Berkecimpungnya Wanita di Tengah Maskulinitas Industri Gaming
Gaming sudah menjadi fenomena yang meluas di kalangan masyarakat, lokal maupun global. Peta Ekosistem Industri Game Indonesia (2021) menunjukkan pasar game Indonesia ternyata bernilai Rp. 14,3 triliun dengan pemain sebanyak 170 juta orang. Mengutip Oliver et al. (2016), game memang telah lama menjadi media bagi banyak orang untuk bersenang-senang. Selain para gamers kasual, industri gaming juga diramaikan oleh beragam peran, seperti game developer, streamer atau content creator, serta atlet eSports.
Salah satu hal yang dapat diperhatikan dari industri gaming adalah stereotipe bahwa game identik dengan laki-laki, komunitasnya didominasi oleh laki-laki, kebanyakan dirancang oleh dan untuk laki-laki, serta secara keseluruhan, maskulin. Maskulinitas adalah kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki berperilaku, berperasaan, serta berpikir. Norma maskulin ini mencerminkan pandangan tradisional tentang dominasi laki-laki pada masyarakat, seperti bagaimana laki-laki seharusnya senantiasa kompetitif, kuat, dan mandiri.
Apa kaitan antara maskulinitas dan gaming? Maskulinitas sendiri dapat tampil secara negatif, salah satunya karena kaitannya dengan kekerasan, dominasi dan nir-empati. Banyak game yang menunjukkan kekerasan dan dominasi, bertolak belakang dengan konsep empati yang lebih feminin. Ini kemungkinan mempengaruhi bagaimana remaja laki-laki mendapatkan rata-rata skor lebih tinggi daripada skor rata-rata remaja perempuan di game yang berbau kekerasan.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana posisi perempuan di tengah-tengah industri gaming yang maskulin ini?
Penelitian soal kebiasaan gaming antar pemain perempuan dan laki-laki cenderung terbelah dua. Misalnya, pada penelitian McLean & Griffiths (2013), para gamer perempuan menyampaikan bahwa komunikasi kasual dengan gamers lain di dalam game adalah bagian penting dari pengalaman bermain mereka. Di penelitian yang lain, gamer perempuan menganggap hiburan non-kekerasan lebih menarik. Ini menjelaskan kenapa mereka kurang tertarik dengan game-game kekerasan yang beredar di pasaran. Kemudian, perempuan ternyata kurang menyukai aktivitas kompetitif, sehingga game kompetitif jarang dimainkan oleh perempuan.
Penelitian lainnya justru menunjukkan kebalikannya. Anggapan bahwa perempuan tidak kompetitif dalam game terbukti tidak selalu benar. Hal ini memperkuat hasil penelitian dari Taylor (2006) dan Yee (2006) yang menyimpulkan bahwa motivasi laki-laki dan perempuan dalam bermain game tidak begitu jauh berbeda. Pun berbagai studi menunjukkan bahwa perempuan juga sama rentannya dengan laki-laki terhadap adiksi game.
Namun ada isu yang lebih penting dalam dunia gaming: bagaimana kultur gaming sekarang sarat dengan seksisme. Hal ini berkorelasi dengan bagaimana konten bermuatan kekerasan meningkatkan hipermaskulinitas dan mempromosikan seksisme. Dalam dunia gaming, seksisme muncul dalam dua jalur, yakni seksisme terhadap gamers perempuan ataupun kepada karakter game perempuan.
Pandangan seksis dasar di dunia game dapat dilihat dari bagaimana gamers laki-laki umumnya dianggap lebih kompeten daripada gamer perempuan. Jenis avatar yang digunakan pemain bahkan mempengaruhi persepsi pemain terhadap pemain lain. Mereka yang menggunakan avatar atau bersuara perempuan cenderung mendapat reaksi negatif. Pemain juga suka merendahkan gamer perempuan dengan pujian “cukup hebat untuk ukuran pemain perempuan”, seakan kehebatan perempuan masih jauh dibawah laki-laki. Bahkan tak jarang mereka diperingati bahwa mereka sedang menginvasi ranah lelaki. Akibatnya, banyak perempuan yang memutuskan menyembunyikan identitas feminin mereka, baik dari avatar, nama layar, maupun obrolan suara. Parahnya, perlakuan merendahkan ini juga dialami oleh gamer laki-laki yang dianggap ‘bertingkah gemulai’. Mereka sering dirundung oleh gamer lain dengan sindiran-sindiran soal ‘ketidakjantanan [mereka]’.
Penggambaran karakter game perempuan juga tak kalah seksis. Karakter perempuan tak jarang ditunjukkan sebagai pribadi yang lemah, tak berdaya, dan selalu membutuhkan pertolongan dari lelaki (damsel in distress). Karakter perempuan sering digambarkan secara tidak realistis, misalnya dengan dada yang kelewat besar, rasio pinggang dan pinggul yang terlalu jauh, serta gerakan seksual yang berlebihan. Pencitraan ini menunjukkan bahwa mereka hanyalah sebuah objek seksual. Mengapa hal ini buruk? Sebab, keberadaan karakter perempuan dengan karakteristik seksual dalam game dapat menormalisasi pelecehan seksual (Driesmans et al., 2015; Dill et al., 2008; Yao et al., 2009).
Sayang, degradasi perempuan di dunia game sudah mengakar terlalu jauh. Pelecehan, ancaman kekerasan, pencemaran nama baik, serta invasi privasi kerap menimpa kaum perempuan. Miranda Pakozdi, Anita Sarkeesian, dan Zoe Quinn hanyalah sebagian kecil dari ketidaknyamanan yang dialami para perempuan saat berkecimpung di dunia game. Para gamer perempuan seringkali dianggap sebagai ‘warga kelas dua yang tidak seharusnya ada di sana’. Mereka kerap disuruh ‘kembali ke dapur’, dipaksa menunjukkan tubuhnya ke pemain lain, serta menjadi target bercandaan berbasis kekerasan seksual.
Bahkan, sebagai game designer dan developer, perempuan cenderung populer apabila mereka memiliki penampilan yang atraktif. Kemampuan dan bakat mereka dalam merancang game tidak dianggap penting, selama mereka terlihat cantik. Hal ini pula yang menyebabkan mereka kesulitan untuk meniti karir karena industrinya tidak ramah wanita. Hal ini juga berpengaruh besar dalam menurunnya kesejahteraan perempuan, baik dari segi finansial maupun mental.
Efek-efek negatif ini dapat berujung pada perempuan yang menghindari lingkungan dan aktivitas gaming. Padahal, bukankah seharusnya gaming menjadi suatu hal yang inklusif bagi segala kalangan dan menjadi wadah kreativitas dan rekreasi yang aman dan terbuka bagi para perempuan? Alasan konkrit dan faktual mengapa perempuan tidak boleh berkecimpung di tengah-tengah industri gaming dan segala perkembangannya tak akan pernah ditemukan, dan apresiasi bagi seluruh perempuan yang bertahan dan berkarya di industri gaming sudah seharusnya digaungkan.