Bocchi the Rock!

Bocchi the Rock!: Cuma karena Media Musik Mainstream Nggak Bisa Lagi Mengarahkan Lampu Sorot ke Satu atau Dua Ksatria Bergitar, Bukan Berarti Gitar Sudah Mati

Tidak ada yang mencolok dari Hitori Gotoh. Ia remaja SMP tahun pertama yang biasa saja. Tak punya kegiatan spesifik macam ekstrakulikuler. Tak punya aktivitas rutin. Tak ada aktivitas nongkrong dengan teman-teman. Tak suka bergosip. Ia remaja yang bahkan tak berani menatap mata orang. Ia hidup dalam kehampaan masa remaja seperti rendang tanpa rempah-rempah.

Semua itu berubah saat ia menatap layar kaca yang menampilkan salah satu personel In Torms yang tengah diwawancarai. Dalam wawancara tersebut, personel In Torms menyebut di masa lalu dirinya merupakan sosok introvert yang acap berpura-pura membaca buku di pojok kelas. Ia menemukan dirinya di dalam wawancara itu.

Musik Personel In Torms itu menekankan bahwa hidupnya berubah setelah mengenal musik. Kini saat dirinya dan In Torms sudah menjadi bintang, ia percaya siapa pun, termasuk seorang introvert, punya kesempatan meraih impian mereka.

Hitori terperanjat. Darah mudanya mendidih.

“Ayah, aku pinjam gitarmu,” ujar Hitori bersemangat.

Setelah itu kehidupan Hitori berubah. Perlahan ia menjadikan musik sebagai pelarian. Ia merasa musik adalah pintu masuk agar dirinya bisa terlihat keren dan mencuat ke permukaan–sebagaimana yang diinginkan sebagian besar remaja medioker.

Dunia remaja adalah dunia yang lekat dengan pembuktian. Begitu pula Hitori. Setelah itu waktu membawanya berkenalan dengan dengan Nijika, seorang pemain drum yang mengundangnya untuk bergabung dengan band Kessoku Band. Setelah itu, musik menjadi kawan perintang sunyi Hitori sepanjang waktu.

Cerita Hitori ini merukan tema besar Bocchi the Rock!, adaptasi anime yang digarap oleh sutradara Keiichirou Saitou dan skenarionya ditulis oleh Erika Yoshida. Anime ini mendapat tempat besar bahkan menjadi Anime of the Year dalam Anime Trending Awards ke-9 pada awal Maret 2023 lalu.

Kisah Hitori adalah kisah sederhana bagaimana seorang anak muda yang menjadikan gitar sebagai pedang untuk melawan kecemasan di dunia yang brengsek ini.

Sederhana memang, tapi cerita ini lantas menggerakkan banyak anak muda di Jepang untuk belajar bermain gitar. Sebelum akhirnya pensiun dini bermain gitar karena ternyata belajar gitar tak semudah Hitori Gotoh. Dalam keadaan putus asa itu mereka menjual gitar mereka.

Namun, perkara anak-anak muda yang menyerah itu bukan soal. Fakta kalau Hitori yang cuma tokoh fiksi ini mampu mempengaruhi anak muda di Jepang belajar bermain gitar mematahkan argumen tak ada lagi anak muda yang bermimpi menjadi gitaris di zaman ini, atau klaim-klaim luar biasa yang kerap dilontarkan orang tua kulit putih seperti komentar Rick Beato bahwa musik hari ini membosankan, ‘Tak ada lagi guitar hero’, dan klaim-klaim bernada serupa lain yang menyangkut ‘gitar’ dan ‘musik rock’.

Perkara menggawat-gawatkan hal yang mereka senangi hilang memang khas media bule, ibarat bocah yang merasa dunia cuma berputar di sekelilingnya dan tantrum akibat kesenangannya diambil orang lain.

Kematian Musik Bergitar dan ‘Tak Ada Lagi Guitar Hero’

Dalam satu dekade terakhir, terdapat reaksi di antara penggemar dan penulis musik, yang menunjukkan kematian musik rock. Dari sini, turut pula gerbong komentar-komentar seperti

“Musik zaman sekarang mah sampah…”
“Enakan musik zaman dulu…”
dan seterusnya.

Ketakutan yang bisa dianggap wajar jika kamu seseorang yang mencintai gitar. Sabab Hip-hop menjadi zeitgeist pada 2010-an, dan tampaknya musik rock tidak lagi relevan. Tetapi, sekadar mengingatkan, tahun 2010 tuh udah sepuluh tahun lebih.

Beberapa tahun terakhir, banyak lagu populer berpusat pada gitar sebagai alat musik, termasuk dari artis-artis seperti Lil Nas X, Midwxst, Bring Me The Horizon, Olivia Rodrigo, hingga Doja Cat. Musik-musik seperti neo soul, funk bahkan math rock semua berorientasi gitar. Dan kalau keras kepala mau ngomongin ksatria bergitar, coba tengok Ichika Nito atau Tim Henderson. Atau jika kamu mau melebarkan pertanyaan ke aneka instrumen musik lain, sila cari sendiri di YouTube dan Instagram: rupa-rupa orang memainkan instrumen kesayangan mereka mulai dari drum, bass, maniak synthesizer, piano klasik, harpa, violin, dan kamu bahkan bisa menemukan Ksatria Bersuling.

Kalau suling recorder saja ada, apalagi gitar? Kita sama-sama tahu, gitar adalah alat musik sejuta umat.

Mungkin yang terjadi adalah bukan tak ada lagi ksatria bergitar, tetapi ksatria bergitar ini telah menjadi sangat banyak. Semua orang bisa menunjukkan skill mereka di media sosial. Ia bukan lagi julukan yang disematkan ke satu atau dua musisi, dielu-elukan media musik dan dinobatkan sebagai orang jenius dan menjadi sampul majalah musik.

Jika kamu protes ‘musik rock-nya sudah tidak murni’, betul bahwa mungkin terjadi beberapa perubahan dalam musik rock. Tetapi, bukankah menyenangkan melihat pemain, penggemar, produser, dan pendengar merangkul musik bergitar lebih banyak? Isu ‘kemurnian’ tak pernah menjadi soal, soalnya tak bisa dipertanggungjawabkan (apalah itu yang murni?) kecuali kamu tipe orang yang memang tergila-gila dengan ego kamu sendiri.

Mungkin menurut standar kamu artis-artis yang bermain gitar di sosial media tak lebih dari sekadar gimmick atau sekadar gegayaan dan bukan real skill, tapi itu jauh lebih baik daripada instrumen musik sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang tua, tradisionalis, dan puris.

Menonton Bocchi the Rock!, dan mendengarkan lagu-lagu opening atau ending suatu anime, menyadarkan saya bahwa yang terpenting adalah perasaan senang dan bersemangat dalam bermain musik.

Kebanyakan musik-musik anime memainkan musik rock dan mengandalkan gitar, diisi band-band keren seperti Eve, LiSA, Asian Kung-Fu Generation, Linked Horizon,  Fear, and loathing in Las Vegas, dan lainnya. Ini jadi membuat saya bertanya-tanya, bagaimana sih lanskap musik di Jepang?

Industri Musik Jepang

Penjualan instrumen musik di Jepang mengalami peningkatan yang signifikan pada 2021. Data Statista ini menunjukkan bahwa penjualan nilai gitar akustik dan listrik meningkat sebesar 0,9 miliar yen, atau 14,52% dari tahun sebelumnya. Sehingga, nilai penjualan pada tahun 2021 mencapai puncaknya dengan 7,09 miliar yen.

Itu baru gitar, mari kita lihat industri musik Jepang secara umum.

Meski layanan streaming musik online semakin berkembang, penjualan CD tetap kuat di Jepang. Ya, CD. Teknologi yang usianya sudah 40 tahun lebih. Di Jepang, CD sering dibeli sebagai cara bagi para penggemar untuk menunjukkan dukungan kepada artis atau sebagai barang koleksi. Meski terdapat jenis-jenis compact disc lain seperti disc diameter 8 cm dan Blu-spec CD, namun CD standar tidak mengalami perubahan dan tetap populer. Menurut data dari Recording Industry Association of Japan, CD, vinyl, dan format fisik lain menyumbang sekitar 70% dari pendapatan musik di Jepang, dua kali lipat lebih besar dari format digital.

Saat ini, Jepang merupakan pasar musik terbesar kedua di dunia. Meski begitu industri ini memiliki struktur yang berbeda dari pasar Barat karena pola budaya yang unik di negara ini. Industri musik di Jepang terdiri dari tiga sub-industri:
Pertunjukan langsung (live)
Rekaman
Penerbitan

Dari tiga sub-industri itu, kalau dikumpulkan, menghasilkan total pendapatan sebesar USD7 miliar. Musisi lokal, lewat live dan penjualan rekaman, mengumpulkan lebih dari 90% dari seluruh pendapatan itu, sedangkan musisi internasional sekitar 20-25%.

Namun, penjualan fisik telah mengalami penurunan selama delapan tahun terakhir, dan pertumbuhan terbaru di format digital tidak bisa menutupi penurunan tersebut. Meskipun tersedia layanan streaming global dan solusi lokal seperti RecoChoku, LINE Music, dan AWA, layanan streaming masih belum dapat menembus pasar sebanyak di Amerika Serikat.

Popularitas karaoke di Jepang juga menarik buat diikuti. Karaoke sendiri menghasilkan lebih dari $5 miliar pendapatan pada 2017, dengan biaya hak penampilan yang dihasilkan oleh bar karaoke menjadi bagian penting dari roda bisnis penerbitan–kalau lagu kamu banyak dinyanyikan bisa jadi tambang cuan buat kamu eh tapi karena sebagian besar orang Jepang tidak merasa nyaman menyanyikan lagu dalam bahasa asing, peluang sukses buat kamu dalam pasar karaoke jadi lebih kecil.

Di Jepang, label musik sering merilis beberapa versi CD dengan jaket atau daftar lagu yang berbeda untuk menarik penggemar penyanyi pop dan grup K-pop. CD yang berisi lagu yang tidak tersedia di layanan streaming juga memiliki harga jual tinggi di pasar barang bekas. Menurut Masato Hasegawa, General Manager dari Divisi Bisnis Ritel Tower Records Japan, "Konsumen menghargai CD untuk alasan selain musik, terutama di Jepang. Pasar tetap ada."

Alasan selain musik, apa itu? Hm… Soundchart memaparkan struktur industri musik mainstream di Jepang. Setelah saya baca, ini mungkin yang menjadi pembeda besar pasar musik di Amerika Serikat, apalagi di Indonesia.

Fan-culture
Penggemar musik di Jepang terkenal dengan keterlibatan mereka yang nggak tanggung-tanggung dengan artis favorit mereka. Keterlibatan ini akar dari budaya kolektivitas dan kompetisi di negara tersebut, di mana penggemar sering bersaing untuk menjadi pendukung terbesar idolanya. Penggemar sangat menghargai hubungan mereka dengan artis, menyukai sesi meet & greet dan menyumbangkan uang kepada artis favorit mereka. Kelihatannya, mengapa layanan streaming masih belum terlalu populer di Jepang karena penggemar lebih suka mendukung artis tertentu daripada pendekatan all-you-can-eat. Jadi, wajar aja kalau mereka masih senang koleksi CD.

Kalau budaya penggemar musik di industri musik di Indonesia gimana tu?

Sistem Idola
Sistem idola merupakan konsep mendasar dalam industri musik mainstream Jepang, tapi sistem ini juga bikin idola terlihat lebih robotik alias nggak manusiawi. Kebanyakan artis di Jepang dikelola sama perusahaan-perusahaan kayak AKS, Johnny & Associates, dan Amuse Inc. Begitu artis masuk, mereka jadi karyawan dan nggak punya kontrol atas citra publik mereka. Para eksekutif musik punya kontrol ketat dan rada sinting atas segala aspek dalam hidup idola, mulai dari penampilan sampai hubungan asmara. Banyak idola yang diatur kontraknya supaya nggak boleh pacaran, yang jadi masalah etis dalam sistem ini. Meski populer dan menguntungkan, sistem idola sering dikritik karena terlalu menekan artis muda dan memperlakukan mereka tak ubahnya produk.

Cuan dari Fan club dan Komunitas Penggemar
Fan club dan komunitas penggemar di Jepang didesain buat mencerminkan keterlibatan penggemar dalam industri musik. Fan club biasanya dibikin resmi, dan di situ penggemar bisa mendapat konten eksklusif, akses berlangganan, dan bahkan menghasilkan pendapatan sambil juga memungkinkan penggemar buat mencari teman untuk menghabiskan waktu dan uang mereka buat idola favorit mereka. Jadi, lebih mirip komunitas penggalangan dana untuk idola, bahkan tanpa idola itu sendiri pernah meminta. Model fan club seperti ini sekarang sudah menyebar secara global dan beberapa artis internasional mulai mempromosikan hubungan aktif antara artis dan penggemarnya.

Bocchi The Rock! dan Gitar yang Tidak Ditinggalkan

Serial anime Bocchi the Rock! memang sudah berakhir, tapi kesuksesannya masih bergeming. Penjualan manga, album musik, Blu-ray/DVD, dan merchandise masih kuat dan bikin anime ini jadi anime hit menurut definisi umum. Manga-nya bahkan masuk dalam 20 franchise terlaris pada Desember 2022. Album musik dari Kessoku Band, band utama di dalam anime ini, menduduki puncak chart dalam minggu pertama, baik dalam format fisik maupun digital. Siapa sangka anime tentang musik rock bisa bombardir tangga lagu musik populer dan meningkatkan penjualan gitar?

Pada tahun 2017 lalu, George Gruhn dalam sebuah wawancara dengan Washington Post mengeluhkan eksistensi gitar elektrik di era sekarang. 

Menurut George, merosotnya penjualan industri gitar dibarengi dengan hilangnya musik berbasis gitar dalam satu dekade terakhir lantaran lonjakan popularitas genre EDM, rap dan musik indie.

George menambakan, situasi ini berbeda dengan puluhan tahun lalu saat Gruhn masih muda. Menurutnya, masa itu adalah masa orang ingin menjadi gitaris seperti Eric Clapton, Jeff Beck, Jimi Hendrix, Carlos Santana, dan Jimmy Page. Sekarang rombongan boomer yang sudah mangkat atau pensiun itu menyebabkan anak-anak muda kehilangan sosok gitaris idola.

"Yang kita butuhkan adalah kstaria gitar," keluh George, seperti bapak-bapak putus asa.

Tak bisa dipungkiri di masa lalu nama-nama yang George sebut memang terbukti membikin ribuan anak muda bermimpi jadi gitaris. Apalagi majalah musik di era lalu kerap menyorot sekondan gitaris itu dengan pujian-pujian yang terlalu berlebihan.

Tak ada soal memuji gitaris-gitaris itu. Tapi yang mesti ditahan dahulu adalah kesimpulan menyebut tak ada lagi anak muda yang enggan menyentuh gitar di zaman ini. Lagipula yang George sebutkan adalah musisi-musisi rock. Seolah saat ini anak muda tak mengenal musisi tersebut.

Maka itu, tak ada salahnya tak langsung menelan mentah-mentah ucapan George. Apalagi saat kita harus dihadapkan dengan pernyataan di bawah ini:

Music Trades Association, di ujung tahun tahun 2020 toko e-niaga Guitar Center mengaku untung dua kali lipat dibanding tahun 2019. Raksasa ritel tersebut menyatakan bahwa pada tahun 2020 jumlah penjualan gitar di dunia mencapai $17,2 miliar.

Bahkan di Amerika Serikat, tempat George Gruhn mengeluh, penjualan gitar malah 
meningkat 10,7% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini diperkirakan akan berlanjut di tahun-tahun mendatang, dengan pasar gitar global diproyeksikan mencapai $19,9 miliar pada tahun 2025.

Ya tapi jenis gitar apa, bang? Gitar elektrik bukan?

Iya, gitar elektrik. Jenis ini bahkan jadi pangsa pasar terbesar yakni 58% dari seluruh penjualan di Amerika Serikat. Sedangkan gitar akustik merupakan jenis gitar terpopuler kedua dengan angka 36% dari penjualan menyusul gitar flamenco menduduki peringkat terbawah yakni sebesar 6%.

Meski harus diakui, pandemi jua lah yang menjadi salah satu faktor penting yang membantu industri gitar kembali bergairah. Di saat orang sudah jenuh nonton Netflix atau main sosmed, gitar dirasa mangkus mengusir kebosanan.

Maka menurut saya, keliru rasanya menyimpulkan ketiadaan pahlawan gitar dengan solo gitar panjang dan njlimet yang umum ditemui di musik rock, lalu seenak udel menuduh generasi hari ini menampik gitar sebagai instrumen yang keren. Dari angka penjualan yang melonjak tiap tahunnya, bisa disimpulkan masih banyak orang yang bermimpi menjadi gitaris. Entah untuk band, entah sebagai solois gitar yang kamar, tapi yang pasti kita tahu dunia tak akan pernah kekurangan gitaris. 

Jika nama gitaris era sekarang tak sebesar nama-nama gitaris band rock di masa lalu, bukankah itu cuma soak pemberitaan saja? 

Apakah harus bikin melodi sepanjang 2 menit 3 detik dengan attitude nyentrik baru seorang gitaris layak disebut ksatria bergitar?

Kita tak perlu takut jika musik di masa depan akan memusnahkan gitar. Ketakutan macam ini sama ketika orang berbusa-busa menyebut ‘senjakala jurnalisme’ atau ‘AI akan membunuhmu’ yang bikin kita bergidik ngeri kalau membayangkan. Padahal ketakutan sebenarnya mungkin cuma lahir dari perasaan insekyur karena takut tergusur zaman.

Santai saja. Dalam hal ini kita tampaknya kesuraman pandemi, musisi-musisi di media sosial, dan Bocchi the Rock! yang bikin pabrik gitar tak berubah jadi pabrik tahu. Jadi, saran saja, daripada mengeluarkan pernyataan angkuh dan penuh semangat elitis tentang mengapa hari ini tak ada lagi ksatria bergitar alias guitar hero, lebih baik semua gitaris parno nonton Bocchi the Rock!