Bias, Awal dari Segala Ketidakadilan

Bias, Awal dari Segala Ketidakadilan

Pengetahuan manusia dibentuk oleh pengalaman di mana mereka tinggal, kapan mereka hidup, apa yang mereka lihat, siapa yang mereka jumpai, dan bagaimana mereka memaknai peristiwa. Interaksi semacam itu dapat membentuk, memperkuat keyakinan, atau menghilangkan keyakinan yang sudah ada. Tidak setiap keyakinan sesuai realita, tapi itu terasa benar, karena siapapun tidak dapat menyangkal pengalaman mereka sendiri. Paragraf pembuka ini menunjukkan sulitnya berhadapan dengan bias. Memerangi bias berarti membantah keyakinan, yang lebih terasa benar, bahkan jika dibandingkan dengan kebenaran itu sendiri.

Bias Dapat Muncul Tanpa Disadari Ketika Orang Malas Mikir
Logika, bahasa, dan nalar merupakan pembeda antara manusia dan hewan. Namun, kemampuan bernalar tidak serta merta membuat manusia terhindar dari bias. Seringkali, manusia mendasarkan banyak keputusan pada keyakinan mengenai sesuatu-yang-tidak-pasti atau disebut juga heuristik. Di satu sisi, ini bermanfaat, misalkan untuk membantu membuat keputusan dengan cepat dan efisien. Namun, di sisi lain, dapat menimbulkan kesalahan berpikir, dalam konteks penilaian, menimbulkan bias.
Pengambilan keputusan menggunakan heuristik berguna dalam beberapa situasi. Misalkan, sebagai konsumen, kamu mungkin ingin mencari barang di toko online agar lebih mudah menemukan yang sesuai keinginan. Secara umum, barang di toko online lebih lengkap dari toko daring manapun. Namun, di sisi lain kamu ingin barangnya sampai dengan aman, datang dengan selamat, dan sesuai keinginan.
Ada banyak pilihan toko dan jasa pengiriman, tapi karena nggak mau ribet, akhirnya kamu akhirnya pilih toko yang punya label “official store” dan jasa pengirimannya pake yang sudah terkenal. Ini bisa dianggap sebagai heuristik (lebih tepatnya heuristik ketersediaan), yaitu mengambil keputusan berdasarkan apapun yang terlintas di pikiran. Asumsinya, kalau sudah ada label “official store” artinya terpercaya. Begitu pun juga dalam pemilihan jasa pengiriman. Kalau sudah terkenal, artinya orang-orang sudah percaya terhadap mereka dan kemungkinan paket bermasalah menjadi lebih kecil.
Lain halnya dengan pembelian di online store, heuristik yang tidak disadari (terjadi secara otomatis) juga dapat bersifat merugikan, yang paling umum adalah anggapan bahwa ciri fisik seseorang menentukan bagaimana mereka berperilaku. Misalnya, rambut gondrong sering diasosiasikan dengan premanisme dan sejenisnya. Padahal rambut gondrong tidak harus jahat dan rambut cepak dan klimis tidak harus baik.
Mempunyai kulit hitam sering diartikan buruk. Ini tidak melebih-lebihkan, anak-anak kulit hitam menganggap boneka yang merepresentasikan kulit putih lebih baik daripada yang mewakili identitas mereka sendiri. Di Indonesia sendiri, berbagai produk skincare menjanjikan kulit menjadi lebih putih. Mereka menawarkan solusi palsusat, tidak lain karena ada pandangan bahwa warna alami kulit masyarakat kita (sawo matang) jelek.
Orang yang dianggap kurang menarik secara fisik, kadang dianggap kurang mampu dalam melakukan dan mencapai sesuatu. Seperti kata pepatah bahwa ucapan adalah doa, itu menjadi kenyataan. Apa yang didengar menjadi diyakini, kemudian tertanam dalam mindset, dan terwujud dengan sendirinya (self-fulfilling-prophehcy).
Meskipun dalam sebagian waktu dapat bermanfaat, heuristik juga dapat merugikan orang lain (diskriminatif). 

Diskriminasi yang Disengaja, Tidak Tampak, dan Destruktif
Heuristik-bias juga dapat didasari oleh penalaran yang logis. Ini menjadi lebih buruk ketika ada perasaan negatif, seperti kebencian, prasangka, bahkan stereotipe (diamini oleh suatu kelompok). Artinya, diskriminasi dapat dilakukan secara sengaja oleh individu maupun sekelompok orang. Kita akan melihat bagaimana peneliti dan penjajah melakukan diskriminasi secara sengaja, dengan mencari bukti yang mendukung keyakinan mereka.

Siapapun tidak rentan dari bias, termasuk para peneliti. Mereka yang mendukung superioritas orang kulit putih dapat menggunakan teori evolusi Darwin untuk memperkuat keyakinan mereka bahwa ras mereka paling unggul, bahwa rata-rata IQ ras kulit putih adalah yang tertinggi, dan keyakinan bahwa inteligensi tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (nurture), melainkan lebih bersifat bawaan.

Penjajahan dan perbudakan membuat ras kulit putih merasa lebih unggul daripada ras lain. Pada masa penjajahan Indonesia, kompeni Belanda menanamkan apa yang disebut “mental inlander”, perasaan inferioritas karena telah menjadi pribumi.

Kompeni menempatkan pribumi dalam urutan terakhir di antara ras-ras lain: 1.) Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa, 2.) Vreemde Oosterlingen–Timur Asing—yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya, dan 3.) Inlander atau pribumi, yang terdiri dari masyarakat lokal.

Bukan hal aneh jika masyarakat Indonesia menjadi gumunan ketika dipuji sedikit (ini dapat dilihat dengan mudah dari reaksi berlebihan netizen Indonesia ketika ada orang luar memuji sesuatu di Indonesia). Masyarakat kita terbiasa direndahkan dan merasa inferior. Peninggalan itu masih membekas hingga sekarang.

Diskriminasi terhadap pribumi, ras kulit hitam, etnis atau agama minoritas, kelas ekonomi menengah ke bawah, dan lain-lain tidak akan terjadi jika mereka tidak dipandang negatif oleh sebagian masyarakat lain.

Pandangan atau keyakinan yang salah terhadap suatu kelompok menyebabkan ketidakadilan dalam masyarakat, semua itu dimulai dari bias. Siapa pun harus sadar bahwa bias tidak memandang latar belakang seseorang. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penelitian yang terstruktur pun dapat terkontaminasi bias. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang berpikir secara logis pun masih mempunyai bias. “Perhatikan pikiranmu, karena itu dapat menentukan nasib orang lain”.

Keywords: Bias, Heuristik, Prasangka, dan Diskriminasi