Setahun silam, saya mengajukan topik tesis soal dunia perparkiran ke dosen pembimbing saya. Premis topik yang saya ajukan itu sederhana: seberapa besar, sih, biaya yang ditanggung Pemda dan warga kota dari praktik-praktik parkir yang lazim ditemui di Jakarta?
Namun, beliau mematahkan asumsi-asumsi naif saya, dan membuat saya mempertanyakan kelayakan melanjutkan pengerjaan tesis dengan topik itu.Bukan apa-apa, instrumen yang lazim digunakan jurusan kami dalam penelitian-penelitian serupa, semisal basis data meteran parkir yang disimpan dan dibiayai Pemerintah Kota, tidak ada di kota manapun di Indonesia. Jangankan basis data, meteran parkir saja merupakan alat yang asing bagi banyak warga, dengan beberapa pengecualian.
Pertemuan itu mengurungkan niat saya untuk menjadikan Jakarta sebagai bintang utama tesis saya. Pada akhirnya pilihan saya jatuh ke Melbourne, sebuah kota yang mencatat durasi parkir kendaraan bermotor di lahan parkir di badan jalan hingga hitungan detik. Sebaliknya, memarkirkan mobil di pinggir jalanan Jakarta adalah kegiatan yang lebih spontan dan menantang: perundingan dengan yang punya wilayah, disusul dengan pembayaran tarif parkir.
Tentunya sobat pemobil bisa menyuarakan keresahan yang serupa: memarkirkan mobil di pinggir jalan manapun di Jakarta mengharuskan interaksi dengan para penguasa jalanan: dari juru parkir, Dishub, hingga preman berseragam.
Tarif parkir yang dibayarkan bergantung pada lokasi dan jenis kendaraan, tapi umumnya nominalnya sama rata: mereka yang sekadar memarkirkan kendaraan di pinggir jalan selama setengah jam saja membayar biaya yang sama dengan mereka yang membiarkan mobil-mobil mereka bermalam.
Suramnya, kondisi ini tak hanya terjadi di area-area komersial tapi juga kerap ditemukan di area-area residensial. Fenomena ini menunjukkan semakin seretnya lahan parkir Jakarta. Namun hal ini tidak menyurutkan hasrat warga untuk membeli dan memarkirkan mobil mereka di depan rumah.
Padahal, pemerintah Provinsi Jakarta telah melarang penggunaan jalan umum sebagai garasi pribadi. Jadi, situasi seperti ini diselesaikan secara kekeluargaan oleh penguasa-penguasa jalanan tadi. Segala fenomena yang digambarkan di atas menyingkap problema yang itu-itu saja: negara bisa saja membangun jalan, tapi tidak mampu mempertahankannya.
Namun, bukan berarti pemerintah berserah begitu saja dalam urusan parkir-memarkir. Dinas Perhubungan menggelar penertiban parkir liar secara berkala dalam bentuk teater razia yang spektakuler untuk menimbulkan efek jera. Tapi, seperti lazimnya teater, hal ini tidak rutin dilakukan dan hanya diperlakukan sebagai formalitas. Sebagaimana para pemilik rumah “nakal” yang sekenanya mengalihfungsikan fasilitas umum dan menyelesaikan masalah dengan cara kekeluargaan, Pemprov DKI Jakarta secara sukarela menyerahkan hak pengelolaan parkir kepada orang-orang lapangan.
>Lembaga adikuasa yang mengatur perihal ini bernama BAPENDA
BUBBLE:
Pemprov DKI Jakarta menjabarkan Objek Pajak Parkir sebagai tempat parkir di luar badan jalan, yang dikenakan Wajib Pajak sebesar 20%. Kategori ini mengecualikan lahan parkir milik pemerintah daerah dan gedung perkantoran yang menyediakan parkir bagi karyawan. Untuk parkir di pinggir jalan alias on-street parking, Pemprov mengenakan tarif berkala yang dibedakan berdasarkan jenis kendaraan. Walau demikian, kebijakan ini baru berlaku di 400 titik di Jakarta dengan total 12.500 Satuan Ruang Parkir (SRP). Penolakan dari para pemegang kuasa mengakhiri eksperimen singkat Jakarta dengan parkir meteran ini.
Sebenarnya, terdapat tata cara resmi untuk menarik retribusi parkir di pinggir jalan. Pemprov Jakarta juga telah menerbitkan Surat Izin Juru Parkir yang wajib dipegang para juru parkir untuk menarik retribusi parkir.
Secara teori, para juru parkir wajib menyetor sebagian pendapatan mereka ke Pemprov, sesuai dengan nilai yang disepakati di awal. Namun pada prakteknya, mereka tidak hanya membayar setoran ke preman di lapangan, tapi besaran setoran mereka ke Pemprov acapkali jauh dari nilai yang sepatutnya dibayarkan. Dalam banyak kasus, retribusi parkir bahkan ditarik oleh preman-preman itu sendiri.
Bagi pengguna mobil, risiko memarkirkan mobil di pinggir jalan bisa saja dikesampingkan sebagai biaya yang layak dibayar. Ada risiko besar yang membayang-bayangi mobil mereka, seperti dibaret orang atau diderek oleh Dishub. Namun korban sebenarnya dari masalah ini bukanlah mereka, tapi justru para pejalan kaki dan pelaju yang tidak memiliki kendaraan bermotor.
Lho, bagaimana bisa?
Pertama, ketidakmampuan pemerintah kota untuk menerapkan tarif parkir yang seragam dan menarik retribusi parkir secara menyeluruh menunjukkan bahwa pemerintah kota tidak bisa menggunakan kebijakan parkir untuk mengelola arus lalu lintas. Faktanya, hampir 74% pengguna jalan yang melanglang buana di jalan umum sedang mencari tempat untuk parkir. Di kota-kota di Amerika Serikat dibutuhkan waktu 3-15 menit untuk mencari tempat parkir. Di kota sepadat Jakarta, dampaknya tentu saja lebih kentara. Hal ini tak hanya dialami oleh mereka yang hendak memarkirkan kendaraan pribadi, tapi juga berefek ke pengguna kendaraan umum.
Dalam dunia yang ideal, tarif parkir seyogianya ditetapkan untuk mengurangi kemacetan dan meminimalisir jarak lokasi parkir ke tempat yang dituju. Cara kerjanya kurang lebih begini: dalam kondisi jalan padat, tarif parkir diturunkan untuk mengisi kekosongan lahan parkir secepat-cepatnya, sementara dalam situasi lengang tarif parkir bisa ditingkatkan agar pengguna mobil enggan parkir berlama-lama. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengatur hal tersebut berimbas pada lamanya waktu yang dihabiskan pelaju di jalanan, lengkap dengan konsekuensi-konsekuensinya.
Tapi, urusan perparkiran ini juga memakan korban tidak langsung. Untuk menanggulangi parkir liar, Pemprov DKI Jakarta mewajibkan pemilik rumah untuk memiliki garasi. Niatnya baik, tapi kebijakan serupa malah menyulitkan pembangunan unit rumah baru karena membutuhkan lahan yang lebih banyak. Efeknya, persediaan rumah menurun dan harga rumah meningkat. Kita yang masih mencari rumah menanggung akibat karena harus membayar harga yang lebih tinggi untuk mencari hunian yang layak.
Bukan berarti rezim parkir liar sekarang merupakan solusi. Dalam kondisi pasar hunian sekarang, lahan parkir liar terkapitalisasi dalam harga tanah. Artinya, pasar secara implisit mengakui bahwa lahan parkir liar termaktub dalam harga yang dibayar oleh pemilik rumah. Gratisnya biaya parkir yang dimanfaatkan oleh penghuni yang parkir sembarangan di pinggir jalan ikut ditanggung oleh penghuni yang tidak memiliki kendaraan bermotor, yang membayar hal yang bahkan mereka sendiri tidak nikmati.
“Sebentar”, sergahmu. “Tentunya ada hal yang lebih berfaedah daripada sekedar mengutuk pemilik mobil, kan?”
Saya setuju. Alangkah baiknya apabila kita memperjuangkan tarif parkir yang adil bagi semua pengguna jalan, tarif parkir yang disesuaikan secara berkala agar pengguna kendaraan bermotor membayar biaya pilihan mereka secara utuh dan menyeluruh. Donald C. Shoup, guru besar dalam urusan ekonomi parkir, membahasakannya dengan lebih lugas: binasakan lahan parkir, dan kenakan tarif pasar pada ruang parkir pinggir jalan. Tapi untuk itu, negara harus merebut kembali ruang kota.