Betapa Menyedihkan Menjadi Band Glam Rock di Korea Selatan

Betapa Menyedihkan Menjadi Band Glam Rock di Korea Selatan


Dalam kepungan K-Pop yang makin membesar dari waktu ke waktu, menjadi musisi rock di Korea Selatan ibarat menjual es cendol di hari hujan: tampak sia-sia dan menyedihkan. Memainkan musik rock di era ini saja sudah menyedihkan. Apalagi memainkan musik glam rock di saat genrenya sendiri sudah lama tersungkur di paruh awal ‘90-an karena kehadiran Nirvana cs.

Maka jangan salahkan kebingungan saya saat tahu ada band glam rock dari Korea Selatan. Band ini bernama Victim Mentality. 

Memainkan musik rock dengan penampilan gemerlap di Korea Selatan bukan hal mudah. Hal ini diakui sendiri oleh gitaris band ini, Kyungho pada 2015 silam. Menurut dia, banyak orang di Korea Selatan tidak mengerti mengapa mereka bermusik dan berpakaian ala band glam rock dari Los Angeles.

“Hanya orang-orang yang akrab dengan metal era ‘80-an yang paham apa yang kami lakukan. Tapi tak apa-apa. Karena bagi orang-orang yang tidak tahu tentang heavy metal di tahun ‘80-an, mereka malah bersemangat saat melihat pertunjukan kami. Kenapa? Karena kami melakukan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan band rock dan metal modern,” ujar Kyungho.

“Sisyphus yang ngotot” tepat dipakai sebagai perumpamaan untuk menggambarkan Victim Mentality. Cikal bakal band ini bermula saat Kyungho berkenalan dengan sang vokalis Krocodile pada 2005.

Perkawanan keduanya langsung klop. Dua remaja ini sama-sama menghayati musik heavy metal nan berkeringat macam Iron Maiden dan Judas Priest. Persahabatan di bawah naungan heavy metal ini lantas mereka kukuhkan dalam sebuah band usai bertemu pemain bass bernama Scorpion. Tiga remaja naif ini kemudian memilih Victim Mentality sebagai nama band mereka.

Saat itu mereka ngeband tanpa drummer. Baik latihan, rekaman atau manggung, Victim Mentality menggunakan drum komputer. Pada 2013, mereka menelurkan single perdana. Alih-alih memilih heavy metal sebagai single perdana, mereka malah menjadikan Magic Finger, sebuah single balada rock ala Skid Row atau Whitesnake yang biasa-biasa saja. Melalui single ini, mereka seakan siap melanjutkan citra band glam rock yang punya lagu cinta picisan dengan vokal rendah di awal, melengking di reff dan memberi ruang solo gitar yang panjang.
 
Setahun setelah merilis single, mereka membaptis Tarantula sebagai drummer. Keputusan penting mengingat band rock tanpa drummer bagaikan rumah makan Padang tanpa kasir. Kehadiran Tarantula juga menjadi api semangat band ini untuk berkarya.

Setelah enam tahun terbentuk, mereka meluncurkan debut album Heavy Metal Is Back pada 2015. Album ini berisikan 13 lagu yang menunjukkan obsesi mereka untuk menjadi ‘band Amerika’ dengan lirik berbahasa Korea. Obsesi menjadi band Amerika ini makin diperkuat dengan keyakinan bahwa merekalah yang memegang tongkat estafet musik rock ‘80-an. Keyakinan naif ini seakan melanjutkan kepercayaan diri yang dimiliki ratusan band glam rock atau heavy metal lainnya yang menyatakan kehadiran mereka amat penting di dunia ini

“Jika Anda merindukan heavy metal tahun ‘80-an, Anda harus mendengarkan album baru kami. Kami menjamin bahwa Anda akan senang melakukannya. Kami sudah memadukan berbagai suara dan gaya tahun ‘80-an. Dan bahkan jika Anda tidak memiliki pengalaman dengan musik metal tahun ‘80-an, itu tetap merupakan album yang menyenangkan untuk didengarkan juga. Album ini memiliki lirik lucu yang akan membuat orang tertawa, tetapi tetap sangat keras untuk membantu memberi mereka energi dan menghilangkan semua stres harian mereka. Ini adalah album heavy metal yang hebat,” ungkap Kyungho penuh keyakinan.

Album ini mengantar mereka tampil di festival bergengsi South By Southwest (SXSW) pada 2015 dan 2016. Bagi kita yang melihat dari jauh, pencapain band ini mungkin biasa saja. Apalah yang bisa kita banggakan jika ada empat pemuda Korea membawa musik Amerika pulang ke tanah kelahirannya? Tapi bagi mereka, manggung di Amerika bak mendapat durian jatuh. 

Sayangnya, kesempatan manggung di Amerika tak dibarengi dengan kekompakan masing-masing personel. Pada tahun yang sama, Kyungho dan Tarantula keluar dari band. Tak jelas betul apa yang menyebabkan keduanya tak lagi melanjutkan mimpi jadi rockstar di Victim Mentality. Tapi, layaknya band rock yang ngotot bertahan, Victim Mentality menolak tumbang meski ditinggal dua personel. Dua personel tersisa akhirnya mendapuk Die-Amond serta Cyborg untuk mengisi kekosongan pada drum dan bass. 

Pada 2018, band ini merilis album kedua bertajuk Way of Steel di tahun 2018. Album ini mendapat sambutan yang biasa-biasa saja. Video klip Way of Steel hanya ditonton 84 ribu kali. Angka itu menyedihkan mengingat upaya mereka yang rela bersusah-payah memainkan genre musik yang pernah besar di masa lalu. Mereka menumpang “kapal” nostalgia di “lautan” industri hiburan Korea Selatan. Maksud hati ingin berlayar, tapi apa daya kapal sudah karam di tepi.

Kegagalan Victim Mentality–walau mungkin mereka mengelak disebut gagal–adalah bukti bahwa menelurkan karya yang berbeda tak serta merta membuat karyamu dilirik. Apalagi jika yang kamu kerjakan hanya mendaur ulang gaya lama.

Penilaian saya kepada Victim Mentality mungkin terdengar kejam, tapi masuk akal jika kita membandingkan mereka dengan Greta Van Fleet, band rock yang segenerasi.

Meski kritikus musik bule memandang sinis band yang digawangi Josh Kiszka (vokal), Jake Kiszka (gitar), Sam Kiszka (bass), dan Danny Wagner (drum) ini, tak bisa dipungkiri band ini punya daya tarik yang tak terbantahkan. Mulai dari persona masing-masing personel yang begitu kuat di atas maupun di bawah panggung, hingga kesanggupan mereka memadukan blues dan rock purba. 

Perpaduan itulah yang membuat Greta Van Fleet sanggup meraih simpati para pendengar rock lama sekaligus mendapat pendengar anak muda yang baru mengenal rock. Simpati ini menelurkan pelbagai penghargaan bergengsi. Greta Van Fleet mengetuk pintu masa lalu dengan cara masa kini. 

Pernyataan jurnalis seperti Jeremy D. Larson dari Pitchfork yang menganggap band ini titisan Led Zeppelin atau bocah ingusan yang baru kenal musik rock, dengan sendirinya tampak tak relevan. Persetan dengan pendapat jurnalis musik boomer itu.

Toh pada kenyataanya, banyak orang suka dengan paduan sound mentah dan bertenaga yang bisa membikin orang tertarik mendengarkan. 

Victim Mentality mungkin tak mau ambil pusing dengan kesuksesan Greta Van Fleet. Mereka punya kekeraskepalaan khas band glam rock lainnya: memilih jadi medioker asal gaya, yang penting senang-senang, lantas menua sambil menyadari jika mereka tak bakal dikenang. 

Sebagai penggemar rock, saya punya saran buat Victim Mentality: berhentilah memainkan musik glam rock atau heavy metal. Menjadi pengusaha di Korea Selatan terdengar lebih realistis, Bung. Atau mau jadi boyband saja? Gimana?

Scene Rock Korea Bermula di Pangkalan Militer

Kesedihan lantaran nasib nahas Victim Mentality ada baiknya kita sudahi saja. Saya ingin menerangkan jika musik rock pernah menyala terang di masyarakat Korea Selatan.

Ada masanya masyarakat Korea Selatan begitu menggandrungi rock ‘n’ roll. Musik ini dibawa dipopulerkan oleh Shin Joong-Hyu, penyanyi-penulis lagu yang kelak dijuluki “Godfather of Rock” di Korea Selatan.

Pada 1957, Shin memulai debutnya di pangkalan militer AS di Korea Selatan. Usianya baru 19 tahun, tapi ia mendapatkan pekerjaan tetap adalah mimpi semua musisi Korea Selatan. Shin beruntung. Berkat penampilannya yang dianggap nyentrik pada zamannya, musikus yang memilih nama panggung Jackie Shin ini sukses memadukan musik rock Amerika, jazz dan psychedelic. Dalam sekejap mata, popularitas berhasil ia genggam.

Pada masa keemasannya itu, Shin bisa tampil 40 kali dalam sebulan di pangkalan militer AS. Bayangkan, 40 hari dalam sebulan. Maka bukan kalimat berlebihan jika dalam sebuah kesempatan Shin menyebut pangkalan militer AS adalah tempat kelahiran rock Korea Selatan.

Kehadiran Shin mendorong musisi seperti The Pearl Sisters dan Kim Chu-ja untuk menapaki karier yang sama. 

Ketika karier musiknya tengah meroket, kehidupan Shin diterpa badai. Pada 1972, pemerintahan Park Chung-hee meminta Shin menulis lagu untuk memuji presiden. Shin menolak keras. Ia malah memilih menulis lagu berdurasi 10 menit tentang keindahan Korea Selatan, berjudul Beautiful Rivers and Mountains, yang direkam bersama bandnya saat itu, Shin Joong Hyun & The Men. 

Usai rilis lagu tersebut, polisi menyita gitar Shin dan memotong rambutnya yang panjang. Saat itu, pemerintah Korea Selatan sama dengan Indonesia: melarang rambut gondrong. Alih-alih ditinggalkan pendengar, Shin malah makin dicintai. Melalui band barunya Shin Joong Hyun & Yup Jun, ia sukses merilis album self-title pertama mereka, yang terjual lebih dari 1 juta kopi dan menyertakan lagu hit Beautiful Woman.

Pada 1975, Shin ditangkap karena kepemilikan marijuana. Penangkapan ini terkesan aneh lantaran belum ada larangan penggunaan ganja di zaman itu. Shin kemudian dipenjara dan disiksa di rumah sakit jiwa. Setelah dibebaskan empat tahun kemudian, Shin dilarang tampil di Korea Selatan. Tapi, tak lama setelah Shin dinyatakan bebas, Presiden Korea Selatan Park Chung Hee yang membenci Shin mati dibunuh pada 26 Oktober 1979.

Kematian Park Chung Hee tak lantas membuat Shin bisa berkarya kembali seperti sediakala. Sekali air besar, sekali tepian berubah. Peribahasa itu mungkin tepat menggambarkan situasi Shin saat itu. Ia sadar betul musik telah berubah dan selera orang berubah pula. Lantaran insaf jika masanya sudah lewat, ia mundur dari dunia panggung dan memilih menjadi orang di belakang layar.

Dari Shin kita belajar jika popularitas itu tak melulu berumur panjang. Sekali berbuat setelah itu mundur perlahan jauh terhormat dibanding menjadi tua dengan kengototan yang tak perlu.