebulannya Rp1,4 juta dengan double bed dan jendela yang menghadap keluar, sehingga matahari dan udara (saya tidak tega menulis segar karena udara Jakarta jauh dari kata itu) bisa masuk. Kos saya yang sekarang memang lebih mahal, tapi lokasinya jauh lebih strategis. Pun kamarnya cukup luas dengan jendela yang lumayan besar. 

Beruntung? Memang. Apalagi setelah mendengar cerita teman-teman saya yang bilang mencari kos di daerah Jakarta Selatan dengan harga dan fasilitas yang mumpuni bak mencari jarum di tumpukan jerami. Untuk mendapat kamar kos berjendela yang fungsional dan tidak menghadap tembok rumah penduduk lain perlu kesabaran dan kerelaan untuk tambah budget. Salah satu teman bilang kos dia yang terletak di bilangan Blok M harga sewanya Rp2,8 juta/bulan. Itu pun dengan jendela mati alias tidak bisa dibuka sama sekali.

Tak jarang untuk punya kamar dengan jendela fungsional, calon penghuni harus membayar uang ekstra. Ya, bahkan kebijakan ini juga berlaku untuk kos premium. Teman saya yang lain cerita salah satu kos yang diincar sewa paling murahnya Rp4 juta tapi belum ada jendela. Mau tambah jendela? Tambah lagi Rp300 ribu. Kok bisa ya jendela, yang seharusnya bare minimum, malah menjadi tambahan ekstra?   

Padahal kalau mengacu ke peraturan Ditjen Cipta Karya tahun 1997, rumah sehat minimal memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai. Khusus untuk jendela, minimal luas jendela adalah 10-20% dari luas lantai. Fungsi jendela penting karena berguna untuk mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, serta membunuh kuman dan virus. Ada kemungkinan pandemi Covid-19 berlangsung cukup lama dan menyebar dengan cepat karena masalah ventilasi banyak rumah, kos, sekolah, kantor, serta tempat publik lainnya kurang bagus.

Berdasarkan pada anekdot teman-teman tadi, saya memutuskan untuk meneliti soal kondisi kos Jakarta dan kota-kota penyangganya. Seberapa banyak kos Jabodetabek yang punya jendela? Dan apakah ada perbedaan harga antara yang berjendela dengan tidak berjendela? 

Hipotesa awal saya adalah jumlah kos tidak berjendela lebih banyak daripada yang berjendela karena (1) Indonesia tidak memiliki aturan jelas soal kualitas bangunan kos—makanya kita sering melihat rumah tak terpakai disulap menjadi kos atau kos dengan kualitas memprihatinkan; (2) kepadatan daerah Jabodetabek terlalu tinggi membuat semua kamar kos lengkap dengan jendela cukup sulit; dan (3) jendela bukan prioritas tinggi selama harga sewa bisa ditekan. 

Untuk itu, saya meminta Lugas, engineer palugada Jurno untuk menarik data kos Jabodetabek dari Mamikos. Setelahnya di-simsalabim di Google Spreadsheet.

Dan ternyata hasilnya…

Total ada 809 kos dengan jendela dan 918 kos tanpa jendela di Jabodetabek.

No.
Lokasi
Ada jendela
Tidak ada jendela
1
Jakpus
96
92
2
Jakut
85
113
3
Jakbar
62
100
4
Jaksel
102
97
5
Jaktim
106
93
6
Depok
93
102
7
Tangsel
104
90
8
Bogor
68
129
9
Depok
93
102


Kos paling mahal ada di daerah Jaksel, diikuti oleh Jakpus dan Jakbar. Harga kos Jakut dan Jaktim terhitung masuk akal relatif dengan UMR DKI Jakarta (Rp4.901.798) karena harga kos masih masuk dalam budget 30% untuk tempat tinggal.

Mamikos All City - Google Sheets

Melihat data ini, hipotesis awal bahwa lebih banyak kos tanpa jendela terbukti benar. Meski begitu, rasionya tidak begitu besar. Pengecekan manual terhadap beberapa kos tanpa jendela menunjukkan adanya ventilasi supaya udara dari luar dan matahari bisa masuk. Yang cukup mengkhawatirkan adalah persebaran kos tanpa jendela yang lebih tinggi di beberapa daerah, seperti Bogor, Jakbar, dan Jakut.

Hipotesis kedua saya bahwa para pemilik kos memberlakukan jendela sebagai premium ternyata… Tidak terbukti benar. Jakut, Jakbar, Jakpus, Depok, dan Bekasi punya harga rata-rata kos tanpa jendela lebih tinggi daripada kos dengan jendela. Kemungkinan ada penentu harga kos yang lebih krusial, seperti lokasi strategis, akses jalan, seberapa dekat jarak dengan jalan raya/transportasi publik, sudah termasuk listrik/belum, dan fasilitas kamar seperti AC, kasur (single/double bed/queen), water heater, dan lain-lain. Menariknya, luas kamar tidak berperan banyak ke dalam harga kos.


Tapi sejujurnya hal yang paling membagongkan buat saya adalah ada kos super premium, harga di atas Rp10 juta tapi hanya mengandalkan ventilasi dan AC sebagai satu-satunya alur pergantian udara. Herannya, ada yang sewa pula. Kok bisa ya?

Tentu bisa terjadi karena kita tidak memiliki regulasi hunian yang ketat. Tentu regulasi soal hunian sehat penting, tapi bukan opsi yang ideal. Pertama, harga pasar hunian Jakarta tidak masuk akal karena permintaan melebihi pasokan. Jakarta sudah mengalami krisis perumahan yang saking parahnya, anak-anak muda Jakarta hanya punya dua pilihan: menyewa seumur hidup atau menunggu warisan dari orangtua.

Kedua, regulasi akan membebani tuan tanah karena mereka harus keluar uang banyak untuk renovasi dan/atau membuat bangunan baru sesuai regulasi. Naiknya harga sewa yang tidak diiringi dengan kenaikan UMR hanya akan meningkatkan angka tunawisma dan membuat pekerja pendatang terpaksa kembali ke daerah asalnya.

Lalu apa solusinya? Tentu saja membuat hunian vertikal yang terjangkau dan minimal mengikuti standar rumah sehat yang dibuat oleh Ditjen Cipta Karya. Hanya dengan memusatkan dan memadatkan hunian di satu tempat kita bisa mendapatkan hunian sehat dan ramah kantong. Tentunya tak lupa harus dekat dengan sarana transportasi publik.